Mohon tunggu...
Yunisa NurI
Yunisa NurI Mohon Tunggu... Tutor - Just for fun

Banyak berusaha, sedikit sambat

Selanjutnya

Tutup

Diary

"Nilai Matematika Jelek, Apakah Si Anak Itu Bodoh?"

31 Maret 2021   14:00 Diperbarui: 31 Maret 2021   14:02 2858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Hai sahabat, setelah sekian lama saya vakum dari dunia penulisan, Alhamdulillah ada niat lagi buat nulis, kali ini temanya tentang keinginan anak. Sebenarnya saya belum nikah, apalagi punya anak, ya saya cerita dari pengalaman saya menjadi guru privat. Sudah hampir dua tahun saya mengajar matematika  dan berkenalan dengan banyak anak-anak. Setiap dari mereka punya keunikan masing-masing, dan semua siswa saya itu tidak suka matematika, maka dari itu orang tua mengundang guru privat matematika supaya harapannya nilai matematika sang anak bagus. Yah, itu wajar!. 

Tetapi, nilai matematika itu bukan patokan yang menunjukkan si anak cerdas atau tidak. Every child is special. Setiap anak punya kesukaan masing-masing, punya kecerdasan masing-masing. Tidak suka matematika tapi ahli bahasa inggris, tidak suka matematika tapi suka melukis, tidak suka matematika tapi pintar design, tidak suka matematika tapi ahli musik bahkan sudah bisa membuat lagu, tidak suka matematika tapi ahli dalam editor video. Potensi-potensi yang luar biasa yang mungkin tidak dilihat orang tua. Ya mungkin, karena kebiasaan orang Indonesia sih, kalau anak cerdas itu dilihat dari nilai matematikanya. 

Pernah murid saya menangis karena diminta harus masuk smp favorit dikotanya, kalau tidak dia akan dipondokkan. Kemudian saya tanya perihal keinginan dia setelah Sekolah Dasar (SD). Ternyata dia sudah menentukan sekolah yang dituju, dia sudah ingin masuk di salah satu ekstrakulikuler di sekolah itu. Saya berpikir, ini anak masih kecil sebenarnya tapi dia udah rapi menata keinginannya, jarang bener ada anak seperti ini, biasanya kebanyakan anak selalu nurut orang tua. 

Berbekal pengalaman saya selama hidup, saya mencoba menceritakan kisah saya waktu kecil yang mencoba bangkit dari ejekan karena bodoh. Saya mengatakan kalau "Adek, mau sekolah dimanapun kalau nggak belajar juga tetep susah loh, ya sudah nanti mbak ica bantu cari informasi sekolah yang diinginkan orang tua mu ya, siapa tau di situ ada ekstrakurikuler yang kamu inginkan, sekarang belajar dulu yah". Dengan tangisan agak lirik dia mulai membuka buku matematikanya. 

Sebenarnya wajar ketika orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya, namun ketika sang anak sudah mulai tertekan dengan apa yang diinginkan orang tua itu bisa membahayakan jiwa psikologis anak. Bisa jadi sang anak yang awalnya aktif dan ceria bisa menjadi pendiam karena kurang sosialisasi dan diharuskan belajar terus, bisa juga yang awalnya nurut malah menjadi pemberontak. Yang paling menyakitkan, ketika anak sudah berpikir bahwa orang tuanya bukan orang yang tepat untuk diajak berbicara, jadi kesannya tertutup kepada orang tua. 

"Terus bagaimana bu, kalau anak saya nanti gagal karena nilai matematikanya jelek?" tanya salah satu orang tua. Saya sudah mengatakan bahwa every child is special, banyak banget anak diluar sana yang bisa sukses bukan karena nilai matematikanya. Bisa sukses dengan enjoy, sukses dengan hobinya, dan tidak tertekan. Teman kuliah saya tidak suka matematika dan berhasil membuat pameran hasil lukisannya, ada juga yang benci matematika tapi berhasil membuat buku. Kalau memang pengen memperbaiki nilai anak apalagi matematika, orang tua bisa membantu untuk jadwal belajarnya, bermain sambil belajar, diajak bercerita supaya anak semangat dan termotivasi, dan jangan ditekan untuk belajar terus menerus. 

Kemudian, ketika mengetahui nilai matematika sang anak jelek, jangan dikatakan bodoh, sakit rasanya. Apalagi sang anak punya bakat lain selain matematika, jangan sampai di katakan bodoh.  Perkataan "Bodoh" itu sangat mengganggu jiwa psikis anak. Mending bilang gini "Wah ini sudah lumayan bagus dari kemarin, nggak papa kita belajar lagi nanti ya, semangat, sekarang istirahat dulu". Saya yakin dengan ucapan seperti itu, kedekatan anak dan orang tua akan semakin baik dan anak akan semakin semangat. 

Oke, sampai sini dulu aja cerita pengalaman saya, semoga bisa diambil pelajaran baiknya. Terima kasih sudah membaca.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun