Berkaca pada pengalaman pribadi dalam mengeyam pendidikan selama 16 tahun, terbesit cerita berlika-liku dalam menyelesaikannya. Saya yakin bukan hanya saya yang mengalaminya, bahkan mungkin ada beberapa dari Anda yang memliki cerita yang sama. Terlahir pada generasi 90-an, jika Anda sama dengan saya berarti kita sekarang sudah bekerja selama beberapa tahun atau mungkin ada yang tetap melanjutkan pendidikan Master atau Doctor.
Pendidikan bagi saya adalah pengorbanan. Pengorbanan untuk mendapatkannya harus diperjuangkan. Tetapi, jika teringat cerita para tokoh “Laskar Pelangi” menjadi cerminan saya untuk lebih bersyukur. Ya, bahkan hingga saat ini masih banyak yang kesulitan dalam mengenyam pendidikan dasar 9 tahun.
Kemdikbud di Bulan Pendidikan Kebudayaan ini mencetus konsep Pendidikan sebagai Gerakan Semesta. Ini adalah konsep pendidikan yang tepat. Konsep Pendidikan sebagai Gerakan Semesta menurut saya adalah pendidikan yang “terjangkau “ untuk seluruh anak Bangsa. Terjangkau disini berarti mudah dijangkau untuk rakyat dalam mendapatkan kesempatan untuk bersekolah, yaitu kemudahan dalam mendapat tempat, kemudahan dalam biaya pendidikan, dan kemudahan dalam sistem pendidikan.
Bagi yang tinggal di perkotaan mendapat pendidikan formal memang dirasa mudah karena hanya tinggal mendaftar sekolah, mengikuti seleksi tes (jika ada) dan membayar biaya pendidikan. Namun, bagi mereka yang tinggal di pelosok kemudahan mendapat pendidikan harus diperjuangkan. Dimulai dari jarak yang ditempuh, medan yang cukup sulit dilalui dalam perjalanan, juga kesempatan dalam mencuri-curi waktu di sela-sela pekerjaan rutin mereka dalam membantu pekerjaaan orang tua.
(Sebuah video yang saya buat tentang Potret Pendidikan Indonesia)
Memang, jumlah sekolah yang minim ini menjadi penyebabnya. Maka, pendidikan sebagai gerakan semesta itu berarti membutuhkan peran seluruh bangsa yaitu pemerintah dan seluruh warga negara termasuk masyarakat pelaku usaha melalui LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) untuk memperbanyak jumlah sekolah di pelosok negeri. Sebenarnya di perkotaan pun demikian, bagi anak-anak terlantar hendaknya ditangani dengan baik oleh pemerintah dan LSM. Sebagai contoh, dengan adanya uluran tangan para relawan untuk mengajar di berbagai wilayah Indonesia. Bukan berati pendidikan harus selalu di sekolah formal, namun dengan memanfaatkan tempat apapun itu yang dapat menghimpun dan ada SDM (Sumber Daya Manusia) yang mengajarkannya.
Beberapa LSM yang sudah berjalan dengan konsep seperti itu adalah kelasinspirasi.org, Yayasan Cinta Anak Bangsa (ycab.org), Yayasan Pemimpin Anak Bangsa (ypab.org), dsb. Lembaga Swadaya Masyarakat semacam ini lebih mudah untuk digerakkan karena memang mudah dijangkau untuk siapa saja yang ingin berpartisipasi untuk kemajuan negeri, termasuk didalamnya pendidikan anak bangsa juga pendidikan dan pelatihan untuk masyarakat. Berpartisipasi dalam bentuk memberikan donasi atau dapat memberikan tenaga untuk mengajar.
Jika LSM seperti ini diperbanyak dan disebarluaskan ke seluruh pelosok negeri, maka akses mendapat pendidikan bukan lagi menjadi masalah. Begitupun hal kendala dalam biaya pendidikan tidak lagi menjadi masalah. Karena konsep pendidikan seperti ini sepenuhnya dengan biaya swadaya masyarakat juga pemerintah. Inilah maksud konsep pendidikan sebagai gerakan semesta yang harus diperbanyak dan benar-benar memberdayakan seluruh komponen bangsa untuk saling membantu sesama. Pendidikan gerakan semesta adalah pendidikan yang terjangkau untuk anak bangsa.
Nah, dengan begitu sistem pendidikan Indonesia menyenangkan bukan?
Salam,
"ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”
(dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan, di tengah atau di antara murid guru harus menciptakan prakarsa dan ide, di depan seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H