Mohon tunggu...
Mayun May
Mayun May Mohon Tunggu... Guru - Yuni Maulidiyah

Pengusaha kata, pejuang pagi, pecinta siang dan perindu malam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(R)asaku Melangkah

5 Januari 2019   11:46 Diperbarui: 5 Januari 2019   11:50 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Batu-batu malam menyapa lagi. Gelap dan tajam menusuk pori-pori. Tersenyum diinjak sebuah asa penuh ambisi. Sahabat baru. Aroma sepatu pabrik tercium lekat oleh pundak-pundak gunung tak berapi. Lihatlah segerombolan para pendaki itu. Menginjak-injak dengan lepasnya untuk menjauhi lengket pasir pantai. Mereka mengidamkan wewangian udara malam, menggila diperempat kelam dan tertawa di antara kesunyian bintang.


Tas gunung mulai Erlin angkat. Suara gaduh anak SMA menjauhi telinganya. Lebih lagi suara bel masuk kelas yang berkoar --telah senyap oleh diamnya Elang yang menempel di pohon-pohon. Erlin menyisihkan gelarnya sebagai seorang guru. Menghapusnya malam ini. Sekali. Mendinginkan sejenak ilmu Geografi yang penuh teori dan membingungkan murid-muridnya.
Empat tumpuan disandangnya. Dua kaki dan dua tangannya melalui anak Gunung Semeru. Tidak merasa terpaksa Erlin menghadapi beban ini. Tidak sebanding dengan apa yang ia rasakan saat ini. Kakinya merangkak --fikirannya apalagi. Tangannya menarik rapat-rapat benjolan batu --takdirnya bertumbuh lebat. Puncak Pawitra menjadi saksi ia yang baru mendaki dengan penuh ambisi.


"Ibu...." sapa Erlin.
"Bu..." teriaknya lagi.


Namun ibu tirinya tidak mau menoleh --bahkan pura-pura menoleh pun. Tidak.


"Yah, aku rindu ibu." Gumam Erlin dalam bayangan.

Ia hanya mampu mengadu pada neneknya. Ia hanya menangis diuntaian rumah Tuhan. Setiap jeritan hatinya cukup neneknya yang mengerti. Tuhannya yang tahu.
Rintik hujan mulai jatuh mengguyur planet Bumi malam ini. Pemandangan Gunung Arjuna dan Gunung Welirang tak mampu menahan jatuhnya air dari langit. Rombongan Erlin dan teman-temannya segera memasang tenda tepat di Puncak Bayangan Gunung Penanggungan. Walaupun hanya gerimis, mereka terpaksa berhenti.


"Eh, Lin. Besok kamu nggak ada jam ngajar, kan?"
"Tenang aja, Bro. Besok aku libur."
"Ow. Kita lanjutkan perjalanan nanti jam tiga. Mumpung sekarang masih jam sepuluh."
"Oke." Sahut mereka serempak.


 Jaket,sapu tangan dan selimut mereka ulurkan. Mimpi-mimpi ia lukiskan. Tertutup matanya bersama gerimis malam ini.


Selamat malam.
Wahai Puncak Pawitra. Puncak Gunung Anakan Semeru.


Selamat malam.
Diperjalanan langkahku petang ini adalah untuk dapat melihatmu esok pagi bersama embun yang masih memutih. Menghirup kabut indah yang tidak akan terhalang oleh bangunan orang yang penuh polusi. Aku menginginkan kau esok pagi. Bersama rasa sinar harapan-harapan yang mulai merekah disenyuman mega.


Selamat Malam, gunung api yang sedang tidur. Tidak tanggung aku membangunkan dirimu esok pagi, kan? Karena rintik hujan detik ini kau akan merasa menggigil dan esok kau akan hangat kembali.
Jawabanmu pasti 'Iya', kan?
Sunyi.

 Malam ini kau terlihat diam. 

Apa kau merasakan apa yang aku rasakan? Jawablah! Karena aku datang ke sini untuk menemui dirimu. Ingin berbagi rasa yang selama ini tak pernah ada satu pun orang yang merasakan kepiluan hatiku.


Wahai Puncak Pawitra. Puncak Gunung Anakan Semeru.
Sungguh engkau berbaik hati mendengarkan langit-langit mimpiku. Bisa menggelayut bersama ibuku di surga adalah asa terbesarku. Tetapi mengapa aku tidak mampu? Kerinduan adalah sesak tanpa bisa tertahan.


Wahai Puncak Pawitra. Puncak Gunung Anakan Semeru.
Jangan pernah kau cerita tentang semua ini kepada pohon-pohon bahkan kepada bunga Edelweis. Karena di ketingganmu yang hanya 1653 mdpl ini tidak akan pernah tumbuh. Seperti perjalananku selama dua puluh lima tahun terakhir. Tidak akan pernah tumbuh seorang ibu dalam hidupku. Bagaimana aku bisa hidup tanpa ia --tanpa ayah dan ibu kandungku.


Wahai Puncak Pawitra. Puncak Gunung Anakan Semeru.
Tidak susah aku mendaki tubuhmu. Walau merangkak, jatuh bahkan tersungkur karena licinnya kulitmu. Aku tetap berdiri. Terus melaju sampai puncak. Sampai aku menemuimu diesok hari yang ku impikan.


Kau adalah cinta pertamaku selain ibuku. Perjalanan ini. Kan menjadi awal diriku untuk membebaskan diri dari belenggu rindu. Sepimu adalah rasa ceria baru. Bersama teman-temanku --kau mampu mengusir kegalauanku.
Walau dunia keluargaku acuh pada diriku. Aku masih punya ibuku di surga. Aku masih punya Tuhanku. Aku masih punya bahagiaku di sekolah dan pastinya kau --gunung-gunung Indonesia yang mempertemukan keluarga baruku. Penyemangat (R)asaku bersama indahnya malam yang kelabu tuk menemui pagi yang membuatku rindu.

Cerpen ini adalah kisah nyata yang di alami teman pendidik di sekolah tempat kami mengabdi. Cerpen ini lolos seleksi dan di bukukan oleh Jejak Publisher dalam buku Perjalana (R)asa.

Siapapun yang telah membaca semoga cerita ini menginspirasi kita semua. Aamiin

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun