Mendekati Parapat, hawa menjadi dingin. Membuat kabut yang menjadi keindahan tersendiri ketika memandangi danau toba dari ketinggian. Baliho-baliho para Caleg memenuhi pinggir jalan. Menutupi beberapa rambu penunjuk jalan.Â
Bendera-bendera partai juga turut berkibar di beberapa pinggir jalan. Aku sangat senang disini. Tempatku menepi dan menyepi ketika segala gundah memenuhi otakku dan menekan pundakku. Tao Toba, indahmu melipur lara. Meskipun segala rencana tentangmu sering menjadi perdebatan telak. Macam apapun kebijakannya, aku ingin kau tetap terjaga.
Seketika ingatan menibakanku pada sebuah tanya di sebuah kisah beberapa tahun lalu. Ketika sedang berdiskusi dengan beberapa teman sepergerakan, perempuan itu memanggilku. Seorang perempuan manis yang kukenal tahun sebelumnya pada sebuah kegiatan lintas cabang  organisasi mahasiswa.Â
Kami berkomunikasi baik selama itu. Sekian kali bertemu dan menjadi dekat. Saat itu ia memanggilku ke luar ruangan. Aku mengikutinya. Disamping ruangan itu, agak gelap, setelah mengucapkan beberapa kata pengantar, ia meraih kedua tanganku dan menggenggamnya. Aku terkejut. Ia mengadapku dan bertanya: "Apa yang kamu rasakan selama denganku? Apakah kau merasakan lebih? Bagaimana kau menganggap hubungan kita selama ini?", tanyanya lembut dengan tatapan lain padaku.Â
Sungguh aku terkejut. Tak menyangka akan ditanyai selerti itu. Parahnya, aku bingung hendak menjawab apa. Dengannya selama ini memang sangat dekat. Berkomunikasi rutin via telepon karena kami di kota yang berbeda. Aku adalah tempatnya bercerita banyak hal. Tentang semua yang sedang dipikirkan dan dialaminya. Saat itu, aku adalah orang yang dipercayainya. Aku juga begitu. Ia menjadi tempatku mencurahkan isi-isi pikiranku, juga hatiku, meski isi hati itu bukan tentangnya. Hanya menceritakan masa laluku saja, dan segala pahit yang kurasakan dengan masa lalu itu. Ada sebuah ketergantungan dengan rasa yang menggantung tak jelas di tengah hubungan itu. Entah bagaimana aku menjelaskannya. Dan ketika ia menanyai itu, aku benar-benar tak tahu harus menjawab apa. Aku mencoba menebak arah tanya itu, dan dengan polosnya menjawab : "Kamu adalah adikku. Sahabat baik yang kukenal. Aku tak mau menyakitimu. Aku tak merasakan lebih." jawabku.
"Hanya itu? " tanyanya memastikan. Aku mengangguk. Seketika itu juga ia melepaskan genggamannya pada tanganku. Sejenak Ia tertunduk menyembunyikan isaknya. Lalu berlari meninggalkanku. Rasa bersalah memenuhi dadaku. Aku harus bagaimana? Haruskah aku tak jujur hanya untuk menyenangkannya? Segala hal berkecamuk dalam pikiranku. Aku merencanakan hendak  berbicara dengannya keesokan harinya. Aku pun tak mengerti mengapa tiba-tiba ia menanyai itu.Â
Belum selesai aku menyusun rencana itu, ketika aku kembali ke ruangan diskusi itu lagi, aku melihatnya sedang menyandar di bahu seorang lelaki, rekan secabangnya. Sedikit mesra dan tanpa sungkan. Aku kembali ke tempat dudukku, tak habis pikir maksud dari semua yang serba mendadak ini. Keesokan harinya, ketika hendak mengajaknya bicara, aku melihatnya melintas bersama lelaki dimana ia menyandar semalam. Mereka bergenggaman tangan mesra. Melewatiku tanpa melihat. Niatku kuurungkan. Hingga beberapa waktu kemudian, mungkin hingga saat ini, lelaki itu telah jadi pacarnya. Sesekali aku berkomunikasi dengannya, sekedar menanyakan kabar. Ia tak pernah mengungkit kejadian malam itu, aku pun begitu. Entah bagaimana ini harus diterjemahkan. Tapi biarlah, itu sudah terjadi dengab maknanya.
Kisah itu menari di kepalaku sembari menikmati kopi dihadapanku. Memandangi Danau Toba yang syahdu. Perjalanan ini penuh liku. Ada suram yang kadang menghampiri, pahit yang mencampuri rasa, manis yang kadang tak berlama masanya, semua silih berganti. Bertahan dan sabar, adalah penikmat penghujung jalan yang menjadi titik akhir dari semuanya.Â
Tak ada yang kebetulan, sengaja atau tidak, semua sudah diukur dan diatur. Doa dan harapan kutaruhkan dihadapan Khalik semesta ini. Tetap berharap baik dengan melakukan yang terbaik.
Katakan saja rasamu. Karena jujur memang lebih baik. Ungkapkan saja meski legit atau manis. Tak perlu memuisi, cukup dengan bahasa diplomasi. Karena setelah semuanya tercurahkan, Â kelegaan akan berhinggap lama, tanpa pelampiasan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H