Lain lagi ceritanya dengan anak perempuan kedua saya. Satu ilmu parenting yang berhasil saya terapkan untuk anak saya yaitu menyapih dengan kasih (weaning with love). Saya memang tidak berniat menyapih dengan cara-cara memaksa atau menutup akses untuk nenen.  Sejak awal saya sudah ragu bahwa si adik akan berhenti ngASI tepat umur 2 tahun. Beberapa waktu menjelang usianya  2 tahun saya sudah mulai berdoa dan mencoba memberi pengertian kepada dedek bahwa sudah waktunya berhenti minum ASI. Namun ulang tahunnya yang kedua lewat begitu saja tanpa tanda-tanda berhenti nenen. Setiap malam menjelang tidur ketika kami berdoa bersama selalu saya katakan bahwa: "Ibu berdoa mohon Tuhan menolong dedek supaya berhenti nenen dan menjadi lebih mandiri", dan terus diulang setiap malam sambil didengar kedua anak saya. Hingga akhirnya di bulan Februari ini menjelang ulang tahunnya yang ke-3, dedek sendiri mengatakan dengan yakin bahwa dia menginginkan kue ulang tahun besar berwarna pink. Momen ini tentunya sudah saya incar. Saya mengatakan padanya bahwa boleh ada kue ulang tahun seperti keinginannya hanya bila dedek berhasil berhenti nenen. Malam-malam pertama setelah kesepakatan itu memang dia masih beberapa kali terbangun. Namun setiap dia seakan mengharapkan untuk bisa nenen saya ingatkan bahwa ada kue ulang tahun besar berwarna pink yang bisa didapatnya bila berhasil lepas ASI. Ternyata Tuhan mengabulkan doa yang sudah setahun ini saya panjatkan. Dedek berhasil berhenti nenen dengan perjuangannya sendiri tanpa paksaaan dari saya. Saya sangat senang dan juga bangga untuk 'prestasi' dedek ini. Tentu saja saya tidak ragu memberikan kue ulang tahun besar berwarna pink seperti yang dimintanya. Dasar anak-anak, saat kami membawanya ke toko kue dan membiarkannya memilih sesuai keinginannya, dia malah lebih memilih kue yang harganya jauh di bawah budget kami. Ketika kami tawarkan kue yang lebih mahal harganya tetap saja dia kekeuh dengan pilihannya. Oke, Nak, tak apa, asal kau bahagia (dan emak bisa tetap hemat, hehehe...).
Beberapa waktu lalu saya berusaha mengenalkan media cetak koran kepada anak-anak. Kadang saya biarkan mereka membolak-balik halaman kertas koran yang lebar itu untuk melihat berbagai gambar di dalamnya. Kadang saya sendiri yang iseng mengisi atau menjawab kuis di koran tersebut. Suatu ketika nama saya dimuat di rubrik Intermeso Kompas Minggu. Saya tunjukkan itu kepada anak-anak. Mereka bisa mengenali tulisan nama saya di koran, artinya mereka sedang belajar mengenal huruf pembentuk nama. Dengan koran tersebut anak-anak bisa belajar sambil bermain dan ibunya kebagian suvenir; bermanfaat, bukan? Â
Kadang saya dan anak-anak mengisi waktu bersama dengan memasak. Kehangatan keluarga bisa tercipta saat menghabiskan waktu di dapur sambil mengaduk adonan tepung, mengolahnya menjadi makanan kesukaan anak-anak. Tak apa menutup sejenak mata dari melihat tepung yang berceceran, dapur yang berantakan, cucian yang masih menumpuk, baju-baju yang belum diseterika, dan berbagai pekerjaan yang tiada habisnya.
Melihat anak tertawa, sehat, dan bahagia, akan indah dikenang selalu. Kelak akan datang waktunya mereka beranjak dewasa dan kita hanya bisa merindukan saat-saat penuh keceriaan ini bersama anak-anak.
Itulah wajah sesungguhnya kasih sayang dalam keluarga yang kami jalani. Sederhana saja dan bisa juga dijalani keluarga lainnya. Bagaimana dengan keluarga Anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H