Aku mencoba mengingat-ingat sejak kapan sebuah rasa itu menyelinap diantara relung hati. Rasa yang pernah ada, rasa itu pernah juga singgah saat hatiku patah berkeping-keping.Â
Sebuah nama dari masa lalu yang membawanya ke sini, kemudian sedikit demi sedikit memunguti kepingan-kepingan hati, mengumpulkan dan menyatukannya kembali. Rasa yang sama kala aku berada di dekatnya.Â
Aku duduk di sebuah taman bunga Celosia. Tempat di mana dahulu kami sering bertemu hanya sekedar bercerita atau bercanda ria. Warna kuning dan merah yang begitu cerah dari bunga Celosia tak mempengaruhi suasana hatiku sore ini. Aku pandangi gawai yang sedari pagi membisu, tak ada pesan atau dering telefon masuk. Aku bertanya-tanya kemana perginya orang-orang penting dalam hidupku.Â
Aku keluarkan sebuah buku diary dari dalam tas. Buku yang wanginya telah pudar ini penuh dengan tulisan curahan hati yang sudah selesai ku baca. Di setiap akhir tulisannya tertulis sebuah nama -- Celosia --Â
Dahulu kami adalah sahabat, aku, Ken dan Celosia. Persahabatan kami begitu dalam, aku rasa setiap sahabat di manapun hingga di ujung dunia tentu punya perasaan yang dalam. Saat masa-masa sekolah kami selalu sama-sama. Hingga kemudian sebuah tragedi terjadi. Tragedi pergulatan rasa diantara kami.Â
Aku dan Celosia, diam-diam kami punya perasaan yang sama pada Ken. Namun bukan perasaan sayang yang biasa saja. Rasaku menumbuhkan bunga-bunga indah dalam taman hati, serombongan kupu-kupu akan dengan rela dan bahagia mengitarinya. Pun dengan Celosia, dengan salah tingkahnya saat tatap mata saling temu, padahal awalnya biasa saja.Â
"Sudah lama di sini?" sebuah suara membuyarkan lamunanku. Senyumnya masih sama seperti dulu, tatap matanya tak mampu membuatku untuk menghindar lagi. Kali ini aku tak perlu takut terjebak pada perasaan yang sama seperti dulu. Nyatanya aku tak terikat oleh apapun apalagi sebuah pernikahan.Â
Aku pernah menginginkan bahwa tak ada lagi yang namanya pernikahan dalam hidupku kala hatiku dibuat hancur lebur bagai debu di padang tandus. Calon suamiku tak pernah datang di hari pernikahan itu. Berhari-hari, berminggu-minggu, hingga satu purnama berlalu, akhirnya Ken sahabat lamaku yang datang menemuiku. Membawa harapan dan sebuah diary milik Celosia.Â
Kami bertiga telah terpisah jarak dan waktu atas nama hati yang tak mungkin memiliki. Aku mencoba mengenal rasa yang sama pada orang yang berbeda walau akhirnya tak mampu ku miliki jua. Ken meninggalkan kotaku dan menyelami kehidupan sendiri tanpa kami sahabat-sahabatnya. Celosia berjuang untuk tetap bertahan hidup namun Tuhan telah berkehendak, dia pergi selamanya karena sakit yang diderita.Â
Air mataku tak bisa ku bendung lagi, kepalaku bersandar pada bahu lelaki yang kokoh. Masih ku pegang diary Celosia. Andai waktu masih bisa ku ulang, aku akan menemanimu berjuang melawan penyakitmu, aku akan ikhlaskan Ken untukmu. Tapi semua sudah terlambat. Maafkan aku Celosia.Â