KAI Dhoho selalu berhenti beberapa menit di setiap stasiun yang dilewati guna pertukaran penumpang. Hal ini membuat kita dapat melihat karakteristik masing-masing kota, yaitu Surabaya yang dipenuhi gedung pencakar langit, Sidoarjo dengan pabrik industri, Mojokerto dan Jombang yang erat dengan nuansa pesantren, serta Kediri dan Tulungagung dengan bentangan sawah.Â
Pemberhentian yang paling lama dari KAI ini adalah di Stasiun Kertosono, yakni selama 20 menit karena terjadi pemutaran lokomotif. Sembari menunggu, para penumpang biasanya akan memanfaatkan waktu untuk menikmati makanan yang dijajakan di stasiun atau sekadar pergi ke toilet stasiun.Â
Tak perlu risau akan kehabisan baterai di kala naik KAI Dhoho sebab telah disediakan dua buah stop kontak di setiap sepasang kursi. Kita bisa mencharge baterai ponsel dan laptop sampai penuh. Sangat cocok bagi mahasiswa yang ingin mengerjakan tugas.Â
Kebersihan dalam tiap gerbong tidak perlu dikhawatirkan karena akan ada petugas yang mengumpulkan sampah penumpang di setiap sepasang kursi.Â
Fasilitas AC yang disediakan menambah kenyamanan penumpang. Disediakan pula gerbong makan yang terletak di antara gerbong 3 dan 4 bagi mereka yang ingin berkuliner di atas kereta.Â
Sayangnya, sandaran kursi penumpang KAI ini berbentuk tegak dan tepat 90 derajat yang membuat punggung terasa pegal. Apalagi jika melakukan perjalanan dari Stasiun Surabaya Gubeng ke Stasiun Tulungagung yang memakan waktu hampir 4 jam.Â
Namun, ini lebih baik daripada tidak mendapat kursi karena harus berdiri dan sesekali menempati kursi yang kosong. Kebersihan toilet di setiap gerbong kiranya juga harus mendapat perhatian khusus, baik dari petugas maupun penumpang sebab masih banyak ditemui toilet yang kurang bersih dan berbau kurang sedap.Â
Dengan KAI lokal Dhoho, pulang ke kampung halaman tiap minggu kini tak lagi menjadi masalah bagi mahasiswa rantau Surabaya asal Karesidenan Kediri. Apalagi bagi yang belum terbiasa jauh dari keluarga.Â
Naik kereta api bak pelepas penat selama lima hari berkuliah. Kereta api menjadi saksi perjuangan mahasiswa untuk menemukan jati diri. Romansa klasik ini biarlah terus berlanjut dari generasi ke generasi. Mengkalkulasikan segala asa dan pengorbanan.