Mohon tunggu...
Yunita Simatupang
Yunita Simatupang Mohon Tunggu... Mahasiswa -

nilai lah aku dari tulisan ku.. ceileh...

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pelajaran Hidup

30 November 2015   15:37 Diperbarui: 30 November 2015   18:29 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana kabar ibumu ? pertanyaan itu refleks keluar dari bibirku

Dia memandang kebawah dan suara tangisan yang semakin menjadi yang terdengar. Aku menenangkannya dengan memegang pundaknya. Pramugari yang mendegar tangisannya kemudian datang untuk mengecek keadaannya kemudian memberikan sebotol air putih untuk diminumnya. Setelah agak tenang, aku tidak mau menanyakan pertanyaanku yang sama padahal aku sudah penasaran juga. Akupun menawarkan pertukaran bangku dan dia menyetujuinya. Kali dia ini jauh lebih tenang setelah melihat keluar jendela.

Ibuku meninggal gantung diri. Dia gantung diri sejam sebelum aku sampai di rumah. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Rumah yang aku tinggalkan dulu sangat bersih, nyaman, dan bahagia. kemarin yang kulihat hanya kehampaan dan kekosongan. Ternyata uang yang besar yang aku kirim tiap bulan tidak bisa membuat kondisi rumah sama seperti dulu. Aku sebenarnya sadar, ibuku sangat membutuhkanku. Dari kecil, kondisi psikis ibu sangat lemah. Dia sangat mudah tertekan. Cuman itu kekurangannya, selebihnya dia adalah ibu yang luar biasa

Bagaimana dengan kondisi adik, ayah dan kakakmu? tanyaku

Aku sudah tidak perduli dengan ayah, dia sudah bahagia dengan wanita lain. Kakakku tidak menganggap aku adiknya lagi, ketika aku mengunjunginya kemarin hanya uang yang diingat dariku. Adikku telah kutempatkan di rumah rehabilitasi yang bagus. Pekerjaanku di kampung masih banyak yang aku harus selesaikan. Aku hanya harus mengurus perpindahan tempat kerjaku. Aku tidak mau lagi mengulang kesalahan yang sama. Kini cuman aku, perempuan yang tertinggal di keluargaku. Aku harus bisa mengurus mereka.” Katanya masih tetap memandang langit.

Aku mulai merenung memikirkan diriku. Aku belum mengabarkan wawancara ini pada keluargaku. Bahkan aku telah sebulan lamanya tidak berkomunikasi dengan ibu. Aku bahkan tidak menanyakan kabar ayah serta adik-adikku kepada ibu. Aku bahkan sudah tiga bulan tidak berbicara dengan ayah dikarenakan kesibukanku. Aku memandang kembali wanita yang ada di sebelahku. Gadis ini mengingatkanku bahwa kesukesan jangan membuat aku lupa sama keluargaku, keluarga yang selalu menerima aku apa adanya dan keluarga yang selalu ada buatku.

Perjalanan masih panjang. Kali ini wanita itu tidak berkata-kata lagi, dia sibuk memandang ke luar jendela. Sedangkan aku sibuk untuk menyusun rencana untuk menghubungi keluargaku di kampung dan menanyakan kabar mereka.

sumber gambar: dunia.tempo.co

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun