Mohon tunggu...
Boarneges
Boarneges Mohon Tunggu... Profesional -

"Tidak-kah kita merasa kehilangan orang-orang yang selama ini kita andalkan? mari kita melawan lupa,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Paham Kiri dan Simbol Palu Arit, Penampakan Hantu di Mata Para Jendral (Sebuah Ocehan Akar Rumput)

18 Mei 2016   23:27 Diperbarui: 18 Mei 2016   23:50 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Darah masih seakan mengalir disini dengan deras, di atas hamparan tanah kering waktu itu, tahun 1965/1966. Tahun dimana, mungkin kita belum terlahirkan, belum terbentuk dalam janin-janin perempuan yang mungkin masa itu sedang melarikan diri, mencari perlindungan, trauma, tertuduh, terkucil, terancam kehidupannya, bersembunyi dari penyiksaan, perkosaan, penganiayaan dan penghilangan atau mungkin ibu kita belum lahir atau mungkin masih belia dan dengan mata kepala menyaksikan pembantaian, menyaksikan ayahnya atau ibunya, tetangganya, temannya, sahabatnya, kenalannya, atau orang yang sepintas lewat depan rumahnya, tiba-tiba diseret dan diangkut ke truk-truk militer, atas nama pembersihan PKI dan embel-embel lainnya. Bagaimana kita percaya, sejarah katanya sudah dibelokkan. Entah dimana kuburan masal itu.

Tiada kejelasan kawan, aroma ketakutan-ketakutan akan suatu paham seakan seperti iblis, mesti digantung, diberangus, bredel, untuk lukisan alat tani palu dan arit pun menakuti mereka, ada apa? Sesetan inikah paham yang sudah menjadi makam itu? Membusuk dalam liang sejarah yang penuh tanya, seakan terus menghantui pihak-pihak yang terus liar dengan atas nama paham anti ideologi negeri sayu ini? Selayu itu kah nyali jendral-jendral kita atas paham yang dimakamkan itu? Palu simbolnya para buruh dan arit simbolnya petani, lalu Seakan menjadi sebuah penampakan yang menghantui negeri ini. dimana akal sehat? Aku malah merinding mendengar kata ‘cangkul’, teringat berita marak ketika siswa SMP mencangkul kemaluan seorang gadis karena tidak mau diajak berhubungan badan. Bejat bukan?

Apa kabar orde baru? Orde lama hingg baru masih menjadi tanya tanya sejarah, dan kita tak berkutik sedikit pun. Kalimat-kalimat “usut tuntas kasus 1965, Trisakti, Masrinah dan yang lainnya”, kini hanyalah kata-kata penghiburan. Aparat keparat melawan kubur kosong yang sudah ditelan tanah, sementara mayat hidup FPI, ISIS, Sang Habib dan manusia-manusia bersorban juga manusia-manusia berjas dan berkumis mengatasnamakan Islam yang suci untuk menghina ideologi Pancasila terbiarkan, mereka duduk ngopi di depan televisi menyaksikan prajurit-prajurit buta sejarah dan paham membredel buku-buku usang di kedai usang. Separah inikah kawan? Atau kita hanya berani pada Zaskia Gotik dan mencaci makinya dengan tenar?

Apa katamu pak presiden? Sweeping sedang berlangsung, buku-buku disita, penerbit-penerbit didatangi, apakah jendral-jendral kita sebernyali ini? atau mungkin mereka tidak tahu membaca, hanya takut pada symbol palu dan arit saja. Bedah buku Tan Malaka dibubarkan, prajurit coklat diam saja. Hei! Dimana akal sehat? Pak Presiden, apakah perintahmu sudah tak berbisa? Atau hanya sekedar penghiasa sweeping ini. Bukankah pemimpin itu ketegasan tanpa ragu tuan.

Rokoku tinggal sebatang, bungkusnya kuremas, kulemparkan pada jalanan beraspal. Dalam sekali aku mengisapnya. Apa kabar “Panama Papers? Kayaknya dokumen tentangmu lebih berharga, kenapa pula buku-buku itu disita, payah!”. “Apa kabarmu Papa Setya Novanto? Selamat atas keterpilihanya sebagai ketua umum Partai Beringin. Sepertinya perahumu melemah saja mengikut arus, merapat ke dermaganya penguasa. “Bagaimana tentangmu Habib Rizieq? Ah, tampaknya kau lebih bernyali, sampai saat ini tak ada yang berani mencekalmu, menteri-menteri itu beraninya Cuma bikin judul besar di media, aksinya tak ada pun kulihat”, “Dimana La Nyala?” sudah menyalah kah?. 

“Sehat dirimu Sanusi? Kabar tentangmu sepi akhir-akhir ini, sementara penonton masih meminatinya, janganlah besar kali mulut itu, akhirnya nampak juga bejatnya, ajak-ajaklah kawan-kawanmu itu, biar tak sendirian di kurungan sana, tinggal kau lengkapilah kurungan itu dengan AC, Ranjang empuk, HP, jaringan internet, dan fasilitas spesial lainnya, sekalian tukang juga kusutmu lah, bukankah begitu tempat kurungan untuk koruptor kita Bang Yasona Laoli? Atau aku salah?”. “Hay Damayanti Wisnu, bagaimana perkembangan aliran dana ke DPR? Mana suaranya? Berikan sedikit pemanasan lah, makin manis saja senyum kutengok.”

Aku juga ingin menyapa kawan-kawan itu, “Apa kabar HMI? Aman dan terkendalikah saudara? Sudah dimaklumi kok aksi-aksi itu, nampak kan rusuhnya. Maklumlah kawan, aku hanya hendak menyapa”. “Hey Bang Ahok, semoga sehatlah dirimu selalu, kayaknya nyali ‘orang kita’ sama dengan penyita buku-buku tak berdosa itu. Sama-sama penakut kawan. Mohon maklumlah kita, bang. “Adikku tercinya Yuyun, korbaan kebejatan bocah-bocah yang telah rusak moralnya, menodainya dan membunuhnya. Bagaimana tentang Surga Yuyun? Apakah Tuhan menyaksikan ini?

Sepertinya ketakutan bukan pada simbol-simbol semu, bukan pada buku-buku kiri, bukan pada bedahnya nya buku Tan Malaka. Kebenaran sejarah adalah ketakutan besar pihak-pihak yang bersembunyi, mengatasnamakan anti ideologi untuk membenarkan sweping tanpa dasar. Sejarah bungkam akan bersuara, menyeruak dibalik tekanan dan fakta-fakta akan berkisah tentang biadabnya sebangsa kita, biadabnya konspirasi, biadabnya algojo-algojo yang makan dari jerih lelah rakyat, biadabnya pembelot sejarah, biadabnya mereka yang terkubur karena penyiksaan-penyiksaan mereka. Atau mungkin ini hanyalah pengalih isu kawan, dimunculkan atau memunculkan diri, adakah yang luput dari perhatian kita? Coba perhatikan secara seksama, kawan. Jangan-jangan rakyat dikibuli lagi, diberikan bumbu palu arit, bergaya-gaya sweping untuk mengaburkan kepentingan, mengaburkan penindasan, atau sepenakut inikah kita pada kuburan paham itu, yang jelas-jelas sudah terkubur? Perlukah kita turun ke jalan? Dimana Kelompok Cipayung? Kenapa kita bungkam kawan-kawan? Dunia literasi kita dibajak. Jangan minta maklum lagi lah. Tiba-tiba aku ingat bunda itu, “Apa kabarmu Ibu Mega?”

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun