Akhirnya rindu untuk berkunjung ke kampus tempat aku menimba ilmu selama 3,5 tahun tak terbendung juga (total 4,5 tahun tapi tahun pertama aku masih berkesempatan menikmati kampus di Baranangsiang, Bogor). Dengan tekad kuat, Aku harus mengunjunginya. Lebih dari delapan tahun aku tidak menapakkan kakiku disana. Aku pun berusaha menenangkan pikiran karena keraguan yang datang menghampiri.
Di senin pagi hari (28 Desember), kupersiapkan perjalanan menuju kampus IPB (Institut 'Pertanian' Bogor), Dramaga (selama kuliah disana, aku mengenalnya sebagai Darmaga). Perjalanan menuju Dramaga, berlangsung lancar. Melewati tol Jagorawi dan keluar di Sentul Selatan lalu masuk di jalur lingkar luar Bogor, jalan tol yang pendek dengan harga tiket tiga ribu rupiah dan masih dalam tahap membangun. Setelah keluar dari tol, perjalanan dilalui dengan menyusuri kompleks perumahan Yasmin yang sekarang baru aku tahu betapa luasnya. Ternyata, dengan jalan baru ini, walau dari segi kilometer tidak berbeda jauh tapi lumayan menghemat waktu karena ada dua pasar yang bisa terlewatkan dimana selalu menimbulkan kemacetan dan juga kemacetan di sekitar kebun raya Bogor.
Ah, angkot di Dramaga rasanya makin banyak saya. Jarang dijumpai mobil pribadi, hanya ada angkot, angkot, dan angkot serta motor.
Sampailah aku di pintu gerbang kampusku yang bertuliskan Bogor Agricultural University. Hmmm, jantung berdegup sangat kencang. Aku mau bertemu siapa?? Apa ada orang di kampus? Bukankah ini musim liburan? Sudahlah, cuek saja, kumasuk ke dalam gerbang dan membayar tiket seribu rupiah. Rasanya sembilan tahun lalu pun saat aku diwisuda, harga tiket ini juga seribu rupiah. Kususuri jalan dengan pelan. Gedung rektorat masih berdiri dengan megahnya. Banyak mahasiswa-mahasiswi yang berlalu lalang dengan berjalan kaki maupun dengan motor. Taman yang dulu merupakan jalan pintas dari pintu GWW (Graha Widya Wisuda-gedung tempat wisuda yang pernah mengalami kebakaran kecil beberapa tahun lalu) ke kampus FATETA (Fakultas Teknologi Pertanian) sekarang sudah rimbun dipenuhi pohon-pohon yang tumbuh rindang. Terdapat pula cafe kecil dan wisata outbound. Delapan tahun memang waktu yang cukup lama untuk membuat segala sesuatu berubah. Gedung Faperta (Fakultas Pertanian) yang dulu terlihat paling megah beberapa saat sebelum aku wisuda, sekarang terlihat sama saja dengan gedung-gedung lainnya yang kurang terawat. Sampai di samping perpustakaan utama, aku bingung, loh, ternyata ada bangunan baru untuk penelitian di antara kampusku dan gedung perpustakaan. Tempat yang dulu adalah tempat parkir dan tempat mahasiswa-mahasiswi dihukum gantung di pohon besar nan rindang setelah ujian sidang sekarang sudah berubah bentuk. Ah lagi-lagi teringat ritual saat ujian sidang, begitu keluar dari ruang sidang yang mencekam dengan diuji oleh tiga dosen (satu dosen pembimbing dan dua dosen pendamping), entah lulus atau tidak, teman-teman seperjuangan langsung memboyong sang victim ke pohon besar itu, kedua tangan di ikat kebelakang pohon dan byurrrr, seember air kotor sisa buangan dan cuci piring dari kantin Sapta yang terletak di seberang pohon tersebut mendarat dengan sempurna membasahi sekujur tubuh. Belum puas? Air dari selokan di dekat pohon tersebut pun bisa mendarat kalau teman-teman masing iseng. Bau??? Bukan bau lagi, rasanya saat menulis ini pun, masih terbayang bau yang menyengat dan menjijikkan. Begitu tangan dilepas, langsung si victim mengejar teman-teman yang iseng tersebut dan menularkan bau tersebut. Padahal bagi beberapa orang, ujian sidang tersebut identik dengan pakaian yang serba baru yang di jaman saat mahasiswa pastinya menguras isi kantong yang lumayan banyak. Tapi ritual ini selalu tak pernah terlewatkan dan selalu menarik untuk diikuti.
Setelah memarkir mobil dan melewati gedung baru tersebut, sampailah aku di depan kantin. Kantin terlihat tak terlalu ramai karena memang ternyata lagi libur natal dan tahun baru. Banyak menu makanan baru yang tersedia dan beberapa pedagang makanan yang ternyata sudah tidak berjualan lagi. Aku menunggu temanku yang ternyata sedang berada di kampus, pria yang dipanggil Ison dan sekarang sedang menempuh S2 di kampus ini dan cuti dari Departemen Pertanian tempat dia bekerja. Lagi-lagi delapan tahun rasanya berlalu begitu cepat.
Setelah bertemu dengannya dan kami hendak menuju ke tempat teman kami yang sekarang bekerja di kampus, tak disangka-sangka, aku bertemu dengan salah satu dosen pengujiku. Aku kaget, sama kagetnya dengan beliau. Pria yang berasal dari Bali, bernama Pak Wayan. Perawakan yang masih sama dan sekarang terlihat lebih ramah. Sebenarnya bapak ini memang ramah, tapi entah kenapa, teringat saat kuliah dulu, dosen itu sebagai mahluk yang menakutkan. Sebelum bertemu,banyak-banyak berdoa, mau bertemu-perut melilit karena grogi dan seribu ketakutan lainnya. Aku sekarang dan sembilan tahun lalu sungguh berbeda. Dulu aku adalah seorang perempuan yang pemalu dan selalu grogi saat berbicara di depan umum. Kegrogian inilah yang sempat menjatuhkan aku dan ternyata juga menjadi momentum bagiku untuk menjadi seperti sekarang.
Pak Wayan Astika, berusia sekitar di pertengahan 40 tahunan dengan gelar Doctor di bidang pertanian dari sebuah universitas di Jepang. Kesederhanaannya membuat segala kelebihan yang dimilikinya tidak terlihat. Tapi yang jelas, rona kepintaran jelas terlihat dari wajahnya. Setelah mencari salah satu temanku yang ternyata tidak berada di tempat. Aku dan Ison serta Pak Wayan pun duduk mengobrol di kantin sambil menemani beliau makan siang. Terlalu banyak kenangan pahit bersama dosen satu ini, tapi itu dulu. Sekarang kalau diingat-ingat, mestinya kesalahan itu semua bisa diminimalisir. Sekarang aku selalu tersenyum setiap mengingat itu semua. Sebenarnya ada satu lagi dosen yang membuatku jatuh bangun di kampus dulu. Beliau adalah dosen pembimbingku yang bergelar Profesor. Pria berdarah Jawa yang sangat pintar bernama Pak Bambang Pramudya, ex dekan di fakultasku. Tapi ternyata sampai saat ini aku masih segan untuk bertemu dengannya. Bukan, aku tidak dendam dengan bapak satu itu. Bapak satu itu tipe seorang pemikir dan pendiam. Aku bingung nanti mau berbicara apa dengan beliau. Walau Pak Wayan mendesakku untuk bertemu dengan beliau, dengan bergurau berkata, 'bawa saja skripsi kamu dan tanya ke pak Bambang kalau kamu mau bertanya sesuatu tentang skripsi tersebut'. Maaf ya Pak, mungkin di lain waktu dan lain kesempatan saat saya sudah fully prepared, saya akan berkunjung bertemu dengan beliau.
Pembicaraan pun berlanjut kesana kemari hingga temanku yang bernama Ina datang menghampiri kami. Seorang ibu dengan dua anak dan menikah dengan senior kami.
Pembicaraan dilanjutkan ke dosen-dosen mana saja yang sudah pensiun dan sudah wafat. Rasanya belum cukup balas budiku kepada dosen-dosen tersebut dan mereka sudah terlajur meninggalkan kami murid-muridnya.
Aku pun teringat dengan salah satu petugas di laboratorium sistem manajemen komputer yang merupakan asisten Pak Wayan. Aku lupa namanya tapi aku ingat pria dengan logat sunda yang begitu kental, beliau dulu adalah orang yang selalu aku minta pendapat, 'Pak Wayan ada gak?','Pak Wayan lagi gimana?' dan pertanyaan-pertanyaan seorang mahasiswi yang grogi. Pria bernama Ghozali tersebut selalu ingat, kalau saya grogi (dulu saya belum berjilbab),pasti menggaruk-garuk kepala dengan jari-jari di tangan kanan. Saya sendiri tidak sadar sampai akhirnya suatu saat Pak Ghozali ini yang mengingatkan. Sayang, saat saya berkunjung ke ruangan Pak Wayan, Pak Ghozali sedang keluar untuk suatu urusan.
Ternyata Pak Wayan masih menyimpan skripsiku sembilan tahun yang lalu. Skripsi yang sudah mulai berjamur, sama kondisinya dengan yang tersimpan di rumah. Skripsi yang terdapat profil jati diriku dan pasfoto jadoel. Mau ketawa rasanya lihat profil dan foto diri sendiri. Pembicaraan tidak berlangsung lama di ruangan Bapak ini sebelum akhirnya aku pamit untuk pulang.
Akupun berpamitan kepada kedua temanku karena hari yang sudah semakin siang. Keluar dari gerbang IPB, masih terlihat Leuwikopo tempat dimana kami praktek mengemudikan traktor di lahan pertanian dan jadi ajang gaya-gayaan. Tempat yang dulu digunakan sebagai ajang ospek karena ada sungai dibelakangnya. Saat ini tempat tersebut rimbun ditumbuhi rumput ilalang.
Dalam perjalanan pulang, aku sempat mampir melihat dari luar kostan tempat aku tinggal selama tiga tahun yang masih belum berubah dengan pagar hitamnya di daerah Cibanteng. Tempat kost bernama PTD (Pondok Tana Doang-berasal dari bahasa Makassar). Pemilik kost ini adalah orang Sulawesi Selatan dan rata-rata penghuninya pun berasal dari Sulawesi. Tempat kost yang terdiri dari dua bagian, bagian depan untuk lelaki dan bagian belakang untuk wanita. Di tempat kost inilah, aku mengenal banyak tentang budaya orang Sulawesi serta makanan khasnya.
Banyak yang berubah di wilayah Dramaga ini, pengemudi motor yang ugal-ugalan, minimart franchise yang menjamur dari skala besar hingga kecil terdapat dimana-mana, rumah makan yang bertebaran, serta kompleks perumahan baru di daerah sekitar IPB ini. Warnet yang sembilan tahun lalu menjamur, sekarang rasanya sudah jarang terlihat.
Kusempatkan juga melewati daerah Babakan Tengah (angkot jurusan kampus dalam). Sepanjang jalan di kiri kanan terdapat orang menjual makanan. Kost-kostan yang dulu ada, sekarang sudah menjadi rumah makan. Aku jadi terpikir, dimanakah mahasiswa/mahasiswi sekarang tinggal? Tidak banyak bangunan baru terlihat, rumah makan yang dulu 'agak' mahal bagi mahasiswa (rm yunani) masih terlihat dengan bentuk bangunan yang sama begitu juga tempat makan kalau lagi ingin mengirit (rm askil). Ternyata aku merindukan makanan di tempat tersebut. Aku juga menyusuri persawahan yang dulu menjadi tempat praktek mata kuliah menanam (aku lupa nama mata kuliahnya). Aku ingat dulu setiap selasa pagi, kami pergi ke sawah tersebut untuk melihat hasil tanaman kami dan mencatatnya. Kelompokku mendapat bagian bertanam kacang. Kami mencangkul tanah, memberi pupuk, menanam benih kacang (it's just like in farmville game), mencatat perkembangannya hingga saat panen. Walaupun mahasiswi pertanian, tetap saja perempuan-perempuannya takut melihat cacing dan menjadi ajang untuk ditakut-takuti para lelaki. Saat panen, hasilnya dibagi rata dan tukar sana sini dengan kelompok yang menanam jagung.
Alhamdulillah, akhirnya rasa rindu setelah bertahun-tahun tidak aku hiraukan karena membayangkan perjalanan ke Dramaga berhasil aku lampiaskan. Perjalanan yang begitu bermakna.
Terima kasih kepada dosen-dosenku yang budiman, yang telah membagi ilmu yang mereka miliki dan membuatku menjadi seperti sekarang dan terima kasih kepada rekan-rekanku selama menuntut ilmu disana sehingga hidup menjadi berwarna.
*sebuah tulisan yang kudedikasikan kepada orang-orang yang rindu akan kampus tercinta, IPB.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H