Sejarah berdirinya aliran Asy'ariyah berpusat pada perjuangan intelektual dan spiritual Abu Hasan al-Asy'ari, yang berfungsi sebagai pusat pengembangan aliran tersebut. Abu Hasan al-Asy'ari dilahirkan di Bashrah pada tahun 260 H/874 M dan meninggal di Baghdad pada tahun 324 H/936 M; dia bukan hanya seorang yang mahir dalam agama tetapi juga seorang tokoh penting dalam pemikiran Islam.(Abdur Razak dan Rosihan Anwar 2006, 120) Pada awalnya, Abu Hasan al-Asy'ari belajar dari Abu Ishaq al-Marwazi, seorang fakih dari madzhab Syafi'i, di Masjid al-Manshur, Baghdad. Perjalanannya dalam bidang keilmuan, bagaimanapun, tidak berhenti di situ. Selain itu, ia memperoleh pengetahuan tentang ilmu kalam dari al-Jubba'i, seorang tokoh penting dalam aliran Mu'tazilah di Bashrah. Latar belakang pendidikannya yang luas membantunya memahami berbagai tradisi filosofis di masa lalu. Setelah sekitar empat puluh tahun, ia secara tiba-tiba mengumumkan perubahan keyakinannya di hadapan jamaah masjid Bashra.
Selain perubahan pendapat pribadinya, Abu Hasan al-Asy'ari membuat keputusan untuk meninggalkan Mu'tazilah karena khawatir tentang persatuan umat Islam. Ia melihat perpecahan dalam masyarakat muslim sebagai ancaman besar yang dapat menghancurkan mereka sendiri jika tidak ditangani segera. Menurut Abu Hasan al-Asy'ari, pemikiran Mu'tazilah, yang menekankan akal pikiran, semakin menjauhkan masyarakat dari kebenaran dan meresahkan mereka. Akibatnya, ia memutuskan untuk mempertahankan keyakinan salaf dan menyebarkan pemahaman baru yang lebih sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya.Dengan demikian, Abu Hasan al-Asy'ari menegaskan peran pentingnya dalam pengembangan aliran Asy'ariyah. Pemikirannya dan karya-karyanya, seperti kitab Al-Ibanah, menjadi landasan utama.
Murijah. Ia menganggap Al-Qur'an, Sunnah Nabi, dan tradisi yang diriwayatkan oleh para tabi'in, tabi'in, dan imam ahli hadits sebagai landasan agamanya.Dengan semua karyanya, Abu Hasan al-Asy'ari memainkan peran penting dalam mengkristalisisasi dan memperkuat aliran Asy'ariyah, yang merupakan salah satu madzhab pemikiran Islam yang menonjol. Pemikirannya, karya-karyanya, dan keputusannya untuk menegakkan keyakinan salaf telah menciptakan landasan yang kuat untuk aliran pemikiran Islam ini berkembang.
Dalam penelitian ini, topik ajaran Asy'ariyah mencakup beberapa elemen penting yang membentuk pemikiran aliran ini (B. 2008, 85--99):
a) Zat dan Sifat Tuhan: Al-Asy'ari memahami Tuhan sebagai bukan hanya entitas yang memiliki sifat-sifat tetapi juga sebagai Yang Maha Mengetahui.
b) Kekuasaan Tuhan dan Perbuatan Manusia: Konsep ketentuan ilahi sangat penting dalam pandangan al-Asy'ari tentang kekuasaan Tuhan dan perbuatan manusia. Al-Asy'ari berpendapat bahwa tidak ada sesuatu di alam semesta yang dapat menghentikan atau membatasi kekuasaan Tuhan. Semuanya berjalan sesuai dengan kehendak-Nya yang mutlak.
c) Al-Asy'ari membedakan kalam Tuhan menjadi dua kategori: Lafzi (kalam dalam artian sebenarnya yang dapat dibaca oleh makhluk) dan Nafsi (kalam dalam artian abstrak yang ada pada Zat Tuhan).
Â
d) Didasarkan pada ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang menyatakan bahwa orang-orang mukmin akan melihat Tuhan pada hari kiamat, Al-Asy'ari berpendapat bahwa orang-orang mukmin akan melihat Tuhan dengan mata kepala merenungkan.
e) Pelaku Dosa Besar: Al-Asy'ari menentang perspektif Mu'tazilah dan Murji'ah tentang pelaku dosa besar. Mereka mengatakan bahwa apakah seseorang berada di surga atau neraka tergantung pada kehendak Allah; orang yang melakukan dosa besar tetapi tetap beriman tidak dianggap kafir; sebaliknya, pahala atau siksaan seseorang diputuskan oleh Allah.
