“Itulah lae, sama-sama sipitnya mata kita. Sama pula kita besar di pergerakan ini, kenapa pula kita harus berselisih seperti ini. Malu aku, Boar. Bendera biru itu jadi lusuh dan malu melihat kita. Menyaksikan betapa cengengnya kita. Sudahlah, itu tak ada dasar konstitusinya, Boar. Juga tak ada artinya.” Ia menepuk-nepuk pundakku. merangkulnya penuh persahabatan. "Jalan kita masih panjang, kita tak tahu nasib satu sama lain. Kita punya jalan masing-masing. Aku takkan pernah lupa bagaimana aku menapaki awal. bersamamu mengajari aku banyak hal, lae. Kita adalah saudara."
"Macam yang jatuh cinta sajalah kau padaku." Kami tertawa terbahak.
Damai itu sederhana, menerima dan mengampuni. Perbincangan berlangsung lama. Kawan-kawan berdatangan. Peluh mengalir bersama tawa. Berbagai kisah mengalir. Satu demi satu mengucap kalimatnya, isi hatinya, inginnya, kepentinganya, melebur menjadi satu, kebersamaan. Percakapan terhenti, ketika gadis dari daerah seberang menghampiri. Kapan pula gadis ini tiba disini? Pertanyaan yang tampak di kedua bola mata kami. Sejenak saja dia mampir menyapa, berjabat tangan, kemudian berlalu menghindari rayuan yang mulai berserakan.
"Lae!"
"Ya"
"Kapan kau menikah?"
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H