"Dari Abu Hurairah RA berkata Rasulullah SAW bersabda: barang siapa yang meminta-minta harta pada orang lain dalam rangka untuk memperbanyak (hartanya), sesungguhnya ia meminta bara api, maka hendaklah ia mempersedikit atau memperbanyaknya" (HR. Muslim).
Hadist ini secara lugas memberi ancer-ancer kepada kita semua, tentang bagaimana menghadapi realitas sosial yang amat lumrah dapat kita jumpai di jalan-jalan sekeliling pemukiman kita.
Pengemis.
Dikota-kota besar, beberapa masyarakat memanggap bahwa fenomena ini merupakan suatu hal atau tindakan yang kurang etis, alasan mereka tidak lain adalah menganggap bahwa kegiatan tersebut dapat merusak pandangan, dan begitu marjinal.
Para pengemispun kian marak kepadatannya diantara kota-kota besar, akan tetapi tidak bisa kita pungkiri bahwa adanya pengemis tersebut dapat menimbulkan keresahan diantara kehidupan sosial kita, pasalnya tak hanya para mereka yang memang benar-benar dalam keadaan ekonomi yang sangat dibawah rata-rata saja yang tergolong menjadi pengemis. Bahkan seseorang yang keadaan ekonomi dapat dikategorikan "mampu" untuk makan dan memberi makan keluarganya ikut berkecimpung dalam profesi ini.
Suatu tempat yang menarik saya kunjungi ketika tahun lalu, yang mana karenanya tulisan ini lahir. Salah satu di kepulauan sebelah timur Indonesia. Desa tersebut begitu uniknya dinamai sebagai desa pengemis, suatu desa yang terletak 45 Km dari kota kearah barat itu berpenduduk  3.500 kepala keluarga atau sekitar 9.567 jiwa. Dari jumlah keseluruhan penduduk di desa tersebut 80% diantaranya menjadi pengemis (peminta-minta). Tidak heran jika desa tersebut dijuluki sebagai kampung pengemis dan menjadi pusat perhatian para peneliti, akademisi dan media massa meskipun untuk menuju tempat tersebut tidak semudah yang bisa kita bayangkan.
Semua orang yang berkunjung ke desa pengemistersebut bahkan dibuat terheran olehnya, pasalnya di daerah tersebut tak patut dijuluki  desa pengemis. Rumah yang terbuat dari gedek(Rumah anyaman bambu) pun tak tampak satupun di desa tersebut. Kendaraan sepeda motorpun juga ramai terlihat lalu lalang.
Walaupun untuk jarak antara rumah warga satu dengan warga lainnya berjarak sekitar 10 hingga 20 meter, akan tetapi terlihat rumah yang berdiri kokoh dan besar dilengkapi dengan antenna parabola menghiasi desa tersebut, lantaipun nampak berkeramik lengkap dengan berbagai macam hiasan yang sudah bukan barang langka dan asing lagi.
Akses jalan desa yang menjadi penghubung dengan desa tetangga juga beraspal, kecuali jalan penghubung kampung didesa tersebut yang masih berupa jalanan tanah dan lumayan sulit kiranya dilalui oleh mobil mewah. Tak hanya itu saja, tingkat kemampuan ekonomi para penduduk setempatpun bahkan diatas standar ekonomi.
Meski sudah tergolong tingkat ekonomi atas untuk ukuran desa, salah satu penduduk desa tersebut mengaku bahwa tidak dapat meninggalkan profesi mengemis yang sudah dilakukan secara turun temurun.
Banyak alasan yang dikemukakan. Selain tidak memiliki lahan pertanian yang cukup, hingga tidak mempunyai skill yang bisa menghasilkan dan menutupi kebutuhan hidupnya.