Mohon tunggu...
Yuniar Ratih Istiawan
Yuniar Ratih Istiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Fakultas Psikologi, Universitas Airlangga

Hasbunallah Wanikmal Wakil Nikmal Maula Wanikman Nasir

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengenal Cognitive Dissonance Menurut Psikologi

21 Juni 2022   15:03 Diperbarui: 21 Juni 2022   15:09 1155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Mereka juga mencari bukti tambahan untuk mendukung kognisi yang sisi lain dengan bersikap bahwa pasangannya tidak bisa memahami mereka, oleh karena itu mereka berselingkuh dan mencari orang lain yang bisa memahaminya. Inti dari mengurangi disonansi ini adalah mereka mencari cara agar rasa tidak nyaman mereka berkurang dan mencoba untuk melakukan justification atau pembenaran terhadap diri bahwa hal yang mereka lakukan adalah benar.

Contoh lain adalah orang yang ahli di bidang kesehatan namun merokok. Jika dilihat dari segi knowledge, orang tersebut sudah tidak diragukan lagi. Dalam arti lain, orang tersebut berwawasan luas terutama di bidang kesehatan. Ia tahu bahwa merokok adalah hal yang sangat berisiko dan dapat mengganggu kesehatan. 

Namun di sisi lain, ia tetap menjadi perokok aktif dan menjadikan perilaku merokok sebagai kebiasaan. Hal ini juga termasuk ke dalam inkonsistensi, yakni adanya ketidaksesuaian antara kognisi, sikap, dan perilakunya. Ia juga mengalami disonansi kognitif, merasa tidak nyaman dan gelisah akibat inkonsistensi tersebut. 

Namun, ia berusaha untuk mengurangi disonansi dengan melakukan justification atau pembenaran terhadap diri. Misalnya, ia merasa bahwa dengan merokok dapat menjadikan dirinya lebih fresh, semangat, dan lain sebagainya. Ia tahu bahwa rokok dapat membuat kesehatan menjadi terganggu. 

Namun, ia menepisnya dengan anggapan bahwa ia tidak akan sakit atau pun terkena efek samping dari rokok karena ia rajin olahraga, minum vitamin, makan makanan bergizi, dan lain sebagainya. Ia melakukan self justification agar merasa lebih tenang dan nyaman.

Padahal kenyataannya, meskipun seseorang rajin olahraga, minum vitamin, makan makanan bergizi, dan lain sebagainya, namun ia tetap menjadi perokok yang sangat aktif, hal tersebut tidak menutup kemungkinan kesehatannya akan terganggu dan sangat berisiko.

Referensi:

Hogg, M. & Vaughan, G. (2018). Social psychology (8th Edition). Harlow: Pearson Education Limited

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun