Mohon tunggu...
Yuniar Ratih Istiawan
Yuniar Ratih Istiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Fakultas Psikologi, Universitas Airlangga

Hasbunallah Wanikmal Wakil Nikmal Maula Wanikman Nasir

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengenal Cognitive Dissonance Menurut Psikologi

21 Juni 2022   15:03 Diperbarui: 21 Juni 2022   15:09 1155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Setiap orang pasti pernah mengalami yang namanya berubah pikiran. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi itu dijelaskan oleh teori yang disebut dengan Cognitive Dissonance atau Disonansi Kognitif. Apa itu Cognitive Dissonance? Apa kata ahli psikologi? Bagaimana prosesnya? Apa saja contohnya? Bagaimana cara menguranginya? Yuk kita simak pembahasan selanjutnya!

Cognitive Dissonance atau dalam bahasa Indonesia disebut disonansi kognitif adalah keadaan di mana psikologis seseorang merasa tegang, tidak menyenangkan, dan tidak nyaman akibat adanya dua atau lebih kognisi yang tidak konsisten atau tidak selaras satu sama lain. Kognisi sendiri berarti pikiran, sikap, keyakinan, atau keadaan kesadaran perilaku. 

Jadi, Teori Disonansi Kognitif adalah teori dalam psikologi sosial yang membahas mengenai ketidaknyamanan seseorang karena memiliki sikap, pemikiran, dan perilaku yang saling bertentangan sebagai akibat dari inkonsistensi. Terdapat perbedaan antara apa yang dipercaya dengan kenyataan yang terjadi dan hal tersebut dilakukan secara sadar.

Lalu apa yang terjadi? Prosesnya adalah ketika seseorang memiliki keyakinan/sikap negatif terhadap sesuatu namun ia justru berperilaku positif, begitu sebaliknya. Misalnya, seseorang yang percaya bahwa monogami (hanya memiliki satu pasangan pada pernikahan) adalah hal yang penting pada pernikahan. 

Namun, di sisi lain, ternyata orang tersebut memiliki perselingkuhan di luar ikatan pernikahan. Ia memiliki inkonsistensi yang ada pada dirinya, yaitu ketidaksesuaian antara pikiran, sikap, dan perilakunya. Ia tahu bahwa berselingkuh adalah perilaku yang buruk, namun ia tetap melakukannya. Mereka yang mengalami hal ini, mempunyai rasa bersalah dan ketidaknyamanan. Inilah yang disebut dengan Cognitive Dissonance atau Disonansi Kognitif.

Cognitive Dissonance atau Disonansi Kognitif sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, seseorang yang tahu bahwa menunda pekerjaan adalah hal yang tidak baik, namun ia tetap saja bermalas-malasan dan menunda pekerjaan hingga tenggat waktu pengumpulan pekerjaan yang sangat dekat. Tak hanya itu, contoh lainnya adalah merokok. Seseorang yang merokok pasti tahu bahwa rokok itu sangat berisiko dan bisa mengganggu kesehatan. Namun, ia tetap saja merokok.

Pada tahun 1957, Leon Festinger (seorang psikolog sosial Amerika) mengusulkan supaya kita mencari keselarasan antara pikiran, sikap, dan perilaku kita. Beliau juga menyarankan agar kita bisa mengurangi ketegangan akibat inkonsistensi antara elemen-elemen tersebut. Hal ini dijelaskan dalam teori yang disebut dengan teori konsistensi kognitif oleh Leon Festinger. Teori konsistensi kognitif membahas bagaimana orang berusaha untuk mempertahankan konsistensi dan kesepakatan antara kognisi, sikap, dan perilaku mereka.

Orang yang mengalami disonansi kognitif pasti merasa tidak nyaman dan gelisah. Lalu apa yang harus dilakukan? Mereka yang mengalami disonansi, berusaha mencoba untuk bisa mengurangi rasa tidak nyaman tadi. 

Mereka melakukan 3 hal, yaitu mengubah satu atau lebih dari kognisi yang tidak konsisten, mencari bukti tambahan untuk mendukung satu sisi yang lain, atau dengan meremehkan sumber salah satu kognisi. Semakin besar disonansi yang dirasakan oleh seseorang, maka semakin besar juga upaya mereka untuk dapat menguranginya.

Misalnya dalam kasus perselingkuhan. Mereka yang berselingkuh kemungkinan besar memiliki perasaan tidak nyaman atau disonansi. Di satu sisi, mereka takut ketahuan oleh pasangannya, namun di sisi lain mereka juga tetap berselingkuh. 

Semakin besar rasa takut dan tidak nyaman mereka, maka semakin besar juga upaya mereka untuk menguranginya. Untuk mengurangi disonansi tersebut, mereka mengubah kognisi mereka dengan bersikap seperti 'Apa salahnya sedikit bersenang-senang jika tidak ketahuan?'. 

Mereka juga mencari bukti tambahan untuk mendukung kognisi yang sisi lain dengan bersikap bahwa pasangannya tidak bisa memahami mereka, oleh karena itu mereka berselingkuh dan mencari orang lain yang bisa memahaminya. Inti dari mengurangi disonansi ini adalah mereka mencari cara agar rasa tidak nyaman mereka berkurang dan mencoba untuk melakukan justification atau pembenaran terhadap diri bahwa hal yang mereka lakukan adalah benar.

Contoh lain adalah orang yang ahli di bidang kesehatan namun merokok. Jika dilihat dari segi knowledge, orang tersebut sudah tidak diragukan lagi. Dalam arti lain, orang tersebut berwawasan luas terutama di bidang kesehatan. Ia tahu bahwa merokok adalah hal yang sangat berisiko dan dapat mengganggu kesehatan. 

Namun di sisi lain, ia tetap menjadi perokok aktif dan menjadikan perilaku merokok sebagai kebiasaan. Hal ini juga termasuk ke dalam inkonsistensi, yakni adanya ketidaksesuaian antara kognisi, sikap, dan perilakunya. Ia juga mengalami disonansi kognitif, merasa tidak nyaman dan gelisah akibat inkonsistensi tersebut. 

Namun, ia berusaha untuk mengurangi disonansi dengan melakukan justification atau pembenaran terhadap diri. Misalnya, ia merasa bahwa dengan merokok dapat menjadikan dirinya lebih fresh, semangat, dan lain sebagainya. Ia tahu bahwa rokok dapat membuat kesehatan menjadi terganggu. 

Namun, ia menepisnya dengan anggapan bahwa ia tidak akan sakit atau pun terkena efek samping dari rokok karena ia rajin olahraga, minum vitamin, makan makanan bergizi, dan lain sebagainya. Ia melakukan self justification agar merasa lebih tenang dan nyaman.

Padahal kenyataannya, meskipun seseorang rajin olahraga, minum vitamin, makan makanan bergizi, dan lain sebagainya, namun ia tetap menjadi perokok yang sangat aktif, hal tersebut tidak menutup kemungkinan kesehatannya akan terganggu dan sangat berisiko.

Referensi:

Hogg, M. & Vaughan, G. (2018). Social psychology (8th Edition). Harlow: Pearson Education Limited

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun