Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan salah satu bentuk kekerasan dalam lingkup domestik yang menjadi salah satu masalah sosial. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Pasal 1 Ayat 1 menjelaskan KDRT sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.Â
Undang-undang penghapusan KDRT ini menyebutkan perempuan sebagai subjek yang lebih berpotensi mengalami kekerasan daripada anggota keluarga lain. Meskipun sudah banyak undang-undang yang mengatur seperti undang-undang di atas, kekerasan yang dialami oleh perempuan dalam bentuk kekerasan terhadap istri (KTI) pada ranah domestik masih menjadi sebuah ancaman.
Komnas Perempuan menyajikan data yang menunjukkan bahwa hasil pengaduan kekerasan terhadap perempuan yang diterima langsung oleh Komnas Perempuan pada tahun 2020 (2.389 kasus) mengalami peningkatan sebanyak 60% dari tahun 2019 (1.413 kasus). Dari jumlah tersebut, 65% di antaranya adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), 33% kekerasan publik, dan 1% kasus kekerasan yang dilakukan oleh negara.Â
Pada data KDRT terdapat 456 kasus yang diidentifikasi sebagai KTI dan 19 kasus KTI pada perkawinan tidak tercatat. Selain itu, dari hasil data yang dikumpulkan oleh Komnas Perempuan dari lembaga yang bermitra, kasus yang paling menonjol selama 2020 adalah kasus KDRT (79%) dengan 50% di antaranya adalah KTI.
Kekerasan terhadap istri (KTI) merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan di lingkup domestik yang dilakukan oleh pasangan karena adanya hubungan kekuasaaan yang tidak seimbang antara suami dengan istri, ketergantungan ekonomi, kekerasan sebagai alat untuk menyelesaikan konflik, adanya persaingan, frustrasi, dan kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hukum (Panjaitan, 2018). KTI dapat terjadi secara berulang karena diperburuk oleh sejumlah faktor seperti penyakit mendadak atau kronis, adanya anak berkebutuhan khusus, amarah yang memuncak, kesemasan, kesedihan, stres, masalah pekerjaan, depresi, sejumlah alasan psikologis lain, dan minuman keras (Davis, 2008).
Sebagai korban KTI, istri dapat berlindung di balik Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga seperti yang dijelaskan dalam pasal 16-38, yaitu: (1) mendapatkan perlindungan sementara oleh kepolisian dalam waktu 1x24 jam dan paling lama 7 hari, (2) permohonan untuk memperoleh surat perlindungan dapat diajukan, dan (3) perintah perlindungan dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 tahun dan dapat diperpanjang 7 hari sebelum masa berlaku berakhir.Â
Namun, apakah proses rehabilitasi ini benar-benar dapat menjamin keamanan dan kenyamanan korban KTI?Â
Dalam kasus W dan S, sepasang suami-istri yang sedang menjalani proses rehabilitasi KTI yang sudah terjadi 5 tahun terakhir di rumah tangga mereka, proses rehabilitasi di atas dinilai kurang efektif. Hal tersebut dapat terjadi karena kantor polisi sektor yang menangani kasus W dan S selalu mengembalikan kasus mereka ke kantor kelurahan agar dapat dimediasi secara kekeluargaan.Â
Hal tersebut hanya 'menunda' W melakukan KTI terhadap S, memberikan ruang bagi S untuk beristirahat di rumah orang tuanya, kemudian W akan menjemput S untuk kembali. Hasilnya, KTI dapat terjadi untuk yang kesekian kali.
Kasus KTI yang terus berulang dan korban yang terus bertahan ini merupakan salah satu fenomena yang sering ditemui di masyarakat. Dugan dan Hock (2006) menjelaskan bahwa dalam kasus kekerasan biasanya membentuk pola-pola kekerasan dan mengalami siklus yang berulang dari perilaku destruktif atau kekerasan yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu. KTI yang terus berulang dalam kasus ini dapar dijelaskan melalui teori cycle of violence oleh Walker dan Gelles. Dimulai dari tension-building, explosion, honeymoon, kembali ke tension-building dan terus berulang.
Oleh karena itu, selain dengan undang-undang di atas, proses rehabilitasi KTI juga harus disertai dengan tegasnya aparat dalam menghukum pelaku KTI agar pelaku menyadari secara penuh kesalahannya. Hal yang lebih penting dalam hal ini adalah peran aktif masyarakat untuk tidak memandang KDRT sebagai masalah domestik yang orang lain tidak boleh ikut campur.Â
Masyarakat harus berperan aktif karena peran mereka diakui oleh hukum, di mana setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui adanya KDRT wajib melakukan upaya sesuai kemampuan untuk mencegah tindak kekerasan lebih lanjut. Proses rehabilitasi pada kekerasan terhadap istri harus dilakukan secara bersama-sama agar pola kekerasan terhadap istri tidak terjadi. Selain itu, perlu pengusutan lebih mendalam mengenai faktor utama penyebab kekerasan terhadap istri terjadi. Hal tersebut dilakukan agar tidak ada faktor penyebab yang terlewat untuk diberikan rehabilitasi yang tepat.
Daftar Pustaka
David, R. L. (2008). DOMESTIC VIOLENCE. New York: Taylor & Francis Group.Â
Dugan, M. K., & Hock, R. R. (2006). It's My Life Now: Starting Over After an Abusive Relationship or Domestic Violence (2nd Edition) (2nd editio). New York: Taylor & Francis Group.Â
Panjaitan, Firman. (2018). Kekerasan Terhadap Istri dalam Lingkup Domestik. Jurnal Fidei, 1(1), 42--66.Â
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.Â
____. (2021). Perempuan dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak, dan Keterbatasan Penanganan di Tengah Covid-19. Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H