Dalam konteks sejarah dan perkembangan pemikiran Islam, menarik untuk menyelidiki hubungan antara Asy'ariyah dan Mu'tazilah. Meskipun keduanya adalah cabang teologi yang berbeda, terdapat beberapa hal yang sama dan beberapa hal yang berbeda yang harus dipahami untuk memahami perbedaan dalam pemikiran Islam.Mu'tazilah muncul pada abad ke-8 Masehi dan menekankan betapa pentingnya akal untuk memahami ajaran Islam. Mereka menolak pandangan bahwa akal adalah alat utama untuk memahami prinsip-prinsip agama.
Dalam situasi seperti ini, mereka sering kali berbicara tentang masalah teologis yang kompleks seperti pemahaman mereka tentang sumber kekuasaan agama dan keadilan Allah. Sebaliknya, Asy'ariyah, yang muncul pada abad ke-10 Masehi, menentang penekanan Mu'tazilah pada akal sebagai sumber pengetahuan tunggal. Mereka menegaskan bahwa kuasa dan kedaulatan Tuhan lebih penting daripada akal manusia untuk memahami semua masalah teologis. Dalam hal ini, mereka mendukung ide bahwa ketaklifan sesuatu yang diperintahkan oleh Allah kadang kadang tidak masuk akal bagi manusia.
Jadi, meskipun Asy'ariyah dan Mu'tazilah memiliki cara yang berbeda untuk memahami ajaran Islam, pemahaman tentang hubungan antara keduanya memberikan pemahaman tentang keragaman dan kompleksitas dalam tradisi teologis Islam. Studi Islam dan teologi terus menekankan perdebatan dan penelitian lebih lanjut tentang hubungan antara keduanya.
Teologi Islam telah berkembang pesat berkat tokoh-tokoh Asy'ariyah, baik secara konseptual maupun metodologis. Mereka tidak hanya berkontribusi pada pembentukan rangka kerja teologis yang khas bagi Islam, tetapi juga menciptakan prinsip-prinsip yang menjadi fondasi bagi pemahaman orang Muslim tentang sifat-sifat Tuhan, kekuatan-Nya, dan hubungan antara manusia dan Dia.
Pertama-tama, penting untuk dicatat bahwa pendiri aliran Asy'ariyah, Abu al-Hasan al-Asy'ari, memainkan peran penting dalam menegakkan dan menyebarkan pemikiran Asy'ariyah. Karyanya yang paling terkenal, "Al-Ibana 'an Usul al-Diyanah", menyusun ajaran dasar Asy'ariyah secara sistematis dan memberikan alasan yang kuat untuk mempertahankan posisinya terhadap aliran teologis lain pada masanya. Selain itu, Abu Mansur al-Maturidi adalah salah satu tokoh penting dari aliran Asy'ariyah yang memberikan dampak besar pada pemikiran teologi Islam. Konsep penting seperti keesaan Allah dan sifat-sifat-Nya dikembangkan oleh al-Maturidi dalam karya-karyanya, terutama "Kitab al-Tawhid", yang berfungsi sebagai dasar pemahaman teologis dalam tradisi Asy'ariya.
Penting untuk dicatat bahwa Abu al-Mu'in al-Nasafi memainkan peran penting dalam mengembangkan pemikiran Asy'ariyah dalam konteks teologi dan filsafat Islam. Karya al-Nasafi yang terkenal, "Kanz al-Daqa'iq," memberikan analisis mendalam tentang konsep teologis yang menjadi dasar bagi pengikut Asy'ariyah. Selain itu, tokoh-tokoh seperti Al-Bahili dan Fakhr al-Din al-Razi juga berkontribusi besar dalam memperkuat dan menyebarkan pemikiran Asy'ariyah. melalui karya-karya monumental Al-Ghazali, seperti "Al-Iqtisad fil-I'tiqad"
Prinsip-prinsip Asy'ariyah dibahas dan diterapkan dalam berbagai konteks teologis dan filosofis dalam buku al-Razi "Al-Mahsul fi 'Ilm al-Usul".Secara keseluruhan, tulisan tokoh-tokoh Asy'ariyah ini tidak hanya memperkaya pemikiran teologis Islam pada zamannya, tetapi juga relevan dan menjadi rujukan penting bagi para sarjana dan pemikir Islam hingga hari ini. Mereka telah menciptakan, memperkuat, dan menyebarkan prinsip-prinsip Asy'ariyah, memberikan warisan intelektual yang berharga kepada umat Islam.
Abdur  Razak  dan  Rosihan  Anwar.  2006. Ilmu  Kalam.  Bandung: Pustaka Setia.
'Al-Asy'ariyah'. 2008. Jurnal Al-'Adl2.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI