Kesetaraan gender masih menjadi topik yang rentan menuai perdebatan jika kita memulai untuk membahasnya, baik di zaman Indonesia belum merdeka, sampai saat ini dimana perempuan sudah banyak menduduki posisi penting di segala bidang. Namun saat kita menyebut kesetaraan gender dalam suatu kelompok, sering terjadi perpecahan dua kubu antara yang pro dan kontra.
Jaga-jaga jika kalian lupa, dalam novel 5 CM karya Donny Dhirgantoro, tokoh Riani pernah ribut dengan teman segengnya yang dihuni para laki-laki saat pembahasan sudah menjurus kepada gender equality.Â
Masing-masing memang mempunyai perspektif tersendiri menyikapi kesetaraan gender, ada yang setuju karena itu bentuk dukungan emansipasi wanita yang sejak dahulu diperjuangkan R.A. Kartini, ada pula yang menentang dengan kedok perempuan harus berjalan sesuai 'kodrat.'
Diskriminasi terhadap perempuan tidak hanya terjadi di lingkup sosial, tapi juga olahraga, utamanya olahraga yang dominan dikenal dengan "A Man's Game." Apalagi jika bukan sepak bola.
Hampir semua perempuan yang menyukai sepak bola, pasti pernah paling tidak satu kali diragukan kebenarannya. Seperti, "Lu serius suka bola? Lu kan cewek, ini olahraga cowok."Â
Atau lebih parahnya seringkali para perempuan dianggap suka sepak bola hanya karena ingin mencari eksistensi dan ingin dianggap 'berbeda'Â oleh laki-laki. Tuduhan tak paham dunia perbolaan pun selalu dicecarkan setiap perempuan menunjukkan dirinya jika ia mencintai sepak bola.
Jujur saja, pandangan seperti itu amat mengecewakan. Jika kalian menemukan perempuan yang menyukai sepak bola karena urusan fisik pemain atau hanya ikut-ikutan semata, ya oke yang seperti itu memang ada, tapi bukan berarti bisa digeneralisir bahwa perempuan menyukai sepak bola karena nyari sensasi, it's not worth it. Masih banyak di luar sana perempuan yang menyukai sepak bola karena dia memang suka, tanpa embel-embel hal semacam itu.
Tidak hanya para penggemar yang menerima diskriminasi karena terjun di dunia sepak bola. Pemain sepak bola perempuan juga kerap mendapatkan perlakuan bahwa diri mereka hanya dijadikan objek semata.Â
Meskipun mereka sudah menorehkan prestasi, namun tetap saja ada orang-orang yang menilai pemain sepak bola perempuan hanya dari fisiknya, bukan skill dan pencapaian. Hal semacam itu tidak hanya terjadi di Indonesia, di negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris juga masih bisa ditemui spesies manusia semacam itu.
Saat saya berusia sekitar tujuh tahun, usia di mana pertama kali tertarik dengan sepak bola, tidak pernah ada dalam bayangan jika ketertarikan saya terhadap dunia laki-laki ini harus menemukan banyak halangan untuk sekadar menunjukkan jika saya menyukai sepak bola murni karena suka.
Pada awalnya semua berjalan baik-baik saja, karena lingkungan tempat tinggal juga tidak memandang aneh jika perempuan menyukai sepak bola. Hambatan itu justru saya temui ketika menginjak usia belasan tahun.
Membuka dunia luar bahwa menjadi perempuan yang menyukai sepak bola ternyata tidak semudah yang saat kecil saya alami. Stereotip tidak bermutu seperti yang sudah saya sebutkan di atas akhirnya datang dan saya alami sendiri. Kalian tahu alasan menyebalkan tiap mereka mem-bully? Karena saya perempuan.
Pada saat itu belum tahu menahu bagaimana mematahkan argumen murahan mereka, hanya bisa menerima. Tapi tidak untuk sekarang, di mana perempuan sudah lebih mampu menunjukkan jati diri mereka. Di era sepak bola yang saat ini sudah menjadi industri, sosok perempuan sudah sering kita temui berseliweran di ranah olahraga si kulit bundar.
Marina Granovskaia adalah nama perempuan yang sering muncul di media berita kala bursa transfer dibuka. Posisinya yang menjabat sebagai direktur umum di klub ibukota Inggris, Chelsea, menjadikan dirinya aktor utama dalam perekrutan pemain di Stamford Bridge.Â
Perannya cukup identik dengan perempuan pada umumnya, yaitu mengatur pengeluaran dan pemasukan uang klub, juga turut serta dalam bernegosiasi terkait kontrak pemain yang akan datang maupun pergi.
Selain Chelsea, ada juga klub biru lain dari Premier League yang menghargai peran perempuan, yaitu Manchester City. Ada Victoria Haydn yang berperan sebagai fotografer resmi Manchester City. Dialah pelaku utama dibalik foto-foto memukau skuad Manchester Biru dengan lensa kameranya.
Baru-baru ini British Council juga mendukung peran penting perempuan dan anak perempuan di lingkup sepak bola. Olahraga terpopuler di dunia ini diharapkan bisa menjadi pendorong untuk mengatasi masalah sosial seperti kesetaraan gender.
Football for all, sepak bola layak dinikmati oleh siapapun, baik itu laki-laki maupun perempuan. Juga sudah semestinya perempuan berhak untuk terjun di bidang olahraga mana saja termasuk sepak bola, tanpa adanya diskriminasi. Untuk apa R.A. Kartini memperjuangkan emansipasi wanita jika masih ada saja yang memandang sebelah mata kemampuan seorang perempuan?
Saya tutup tulisan ini dengan salah satu quote R.A. Kartini favorit saya, "gadis yang pikirannya sudah dicerdaskan, pemandangannya sudah diperluas, tidak akan sanggup lagi hidup di dunia nenek moyangnya."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H