Awalnya saya ragu. Bagi saya, konsultasi psikologi bukan suatu hal yang umum untuk keluarga yang 'baik-baik saja'. Namun pembicaraan dengan suami membuka lebih lebar sudut pandang saya yang semula sempit.Â
Satu hal yang paling mendesak yang harus segera diputuskan adalah bahwa anak sulung kami akan mulai bersekolah tahun ini. Kami sudah mendaftarkannya di Taman Kanak-Kanak (TK), kelas B. Tapi kemudian kami galau. Usianya belum genap lima tahun. Sedang tantangan dunia pendidikan di Indonesia penuh tuntutan, tampak menakutkan bagi saya sebagai seorang ibu.
Suami saya bekerja sebagai engineer. Pekerjaannya mencakup inspeksi untuk pemeliharaan instalasi pengolahan gas. Sehari-hari berkutat dengan data untuk menyusun rekomendasi sebagai dasar pengambilan keputusan. Cocok dengan alur berpikir logis yang menguatkan karakter seorang laki-laki. Beda dengan saya yang seringkali bimbang untuk suatu hal hanya karena 'kata orang ini begini, kata orang itu begitu'.Â
Anak sulung kami akan mulai sekolah tahun ini, tanpa melewati PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), tanpa melewati Kelompok Bermain. Sehari-hari dia lebih banyak di rumah bersama saya dan adiknya. Sepertinya sudah cukup saya menyiapkannya untuk sekolah. Pengenalan warna, bentuk, bahasa, kosakata, huruf, dan angka, sudah diberikan. Sudah menjadi hal yang umum anak usia 4 tahun mulai sekolah TK. Saya dulu juga begitu, usia 6 tahun sudah masuk SD. Mungkin itu juga yang mendasari keputusan mendaftarkan Ayu di TK B. Padahal sudah banyak kali saya mendengar beberapa hal berikut ini:
- Murid SD kelas 1 dituntut sudah bisa membaca, memahami pertanyaan, dan menjawab soal uraian.
- Anak kelas 4 mulai susah memahami materi pelajaran, karena terlalu dini masuk SD.
- Aturan di beberapa SD yang mensyaratkan anak usia minimal 6,8 (hampir 7 tahun) baru bisa diterima di kelas 1.
Ditambah lagi berseliweran saran-saran psikolog seperti ibu Elly Risman di media sosial, bahwa sebaiknya usia masuk SD adalah minimal 6,5 tahun.
Saya dan suami lantas sepakat untuk berkonsultasi ke psikolog. Tujuannya agar kami mendapat semacam rekomendasi (berdasar data) dalam mengantarkan anak kami sekolah. Kami pergi ke RSU Dr. Moewardi Surakarta untuk keperluan tersebut. Sekalian pula kami meminta kejelasan mengenai arah minat dan bakat anak. Minat dan bakat Ayu menurut kami masih terlalu umum. Padahal (dasar ibu-ibu) saya sudah mencarikan info untuk les piano dan les berenang untuknya, hehe..
Kami orangtuanya cukup takjub mengetahui bahwa balita sudah bisa diminta mengerjakan tes IQ. Saya saja pertama kali mengerjakan tes tersebut di masa penjurusan di SMA.Â
Dari pertemuan dengan psikolog tersebut kami mendapat 'parenting education' tentang bagaimana menstimulasi anak untuk mengasah kemampuan-kemampuan yang ingin dicapai. Seperti misalnya untuk Ayu, kemampuan motorik halusnya perlu distimulasi dengan permainan-permainan pasir kinetik, playdoh, brain games, dan lain-lain. Kami orangtuanya perlu lebih banyak menyampaikan 'story telling', untuk menumbuhkan perilaku positif pada anak.
Orangtua zaman sekarang memang harus cerdas demi anak-anaknya. Dari konsultasi tersebut malah banyak PR (pekerjaan rumah) yang kami orangtuanya harus lakukan untuk anak. Ternyata penting juga ya tugas orangtua mendampingi anak. Tidak hanya cukup memberi makan anak saja.
Psikolog menyarankan agar Ayu masuk dulu di TK A. Saya bisa menerima saran tersebut dan mantap hati bahwa itu yang terbaik. Biarkan anak mempelajari kemampuan sosialnya di TK A.Â
Sabar menjalani proses agar anak matang pada waktunya. Esok harinya kami menghubungi pihak calon sekolah anak kami, memindahkan pendaftarannya ke TK A. Respon sang ibu gurunya adalah kelegaan. Lega karena saya tidak memaksakan diri memasukkan anak ke TK B.
Cerita kehidupan ini belum selesai, jalannya masih panjang. Kita jalani saja hari demi hari dan nikmati prosesnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H