Mohon tunggu...
Nisaa
Nisaa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Nisaaa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hati-hati dengan Jempolmu, Sayang!

17 Januari 2022   19:04 Diperbarui: 17 Januari 2022   19:20 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hati-hati dengan jempolmu, sayang !

Suara tangan lebih mudah terdengar di zaman yang semi maya seperti saat ini. Suara tangan itu bahkan bisa melintasi dinding dinding yang padat, hutan-hutan yang lebat, lintasan jalan yang padat. Hanya sepersekian detik, hanya sepersekian kejapan. Coba dengarkan itu !kata kemajuan terdengar begitu indah di telinga seseorang. 

Kata modernisasi terdengar begitu mengesankan hati seseorang. Modernisasi memungkinakan tangan menjadi pengendali. Memungkinkan jemari menjadi penghidupan sekaligus kematian atas diri sendiri dan orang lain. 

Dahulu selalu pena yang berbicara. Melalui serat dan kertas. Mesin cetak dan mesin ketik datang dan menjadi tuan rumah setelahnya. Itulah yang kemudian dikenal dengan William shakespare, itulah yang kemudian seseorang kenal dengan sutan takdir alishabana. Suara tangan mereka bergema begitu lantang melalui tulisan-tulisan. 

Namun tak begitu jauh saat itu menyebarnya. Hanya kepada lingkungan dekat mereka saja barangkali suara itu terdengar. Hanya kepada lingkungan elitis saja barangkali. 

Hanya kepada golongan terpelajar saja barangkali. Hanya kepada golongan yang mengenal baca tulis saja barangkali. Hanya kepada golongan yang bisa baca tulis dan berduit saja barangkali. 

Entahlah. Gema suara mereka masih terdengar meratap diantara tebalnya tembok. Tapi tak mampu kencang lajunya saat itu. Sementara dalam dunia yang dewasa ini, suara-suara tangan bisa begitu dengan mudah terdengar lantang. 

Katakan sebuah kalimat pendek apapun lewat suara tangan itu dan seseorang di ujung eropa barat sana akan dengan cepat mengetahui apa yang telah tertulis itu. Hanya sepersekian detik, hanya sepersekian kejapan. Tentu itu terlihat indah. 

Terbaca sangat menggembirakan. Namun masalah muncul dari balik keindahan itu sebenarnya. Selalu saja manusia itu sendiri yang menjadi biang masalahnya. Dialah sang pendamai dan pencipta masalah. Dialah pahlawan sekaligus penjahatnya. Dialah wira sablengnya, dia pulalah mahesa birawanya.  

Selalu saja demorkrasi yang menjadi landasan dalam konteks bersuara dengan tangan ini. Selalu saja kebebasan yang menjadi tolak acuan. Sudah benarkah apa yang tersimpan dalam kepala seseorang tentang apa itu kebebasan ? tentang apa it demokrasi ?. Lalu dimana batasan itu bertempat ? dimana rasa kemanusiaan itu bersinggasana ?. 

Bukankah demokrasi dan kebebasan yang selalu dikumandangkan itu seharusnya selalu berdampingan dengan batasan-batasan ? selalu beriringan dengan rasa kemanusiaan ?. entahlah, tapi mereka yang berbicara lewat suara tangan itu kebanyakan tak mengindahkan batasan, tak mngindahkan rasa kemanusiaan. Entah keterpanggilan yang bermuasal dari mana yang menggerakkan mereka untuk selalu bersuara. 

Barangkali mereka merasa diri sebagai keponakan tuhan, hingga membuatnya merasa harus selalu menampakkan diri melalui suara tangan itu. Sesesorang harus mulai berpikir, bahwa kemajuan yang tidak selalu diimbangi dengan kualitas manusianya bisa menciptakan pejabat-pejabat yang sangat anarki. Maksudnya adalah tengoklah kini, pejabat apa yang paling banyak jumlahnya di negeri ini. Anggota dewan ? Polisi ? tentara ? ?lurah ? gubernur ?.... bukan. 

Menteri ? Presiden ? RT ? juga bukan. Pejabat yang paling banyak jumlahnya dinegeri ini adalah hakim. Jumlahnya sekira ratusan juta. Mereka tak berkualifikasi dan perannya adalah menghakimi orang lain melalui ketikan suara tangan mereka di alam maya secara anarki. Tanpa mereka kenal siapa yang mereka hakimi. Tanpa mereka peduli lara apa yang akan di tanggung oleh orang yang mereka hakimi.

Suara tangan terkadang sebenarnya laksana senja. Hanya untuk bisa dipandang, hanya untuk sanggup dilihat, bukan untuk dibawa pulang. Namun dalam sekian pribadi, suara tangan itu dianggap ibarat kertas yang dibelokkan kehakikatan maknanya.

 Memanglah benar jika kertas bisa dipakai buat menampung tulisan, untuk membungkus nasi, untuk dilipat menjadi semacam kupu-kupu buatan, tapi jangan juga kertas itu diambil untuk dimakan. 

Adalah benar bila kertas itu di bisa ditelan, tapi it bukan tempatnya yang hakikat. Beginilah terkadang suara tangan itu ditempatkan. Ditaruh diatas tempat yang yang tidak semestinya. 

Lalu apalagi ? Pasrah dengan keadaan ? menyerah ? memangnya ini tanggung jawab siapa ? entahlah. Rumit. Tapi mari kita meloncat kepada satu hal.

Selalu berat memang jika kedewasaan menjadi tema yang diangkat dalam sebuah diskusi atau pembicaraan. Kedewasaan adalah laku dalam proses yang rumit yang kepada pribadi satu dan lainnya akan mungkin berada dalam kurikulum yang berbeda pula. 

Dalam sebuah perkumpulan, seorang yang terlibat bicara dan menyampaikan suaranya tak melulu menjadi sesuatu yang dibutuhkan. Terkadang seorang yang berdiam dan hanya memperhatikan saja lebih dibutuhkan untuk lancarnya sebuah perkumpulan. Diam terkadang bisa menjadi pilihan. 

Apakah diam bisa menjadi bagian dalam kedewasaan dalam berlaku di alam maya ? entahlah. Bukan saya yang seharusnya menjawab. Tugas saya hanya mengingatkan seseorang

Hati-hati dengan jempolmu, sayang

Surabaya, 18 juli 2021

Suprayitno

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun