“Ya”, ujarnya pelan. Kembali perawat muda itu mengisap rokoknya dalam-dalam, masih belum beranjak juga dari kursinya. Asap rokoknya mengepuli langit-langit ruangan. Kalau sudah begini, maka sesaklah paru-paru, sesesak manusia-manusia seperti kami yang berbondong-bondong mendengarkan pidato program kesejahteraan, tapi ternyata hanya sampai parkiran panggung perlakuannya, tak sampai disini, atau tak ada disini. Kami sendirian menjuangi sejengkal nafas kami sendiri, di atas tanah kami berpijak, di bumi pertiwi kami sendiri.
“Ada obat dokter, tapi harus bayar, baru saya berikan obatnya,” ujarnya lagi memelan. Memberikan pertimbangan tanpa sedikit enggan. Teringatku, beberapa minggu lalu, tetanggaku yang mati terlantar di bangunan putih ini, tanpa penanganan, perawatnya sedang berleha di perjalanan, tak ada dokter, tak ada siapa-siapa, tak sempat tertolong, dan akhirnya menghembuskan napas terakhirnya di pangkuan anaknya yang terduduk menjadi sandarannya, di bawah plank dan logo berwarna kehijauan, tempat aku duduk saat ini. Di negeri kami sendiri, sulit membedakan perlakuan atas kami dan binatang, atau binatang berwujud manusia memperlakukan manusia yang sebenarnya seperti binatang.
“Bukankah obat disini cuma-cuma?” Tanyaku dengan nada sedikit meninggi. Aku tak mengerti kenapa sampai tiba di titik ini, pertimbangan yang menibakan pada lembaran rupiah. Siti kembali meringgis di pelukanku. Kubelai rambutnya pelan. Amarah mulai merasukiku.
“Kudismu mahal ternyata”, ujarku dalam hati. Sendu penuhi nadiku kali ini. Lelaki itu mendekat ke arahku, seakan ingin meyakinkanku dengan perkataanya barusan. Tak ada bimbang di wajahnya. Tampak pasti.
“Ibu Reni, ini kan obat dokter, kok cuma-cuma?” ujarnya memelan serak. Ada kesan licik dibalik suaranya. Ah, aku merasa sial sekali. Aku terhenyak diam. Tak ada iba yang kuharapkan, sedikitpun tidak. Apa yang terjadi disini? Di tempat ini, hal itu berlaku nyata atas orang-orang bernasib seperti kami. Kuusap pelan punggung Siti yang mulai tenang, kepalanya merebah di pundakku. Lelah meringgis di pelukanku.
“Aku tak bawa uang, Pak.” Seandainya ia memintainya, aku ingin bersujud di kakinya. Ia tampak tak peduli dengan perkataanku.
“Bisakah anak saya diobati saja, nanti saya balik kesini untuk membayar perobatannya,” ujarku menawar, tak ada lagi jalan keluarku kini. Kutahankan amarah di dadaku yang tiba-tiba hendak menyeruak melihat ketidakpedulian yang polos saja melihatiku, seakan tidak terjadi apa-apa, seakan nyawa di depan matanya hanyalah seonggok daging ayam gosong yang tak diminatinya.
“Ibu bisa ke rumah dulu, nanti bisa kembali lagi kesini,” ujarnya kesal dengan suaraku yang memelas. Santai sekali ia mengucap katanya, tanpa sedikit beban. Amarah memenuhi kepalaku.
“Atau Ibu Reni bisa ke apotik, meskipun lumayan jauh dari sini, tapi disana juga obat-obatnya banyak. Disana bayar juga kok,” ujarnya dengan gaya santun. Sebenarnya dia ingin aku membeli obatnya yang sebenarnya gratis itu. Aku menatapnya tajam ke arahnya yang kemudian mulai risih dengan tatapanku. Amarah meluap di kepalaku, memenuhi ubun-ubungku.
“Apakah kami ini binatang sehingga kami diperlakukan seperti ini? Anak saya dibiarkan terlantar hanya kerena kartu? Hanya karena saya tidak membawa uang, lalu disuruh pulang?!” ujarku marah.
***