Seingat saya, biasanya peringatan hari kasih sayang di keluarga kami berlalu begitu saja, tanpa ada perayaan yang istimewa seperti saling berbagi coklat atau berkirim bunga. Begitu pula setelah saya menikah, makan malam istimewa malah lebih sering kami lakukan saat pasangan atau anggota keluarga sedang berulangtahun. Bagi kami menyatakan kasih sayang dalam tindakan nyata dalam aktivitas sehari-hari sepanjang tahun adalah lebih bermakna. Kasih sayang semestinya bukan sekedar omong doang tapi juga perlu bukti yang bisa dirasakan sesama. Keluarga adalah tempat belajar bagi kami memahami apa arti sesungguhnya kasih sayang itu.
Tahun 2018 ini cukup istimewa buat saya secara pribadi. Belum genap 3 bulan dijalani ada banyak hal yang patut disyukuri dari berbagai kejadian yang terlewati bersama keluarga. Ya, berbagai kejadian 'biasa', yang juga bisa dialami keluarga-keluarga lain. Tapi inilah catatan kehangatan keluarga yang bisa kami kenang.
Kisah kasih untuk orangtua
Kakung Andreas, begitu kami biasa memanggilnya untuk cucu-cucunya, ayah saya yang masih setia menemani setelah ibu mertua, ibu kandung, dan ayah mertua berturut-turut dipanggil Tuhan dalam beberapa tahun yang telah lalu. Sejak ibu meninggal akhirnya saya memutuskan untuk pulang ke kota Wonogiri, tempat tinggal kakung, untuk menemaninya setelah bertahun-tahun saya merantau di kota Bandung. Sudah lama saya dan suami berencana mengajaknya berlibur. Berlibur dalam arti sesungguhnya, bukan pergi ke suatu tempat berbarengan dengan suatu acara tertentu (seperti yang selama ini kami terapkan). Berlibur yang direncanakan untuk sejenak menjauh dari rutinitas. Awal tahun ini ternyata adalah waktu yang tepat untuk merealisasikan rencana tersebut. Kesibukan tak terelakkan di akhir tahun lalu telah menguras tenaga dan pikiran ayah saya yang masih diminta bertugas di masa pensiunnya ini. Liburan yang sederhana, sekejap waktu untuk menyingkir dari berbagai kesibukan dan menikmati suasana yang berbeda.
Tawangmangu adalah tempat yang pas menurut kami. Dapat ditempuh dalam 2 jam perjalanan dari tempat tinggal kami. Sejuknya udara dan suasana yang jauh dari bising kota cukup menenteramkan. Melalui aplikasi pemesanan hotel kami urus persiapannya. Di sana kami hanya bersantai, beristirahat, makan, mengobrol, dan berjalan-jalan sekitar penginapan, yang sesungguhnya merupakan sejumput kebebasan dari penatnya bekerja. Â
Meski bukan liburan mewah dengan anggaran berjuta rupiah tapi saya bersyukur masih diberi kesempatan untuk berbagi keceriaan bersama orangtua. Selanjutnya saya masih tetap berusaha 'membalas' kasih sayang dari orangtua yang tak tergantikan itu, selama masih ada kesempatan.
Kisah kasih keluarga Long Distance Marriage (LDM)
Suami saya bekerja di luar pulau yang selama 2 minggu dalam sebulan akan ada bersama kami di rumah. Bila suami sedang di rumah artinya ada tenaga bantuan yang sangat meringankan tugas saya sehari-hari. Saat suami ada saya jadi bisa sejenak menikmati kesendirian berkeliling pasar sambil belanja keperluan keluarga. Atau sesekali menyempatkan diri merapikan rambut di salon dekat rumah. Waktu kebersamaan kami sering dihabiskan hanya di rumah saja. Sambil bermain bersama anak-anak balita kami, mencoba mengolah makanan kami di dapur sendiri, atau sekedar bersantai mengobrol berbagai hal.
Lain halnya ketika tiba waktunya suami kembali bekerja. Sayalah yang mengurus anak-anak sepenuhnya, mulai dari memandikan, menyiapkan makan, menemani bermain, dan menemani tidurnya. Selama itu pula, untuk saya bisa berlama-lama mandi setiap harinya adalah tidak mudah. Karena kedua bocah balita itu masih belum mau terhalang pandangannya dari ibunya.
Komunikasi yang baik adalah jembatan utama mengatasi terpisahnya jarak antara saya dan suami. Setiap hari kami selalu menyempatkan diri menghubungi lewat telepon atau melakukan panggilan video. Bersyukur akses komunikasi di luar pulau Jawa semakin lama semakin baik. Tidak terasa hampir 7 tahun kami menjalani hubungan jarak jauh ini.
Kisah kasih bersama anak-anak
Setiap anak mempunyai keunikan sendiri yang tidak perlu dibanding-bandingkan satu sama lain. Demikian juga dengan kedua balita saya. Masing-masing memiliki kisah unik mengenai fisik, sifat, dan kemampuannya.Â
Anak perempuan pertama kami tahun ini berusia lima tahun. Kami sudah mendaftarkannya untuk sekolah di Taman Kanak-Kanak (TK) tahun pelajaran yang akan datang ini. Untuk menuliskan namanya sendiri dia sudah mampu walaupun dengan tulisan yang masih pletat-pletot. Aktivitas fisiknya cukup tinggi. Bersepeda roda 4 sudah lancar dilakukannya, mengebut pula. Bernyanyi, menari, berhitung sederhana, dia sudah fasih. Hanya saja kemampuannya mengatasi emosi yang masih sering saya diskusikan dengan suami. Ketika ada hal yang terjadi tidak sesuai dengan keinginannya seringkali langsung diresponnya dengan kemarahan yang diikuti tangisan keras. Yang biasa saya lakukan menghadapinya adalah menjauhkan  anak tersebut dari keramaian untuk kemudian ditemani hingga selesai mengungkapkan emosinya. Setelah itu kami akan 'berdiskusi' dalam suasana yang lebih tenang.
Sudah beberapa tahun ini saya mengesampingkan rasa tidak enak pada orang-orang di sekitar saat anak tantrum. Pemahaman bahwa balita ini sedang belajar mengungkapkan emosinya membuat saya meyakini bahwa tidak mengapa bila anak tantrum. Yang perlu saya lakukan adalah mendampingi anak mengatasi emosinya dengan memberikan pengertian di waktu yang tepat. Ah, mungkin beberapa tahun lagi saya akan merindukan momen-momen tantrum tersebut. Jadi mari nikmati saja masa kanak-kanak yang akan segera berlalu ini.