Segenap nafasku terekam disini,...
Menghirup udara dan menikmati pagi,...
Burung-burung terbang ria sambil bernyanyi,...
Kota di dasar karang dan lembahmu,...
Dinafasi angin dua musim,...
Ketika fajar berlinang embun,...
Dan gugur bunga-bunga musim kemerau,..
             Bumi Yotowawa tempatku menjajakan kaki,..
             Bumi yang berdiri di atas budaya Honoli,..
             Seperti hatiku tak akan pergi,..
            Walalu musim selalu berganti,..
Kini,...
Bumi Yotowawa dipenuhi jalan beraspal,..
Kendaran lalu lalang dan bunyi kenalpot yang semakin menggila,..
Mengasapi orang-orang yang dirundung sesal,..
Tapi sayang, taka da satupun yang peduli,...
Lampu-lampu penerang di setiap rumah seperti mengular,..
Televisi, gedjet menjadi kiblat baru,..
Permainan gasing, permainan katri, permaian benteng, congklak, enggrang
Hilang digerus zaman,..
Tapi sayang, taka ada satupun yang peduli,..
              Aku harap engkau tetap ramah,..
              Walau burung-burung enggan singgah,..
              Lantaran pohon-pohon banyak yang punah,..
              Dan rerumputan sering dibakar pada musim kemerau,..
Berapa banyak disana bulan jatuh ke kali,.
Berapa banyak hujan turun ke bumi,..
Terapung dalam aliran rinduku,..
Surat-surat terhambat pada rentangan rel-rel kapal- kapal laut,,
Terus berlari, berkelahi dengan jaringan,,
Jendela yang selalu terbuka kearah masa depan,..
           Berapa banyak disini hujan menguyupkan kota,..
           Dan malam lewat atas pelupuk mata terbuka,..
           Jalan panjang merangkai tahun-ke tahun,...
           Dilikunya wajah penduduk berdesak menyuruki sepi,..
Bumi Yotowawa tempat kelahiranku,..
Aku rindu terlelap dalam pangkuanmu,..
Sampai akhir menutup mata,...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H