Megibung di Bali sangat melekat dalam kebiasaan masyarakat. Mereka melakukan tradisi ini saat perayaan di pura, ngaben atau saat acara Maulid Nabi. Yang membedakan biasanya bahan untuk lauk pauk.Â
Megibung  dilakukan sebelum para tamu pulang. Mereka diajak makan sebagai tanda terima kasih untuk mempererat jalinan keakraban serta kekeluargaan.
Tamu membentuk sela (kelompok) berisi 5-8 orang. Mereka duduk bersila dalam lingkaran. Tiap kelompok dipimpin seorang pepara yang bertugas menuang nasi dan lauk dalam wadah.Â
Untuk masyarakat Hindu, gibungan atau hidangan untuk Megibung bisa berupa babi yang diolah jadi sate, lawar, komoh, gegubah, atau pepesan. Sementara untuk masyarakat non Hindu, hidangan yang disajikan dapat berupa olahan daging ayam, kambing atau sapi.
Tata cara makan pun terbilang unik, biasanya lawar dan uraban disantap paling awal. Sementara lauk spesial seperti sate dan gegubah dimakan paling akhir supaya menghemat daging namun tetap memberikan rasa kenyang.
Proses makan dilakukan bersama memakai tangan. Makanya terdapat etika lain  seperti tidak menjatuhkan sisa makanan dari mulut ke atas nampan, tidak bersin, tidak mengambil makanan orang sebelah dan sisa-sisa dibuang di atas daun pisang yang telah disediakan.
Jika ada yang sudah selesai makan, harus menunggu dulu temannya yang belum selesai makan. Apabila semua sudah selesai makan, maka mereka dapat mencuci tangan. Baru kemudian meninggalkan tempat makan bersama-sama sebagai lambang kebersamaan.
Â
Wujud Nyata Peran IndiHome Dalam Melestarikan Budaya Megibung
Â