Mohon tunggu...
Boarneges
Boarneges Mohon Tunggu... Profesional -

"Tidak-kah kita merasa kehilangan orang-orang yang selama ini kita andalkan? mari kita melawan lupa,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Elapadre, Usai Istirahat, Kembalilah Berkata-kata

1 Februari 2017   13:39 Diperbarui: 17 Februari 2017   23:58 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Elapadre adalah sebua Antologi Puisi tentang Cinta, Politik, Kemanusiaan, Aktifisme dan Idealisme. Terinspirasi dari berbagai kenyataan kehidupan yang ada, fenomena kebijakan birokrasi, dan politik yang terjadi di sekitar kita. Bait-bait puisi dalam buku ini menghasilkan hitam putih realita yang menjelma dalam sudut pandang penulis. Mengajak kita berkelana bersama memahami setiap rasa goresan kata, mencermati, menikmati, merenungi dan menyikapi. Selain itu memberikan banyak pesan moral dan melahirkan berbagai dimensi persepsi bagi para pembaca.

Sedang tenar, Film 'Istirahatlah Kata-Kata" yang mengisahkan kehidupan Wiji Thukul, seorang penyair yang kritis terhadap ketidakadilan penguasa. Rezim Soeharto telah 30-an tahun memegang pemerintahan di Indonesia dan mematikan demokrasi. Puisi-puisi Wiji Thukul lugas dan selalu diteriakkan dalam demonstrasi-demonstrasi melawan rezim. Pada Juli 1996, pecah kerusuan di Jakarta, Wiji Thukul dan beberapa aktivis pro-demokrasi ditetapkan sebagai tersangka pemicu kerusuhan. 

Wiji lalu melarikan diri ke kota Pontianak. Selama hampir 8 bulan di Pontianak, Wiji Thukul tinggal berpindah-pindah rumah bahkan tinggal bersama dengan orang-orang yang sama sekali belum dia kenal. Wiji Thukul mengawali pelariannya dengan ketakukan, karena status baru menjadi buronan. Namun, Wiji tetap menulis puisi dan beberapa cerpen dengan menggunakan nama pena lain. Wiji juga berganti identitas untuk mengelabui administrasi negara, tercatat Wiji menggunakan beberapa nama di dalam pelariannya. 

Sejumlah karya banyak digubah untuk menghormati dan mengenang sosok Wiji. Lagu, puisi, hingga film dokumenter bertebaran menceritakan lantangnya aktivis Partai Rakyat Demokratik ini berbicara. Namun, hal yang sedikit berbeda ditampilkan oleh Yosep Anggi Noen. Melalui film "Istirahatlah Kata-Kata" yang ia besut pada 2016 lalu, ia mengangkat sisi manusiawi Wiji yang selama ini terkesan luput di tengah kobaran semangat perlawanannya.

Lepas dari pada film ini, sebuah pesan mendalam yang hendak disampaikan lewat film ini dan juga lewat bait puisi "Istirahatlah Kata-Kata" yakni : '..tidurlah kata-kata/kita bangkit nanti/menghimpun tuntutan-tuntutan/yang miskin papa dan dihancurkan/nanti kita akan mengucapkan/bersama tindakan/bikin perhitungan'. 

Berbagai perkembangan informasi komunikasi saat ini dibarengi dengan dinamika politik, ekonomi dan sosial telah membuat kita melupakan lupa, atau enggan, atau tak peduli untuk 'Berkata-kata' menyuarakan keadilan dan kebenaran ditengah krisis integritas yang melanda berbagai lini kebangsaan kita. Lucunya, sebagian besar anak muda, entahkah ia aktifis atau seorang mahasiswa atau seorang pemuda, lebih ingin "mengantri" untuk menonton filmnya ketimbang sarat makna yang harusnya menjadi tanggung jawab dan tugas dalam meneruskan perjuangan dari sebuah cita-cita kemerdekaan.

Bicara tentang puisi, Wiji Thukul menyampaikan kritiknya dan membakar semangat perlawannya dengan bait-bait puisinya. Bahkan aparat keamanan mengejar-ngejarnya ketika itu, karena puisi-puisinya yang tidak membuat "nyaman" telinga penguasa. Kita menyadari betapa kekuatan puisi sangat ampuh ketika itu. Namun, miris saat ini ketika literasi hanya menjadi milik orang-orang tertentu saja dan tidak membumi menjadi sebuah kekuatan untuk menghancurkan ketidakadilan dan lain sebagainya. Ketika puisi hanya menjadi pengisi sudut kolom koran yang kosong. Ketika puisi hanya sekedar menjadi "pekerjaan rumah" bagi pelajar dan mahasiswa jurusan sastra atau bahasa. Sementara dalam sejarahnya, contohnya Wiji Thukul, puisi adalah seuah kekuatan berkata-kata tentang keadilan.

Gairah ini harus dibangun kembali. Isitarahatlah kata-kata tak berarti istirahat sambil goyang kaki, tetapi lebih kepada semangatnya, bahwa saat ini kita kembali membangun semangat perlawanan terhadap hal-hal yang tidak sesuai dan menindas. Semangat untuk menjaga dan membangun kesatuan bangsa kita dari rorongan isu-isu dan tindakan-tindakan profokatif yang tidak bertanggung jawab, serta berpotensi memecah belah persatuan bangsa. Mari lanjutkan perjuangan Wiji Thukul lewat 'Kata-kata"nya. 

Elapadre, adalah sebuah karya sederhana yang melengkapi "Kata-Kata" kita bersama untuk kita kembali membangunkan semangat. Penuh kritisi dan pandangan tentang kehidupan bangsa. diterbitkan oleh Bitread dalam bentuk cetak dan buku digital (e-book) dengan harga terjangkau. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun