“Apakah kami ini binatang sehingga kami diperlakukan seperti ini? Anak saya dibiarkan terlantar hanya kerena kartu? Hanya karena saya tidak membawa uang, lalu disuruh pulang?!” ujarku marah.
“Lha, Ibu jangan bicara begitu,” balasnya dengan wajah mendadak pucat melihatku yang mendadak emosi.
“Bahkan kamu tidak sedikit pun melihat anak saya, perawat macam apa kau ini, membiarkan anak saya terlantar! Kalian digaji pemerintah untuk melayani kami, bukan menyusahkan kami!” seruku penuh emosi, ingin sekali aku melemparinya dengan sandal bututku, sayangnya aku tak mengenakannya. Telapakku terburu tanpa alas kaki. Lelaki itu pucat membisu. Aku beranjak dari kursiku dengan sorot mata tajam ke arahnya, lalu berjalan menuju pintu keluar.
“Kami ini bukan binatang! Kami manusia! Tak mesti kau perlakukan kami seperti ini!” Ingin sekali aku mencucut matanya dengan telunjukku yang mengarah ke wajahnya. Siti mengeliat di gendonganku. Kurasai kulit wajahku panas memerah.
“Kita bisa bicarakan baik-baik kan, Bu....” ujar lelaki itu gemetaran.
“Apanya yang dibicarakan? Dasar binatang!” ujarku ketus. Kututup kembali kaki Siti dengan kain semula. Kupelototi wajah perawat itu tajam lalu beranjak keluar ruangan. Tak ada sahutnya, ia hanya memandangiku dengan bungkam ketika aku meninggalkannya. Bahkan manusia-manusia yang menghianati nuraninya terlebih bangsanya, itu wajar disebut binatang, tak pantas menjadi manusia meskipun kemejanya berwarna putih dan disetrika licin.
Panas begitu terik. Aku menuju lereng batu. Siti masih berdiam di gendonganku. Peluhku mengalir deras. Aku tiba di bawah lereng, berteduh di bawah pancangan daun kelapa, tempatku biasa memecah batu. Aku duduk bersama Siti yang keringatan, kuusap wajahnya pelan dengan kaki bajunya, angin sepoi berhembus pelan, terasa butiran peluh mendingin, mengering. Kakiku sudah berlepotan tanah liat kering, kulonjorkan melemas. Kulirik ke arah kaki Siti yang terduduk diam di pangkuanku, kakinya menjuntai di bawah lututku. Kudisnya mengelupas akibat garutannya karena terasa gatal. Tetes darah yang sudah mengering dan nanah yang hendak keluar dari lobangannya, beberapa lobang kudis di kakinya. Aku menangis terisak. Tak kuasa aku menahan tangisku di depannya. Badanku bergetar seiring hatiku yang berguncang. Pilu mengalir bersama emosi seakan penuhi nadiku. Kupeluk Siti erat-erat, aku mengenang ayahnya, suamiku. Berat bagiku hidup sendirian tanpanya. Bahkan untuk manusia yang menumbuh di rahimku sekarang ini, bagaimana ia kelak melihat duniannya? Aku tak tahu. Aku menangis. Aku ingin berteriak tapi tak bisa, tenggorokanku kering.
“Ma, kenapa menangis?” tanya Siti menatap wajahku. Kepolosan wajahnya tampak lucu. Aku menatap matanya lekat-lekat, sedikit meluluhkan tangisku.
“Maafkan Mama ya, Nak. Bahkan Mama tak bisa berbuat apa ketika kamu sakit seperti ini,” ujarku terisak. Kuciumi keningnya lembut. Dia menutup matanya, rasanya sedang meresapi kecupanku. Kecupan ibunya yang tidak bawa kartu dan menelantarkannya.
“Kenapa kita tak ke nenek Sumi saja, Ma?” ujarnya Siti tiba-tiba. Kuusap hidungku dengan lengan bajuku. Dia ingin ke Nenek Sumi, seorang dukun beranak. Beberapa yang hari yang lalu ia juga mengobati Siti ketika masuk angin. Siti merasa senang bersama ibu tua itu. Tanpa kemeja putih, tanpa kartu, tanpa embel-embel kampanye, entah kenapa mereka-mereka ini seakan disingkirkan dan digantikan oleh para binatang-binatang muda
“Boleh, nanti Mama bawa kesana saja ya, asal Siti mau,” bujukku.
“Mau, Ma. Siti mau sama Nenek Sumi,” katanya semangat.
Kuhirup dalam udara panas di sekitarku, disejukan oleh hembusan angin gunung. Sejuk sekali. Bebatuan cadas keras, tumpukan tanah liat, kubikan pecahan cadas, palu besar dan dedaunan pohon kelapa yang ditepasi angin, menari kian kemari, menyaksi betapa terjajahnya kemanusiaan.
“Keliahatannya kita butuh banyak orang besok pagi,” ujarku tegas.
“Untuk apa, Ma?” Tanya Siti dengan polosnya.
“Warga kampung harus tahu ini, kita harus bertindak,” ujarku keras. Siti terdiam, dia tak mengerti.
“Besok pagi, aku akan melempari gedung putih itu dengan bebatuan ini bersama warga lainnya, sampai jendelanya pecah, pintunya terkoyak, atau atap-atapnya dilinggis saja. Bakar semua obat-obatnya, semuanya dibakar! Persetan dengan semua hukum dan kebijakan. Lalu usir semua binatang-binatang berseragam putih itu, sampai mereka lari terbirit-birit. Biarlah kita mati saja, sebagai manusia. Daripada harus bergeletak seperti binatang tanpa pertolongan di pangkuan anak-anak kita!”
“Mama mau apa?”
“Setelah itu, kita akan menghardik para pembalak di perusahan penjajah itu. Memblokade jalan-jalan yang dilewati truk-truk tua mereka, melempari mereka dengan batu-batu ini. Membakar rumah-rumah mereka, sebelum mereka menggusur gubuk-gubuk kita, merampas tanah kita, mengubikan kayu di tanah kita seakan bersaing hidup dengan kubikan bebatuan yang kita punya. Bakar!”
Siti terdiam memandangku. Aku tersenyum ke arahnya, sebuah senyum penyerahan. Karena penjajahan harus di lawan dengan perlawan. Sudah terlalu lama kita berdiam, dan kenyang dengan ke-moelok-kan.
"Mama kenapa?"
“Jangan salahkan kami, tuan!”
Aku menatap wajah Siti dalam-dalam, dia menatapku diam, ia tak mengerti apa-apa. Siti membelai lembut wajahku. Entah bagaimana aku harus mengatakannya, sentuhanya di pipiku sungguh membahagianku.
"Ma, besok aku juga ikut."
***
(Selesai)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H