Cerita tentang KAI Commuter, aku jadi ingat perjalanan suamiku dalam berkarir di TNI. Pasalnya, setelah mengikuti pendidikan Sesko AD di Bandung, ia lalu dipindahtugaskan dari Bali ke Bogor. Tepatnya di Pusdikzi (Pusat Pendidikan Zeni) TNI -- AD yang terletak di kecamatan Bogor Tengah, kota Bogor.
Tentunya memasuki dunia pendidikan militer membuat suamiku harus alih profesi dari staf kantor menjadi pengajar, dimana siswa yang diajar bukan hanya dari militer saja melainkan dari berbagai instansi yang diharuskan memiliki sertifikat bela negara. Sebuah pengalaman berharga diperolehnya selama mengajar disini. Bukan hanya menambah wawasan, namun jaringannya pun makin luas. Ia memiliki banyak kenalan baru dari siswa-siswa yang diajarnya, di luar instansi militer tempatnya bernaung saat ini.
Sayang....profesi sebagai pengajar pun tak berlangsung lama, hanya satu tahun tiga bulan. Â Suamiku lalu mendapatkan skep pindah tugas ke Pusziad Jakarta. Perasaannya pun campur aduk. Di satu sisi ia harus melepas profesinya sebagai pengajar, dimana tugas sebagai pengajar itu sangatlah padat. Mulai dari menyiapkan bahan ajar, mengumpulkan materi hingga mengajarkannya ke para siswa yang sedang mengikuti pendidikan.
Bukan hanya itu, ketika kegiatan pembukaan dan penutupan pendidikan pun suamiku turut serta. Nyaris dalam satu minggu tidak ada libur, karena hari minggu biasanya digunakan untuk mengikuti kegiatan di luar instansi militer.
Di sisi lain suamiku bingung memikirkan tempat tinggal. Pindah ke Jakarta artinya ia harus meninggalkan rumah dinasnya di Bogor dan mencari rumah dinas baru di Jakarta. Sementara persediaan rumah dinas di Jakarta belum mencukupi. Masih banyak anggota TNI yang terpaksa ngekos atau kontrak rumah disana.
Bersyukur, jabatan lama suami di Bogor masih kosong dan belum ada penggantinya. Itu artinya ia masih bisa menempati rumah dinas lama. Terlebih, pimpinan mengijinkan suami untuk menempati rumah dinas di Bogor sambil mencari rumah dinas di Jakarta.
"Tempati aja sesukamu sampai kamu mendapat rumah dinas di Jakarta. Asal kamu kuat naik kereta PP dan gak capek!", begitulah gurauan pimpinan suami ketika ia menghadap untuk minta ijin menempati rumah dinas sementara waktu.
Dan mulai saat itu suami pun berangkat kerja dari Bogor ke Jakarta naik KAI Commuter yang paling pagi. Jarak Pusdikzi ke stasiun Bogor sangat dengat. Ia naik motor ke stasiun setelah sholat shubuh, lalu motornya dititipkan di parkiran. Jadwal kereta commuter pertama memang masih sepi penumpang, jadi ia bisa leluasa duduk di kursi yang tersedia.
Sementara harga tiketnya lumayan murah. Kereta dari Bogor tujuan Manggarai hanya tujuh ribu rupiah saja. Bayarnya pakai KTM (Kartu Multri Tip). Jarak tempuh Bogor ke Manggarai 1 jam 30 menit. Kalau suami berangkat dengan kereta pertama jam 04.30 wib, maka ia akan sampai stasiun Manggarai jam 06.00 wib. Setelahnya ia naik gojek menuju Matraman dengan jarak tempuh 15 menit yang bayarnya hanya lima belas ribu rupiah. Â
Rasanya kereta ini memang moda transportasi yang pas untuk suami mengais rezeki di Jakarta. Sudah murah, tepat waktu bahkan nyaman. Meski ia seorang anggota TNI, namun jarang menunjukkan atributnya, terlebih saat berada di tempat umum. Biasanya ia menyimpan seragamnya di kantor, dan baru memakainya setelah berada di kantor dan berganti seragam. Kalau untuk berangkat atau pulang kerja, selalu baju biasa: celana jeans, jaket, sepatu kets, tak lupa topi untuk menutupi wajahnya.
Jam kerja suami di Jakarta berbeda dengan di Bogor. Artinya begitu pindah ke Jakarta, ia merasakan pekerjaan yang agak santai, tidak lagi dikejar-kejar untuk menyiapkan bahan ajar untuk para siswa. Kalau di Bogor ia hampir tidak merasakan libur, berbeda dengan di Jakarta, jadwal kerjanya hanya lima hari. Hari Sabtu dan Minggu menjadi kesempatannya untuk istirahat di rumah dinas.