Mohon tunggu...
Boarneges
Boarneges Mohon Tunggu... Profesional -

"Tidak-kah kita merasa kehilangan orang-orang yang selama ini kita andalkan? mari kita melawan lupa,

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan di Tambang Batu (2)

22 Maret 2016   15:52 Diperbarui: 22 Maret 2016   16:19 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peluh mengaliri wajahku. Jalan setapak yang panas kulalui tanpa alas kaki. Pandanganku berkunang-kunang. Akhirnya aku tiba di depan sebuah bangunan bercat putih yang sudah mengelupas, tampak bendera merah putih lusuh berkibar di depannya. Halamannya penuh rerumputan liar, menambah kunang-kunang berterbangan dalam pandanganku.

“Tidak bawa kartu?” Seorang pria berpakaian serba putih berujar dengan wajah kesal yang dibuat-buat, seorang perawat puskesmas dengan sebatang rokok di tangannya. Hanya dia satu-satunya di ruangan itu, setahuku ada beberapa perawat bertugas disini, tapi entah kemana sisanya. Itu sudah pemandangan wajar disini. Ia mengarahkan pandangannya ke arahku, perempuan yang sedang hamil, duduk di depannya, menggendongi Siti yang hanya berpakaian kaos oblong, berkolor kumal. Tak sedikitpun ia melirik ke arah anakku.

“Tak sempat, Pak. Buru-buru kesini dari tambang batu,” Ujarku memelas. Kutunjukan kaki Siti yang kudisan dan berdarah, memohon perhatiannya, atau lebih tepat memohon iba hatinya. Siti mengeliat di gendonganku, membenamkan wajahnya di dadaku, desahan lajat menahan sakit rasanya mengiris hatiku.

 “Ibu Reni! Kami tidak bisa melayani kalau Ibu belum membawa kartu. Itu sudah aturan kita disini,” kata pria itu lagi dengan nada sedikit ketus, lalu menghisap rokoknya dalam-dalam, seakan tak peduli dengan keadaan manusia di depannya itu. Tak ada rasa iba seperti yang kuharapkan. Bahkan masih belum beranjak dari kursinya. Sedikit berbeda ketika karyawan-karyawan perusahan yang datang disini, mereka akan dilayani dengan ramah sampai terbungkuk-bungkuk, meskipun karyawan itu datang hanya untuk meminta vitamin atau obatan lainnya, tapi mereka berani membayar mahal.

“Lha, lalu saya harus bagaimana, Pak? Apakah anak saya tidak bisa berobat hanya karena kartu itu? Saya mohon, tolong anak saya, Pak.” Kataku dengan sedikit teriak. Kurasai betapa aku hendak ingin menyembah kakinya, seandainya dia meminta, memohon kepeduliaanya untuk sedikit perobatan anakku yang mulai menggigil di dekapanku.

“Hm, itu sudah peraturan, Bu, lagian obat juga sudah habis,”

“Obat habis?”

“Ya, habis!”

Wajahku bermuram, kupeluk Siti erat-erat di dadaku, duduk terpaku di atas kursi besi, menyandarkan badanku di dinding bercat putih, di atas kepalaku menggantung sebuah plank,  yang di atasnya terlukis jelas ‘Bakti Husada’, dan dibagian bawahnya ‘Melayani masyarakat menuju sehat’. Aku tertegun memandang bentuk logo hijau itu, terlebih tanda di tengahnya yang mirip salib. Sebuah simbol kemenangan, biasa kulihat di gereja tua kami. Aku berdiam lama. Kartu? Yah, sebuah kartu yang tersimpan di lemari butut di rumah papan dengan atap rumbia bocor milik kami. Kartu jaminan kesehatan untuk warga miskin seperti kami, dibagi-bagi ketika ‘Tuan raja’ berkunjung ke pulau kami untuk jalan-jalan, yah, lebih tepatnya untuk jalan-jalan dan melihat-lihat, karena setelah itu tak tahu lagi kemana rimbanya. Hanya baliho kampanye besar yang tertinggal, itupun peninggalan Pemilu tahun lalu dan sudah terkoyak-koyak. Sejak kapan kartu berwarna itu lebih berharga dari nyawa manusia?

“Hm, baiklah, saya bisa sedikit membantu,” ujar perawat itu pelan, nada suaranya mendayu. Aku sedikit curiga dengan perubahan sikapnya yang tiba-tiba, tapi bagaimanapun hatiku sedikit berlega. Betapa susahnya menjadi orang kecil. Seakan tak ada hak untuk sedikit iba dan hidup.

“Anak saya bisa diobati, Pak?” Tanyaku penuh harap.

“Ya”, ujarnya pelan. Kembali perawat muda itu mengisap rokoknya dalam-dalam, masih belum beranjak juga dari kursinya. Asap rokoknya mengepuli langit-langit ruangan. Kalau sudah begini, maka sesaklah paru-paru, sesesak manusia-manusia seperti kami yang berbondong-bondong mendengarkan pidato program kesejahteraan, tapi ternyata hanya sampai parkiran panggung perlakuannya, tak sampai disini, atau tak ada disini. Kami sendirian menjuangi sejengkal nafas kami sendiri, di atas tanah kami berpijak, di bumi pertiwi kami sendiri.

“Ada obat dokter, tapi harus bayar, baru saya berikan obatnya,”  ujarnya lagi memelan. Memberikan pertimbangan tanpa sedikit enggan. Teringatku, beberapa minggu lalu, tetanggaku yang mati terlantar di bangunan putih ini, tanpa penanganan, perawatnya sedang berleha di perjalanan, tak ada dokter, tak ada siapa-siapa, tak sempat tertolong, dan akhirnya menghembuskan napas terakhirnya di pangkuan anaknya yang terduduk menjadi sandarannya, di bawah plank dan logo berwarna kehijauan, tempat aku duduk saat ini. Di negeri kami sendiri, sulit membedakan perlakuan atas kami dan binatang, atau binatang berwujud manusia memperlakukan manusia yang sebenarnya seperti binatang.

“Bukankah obat disini cuma-cuma?” Tanyaku dengan nada sedikit meninggi. Aku tak mengerti kenapa sampai tiba di titik ini, pertimbangan yang menibakan pada lembaran rupiah. Siti kembali meringgis di pelukanku. Kubelai rambutnya pelan. Amarah mulai merasukiku.

“Kudismu mahal ternyata”, ujarku dalam hati. Sendu penuhi nadiku kali ini. Lelaki itu mendekat ke arahku, seakan ingin meyakinkanku dengan perkataanya barusan. Tak ada bimbang di wajahnya. Tampak pasti.

“Ibu Reni, ini kan obat dokter, kok cuma-cuma?” ujarnya memelan serak. Ada kesan licik dibalik suaranya. Ah, aku merasa sial sekali. Aku terhenyak diam. Tak ada iba yang kuharapkan, sedikitpun tidak. Apa yang terjadi disini? Di tempat ini, hal itu berlaku nyata atas orang-orang bernasib seperti kami. Kuusap pelan punggung Siti yang mulai tenang, kepalanya merebah di pundakku.  Lelah meringgis di pelukanku.

“Aku tak bawa uang, Pak.” Seandainya ia memintainya, aku ingin bersujud di kakinya. Ia tampak tak peduli dengan perkataanku.

“Bisakah anak saya diobati saja, nanti saya balik kesini untuk membayar perobatannya,” ujarku menawar, tak ada lagi jalan keluarku kini. Kutahankan amarah di dadaku yang tiba-tiba hendak menyeruak melihat ketidakpedulian yang polos saja melihatiku, seakan tidak terjadi apa-apa, seakan nyawa di depan matanya hanyalah seonggok daging ayam gosong yang tak diminatinya.  

“Ibu bisa ke rumah dulu, nanti bisa kembali lagi kesini,” ujarnya kesal dengan suaraku yang memelas. Santai sekali ia mengucap katanya, tanpa sedikit beban. Amarah memenuhi kepalaku.

“Atau Ibu Reni bisa ke apotik, meskipun lumayan jauh dari sini, tapi disana juga obat-obatnya banyak. Disana bayar juga kok,” ujarnya dengan gaya santun.  Sebenarnya dia ingin aku membeli obatnya yang sebenarnya gratis itu. Aku menatapnya tajam ke arahnya yang kemudian mulai risih dengan tatapanku. Amarah meluap di kepalaku, memenuhi ubun-ubungku.

“Apakah kami ini binatang sehingga kami diperlakukan seperti ini? Anak saya dibiarkan terlantar hanya kerena kartu? Hanya karena saya tidak membawa uang, lalu disuruh pulang?!” ujarku marah.

***

(Bersambung Perempuan di Tambang Batu 3)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun