Mohon tunggu...
Boarneges
Boarneges Mohon Tunggu... Profesional -

"Tidak-kah kita merasa kehilangan orang-orang yang selama ini kita andalkan? mari kita melawan lupa,

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

[Puisi] Ocehan Hujan

10 Mei 2016   13:36 Diperbarui: 10 Mei 2016   15:27 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana kau berkaca pada hujan, tetesnya memecah setiap menghampiri tanah, atau genangan keruh meluluhkan liatan, memenuhi lobang-lobang jalan raya yang asalan membangunnya. Aku  masih di sini, meminggir bersama segerobak aspirasi yang menjadi sampah, memenuhi gerobak-gerobak parlemen setelah didorong berlelah-lelah oleh pemerhati yang peduli, tentang hutan, tentang tanah ulayat, tanah adat yang diserobot, tentang laut, tentang nelayan-nelayan pesisir yang kehidupannya hendak direklamasi, tentang ikan-ikan yang tercuri, tentang karang-karang yang hancur oleh botol-botol molotof dari tangan-tangan penjarah tak bertanggung jawab. Mafia melebarkan sayap, ketika di perbatasan pencuri mulai dikejar, para perusak bergerilya di selat-selat, di teluk-teluk kepulauan yang  jauh dari kacamata Sang Paus yang disebut-sebut "Si Gila", atau disebut "Penenggelam Kapal".

Aku masih di sini kawan, bersamamu. Menyaksikan kemirisan-kemirisan yang semakin masif karena lahan mereka mulai gersang. Mereka yang menjarah, mereka yang serakah, tapi rakyat masih buta, masih belum satu, masih mau menjadi korban-korban arahan media abal-abal yang cenderung mem-bullly, menghakimi, menjadi senjata politik, mematikan karier, dan berbagai kekuatan yang seakan terus berperang untuk menunjukkan taringnya, dan rakyat ikut-ikutan menghujat, juga kaum intelektual terus menghujat, terbodohi oleh doktrin-doktrin politik karbitan. 

"Kolam istana masih keruh," begitulah kata seseorang. Entah sekeruh apa, dan keruhnya bagaimana, masih abu-abu seperti keruhnya. Masih banyak serigala berbulu domba, mengadu-adu biar teradu, tanduk menanduk kebijakan, seakan republik ini menjadi arena, panggungnya kepentingan.

Aku masih di sini, berceloteh dengan hujan untuk segala yang tak tertulis, untuk kata-kata buntu dari kegelisahan, untuk pemberontakan akan sejarah yang buta dan manipulatif. Bagaimana aku berpikir? Dan seperti biasa, aku masih duduk berdiam dengan ocehan-ocehan pikiran. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun