Mohon tunggu...
Yuniar N. Gina
Yuniar N. Gina Mohon Tunggu... pelajar -

seorang santri yang sedang belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Santri vs Mahasiswa

6 Januari 2018   19:17 Diperbarui: 6 Januari 2018   19:20 1741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Eksistensi pesantren sampai saat ini masih menarik untuk diamati dan dikaji. Kemampuannya bertahan sebagai lembaga pendidikan tradisional masih menjadi perhatian, di tengah era globalisasi dan modernisasi. 

Kurikulum, motede pembelajaran, dimensi keilmuan, serta nilai-nilai lainnya yang diterapkan di lingkungan pesantren sangat berbeda dengan apa yang diterapkan oleh lembaga-lembaga pendidikan pada umumnya, seperti universitas/perguruan tinggi.

Sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai ciri khas tersendiri, pesantren memiliki tradisi keilmuan yang berbeda dari tradisi keilmuan lembaga-lembaga lain. Walaupun hal ini mungkin tidak begitu disadari selama ini. 

Sebagai sebuah lembaga pendidikan agama maka ilmu yang dipelajari juga berbasis agama, dalam hal ini yaitu Alquran dan As-Sunah. Kurikulum yang berlaku di banyak pesantren di Indonesia tidak berdasarkan kurikulum pendidikan yang ditetapkan oleh Kementerian Agama (Kemenag). Sementara perguruan tinggi kebanyakan merupakan penyelenggara pendidikan umum, maka perguruan tinggi mengajarkan ilmu-ilmu yang berbasis pada teori, riset dan pengkajian.

Dalam dimensi keilmuan antara pesantren dan kampus tampak mencolok perbedaannya, bahwa dunia perguruan tinggi adalah dunia ilmu pengetahuan. 

Tujuan utama pendidikan tinggi adalah mengembagkan dan menyebarkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan dengan proses belajar mengajar, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. 

Sementara tujuan pendidikan di pesantren tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran murid dengan penjelasan-penjelasan, tetapi untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, mengargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral. 

Dan menyiapkan para santri untuk hidup sederhana dan bersih hati. Pada intinya adalah moralitas dan pengabdian pada Tuhan.

Selain berbasis pada sumber-sumber hukum Islam, keilmuan di pesantren juga pada umumnya bersumber dari Kitab Kuning. Sehingga bahasa dan huruf yang digunakan yaitu bahasa dan huruf Arab. 

Sementara di dunia kampus kebanyakan ilmu yang dipelajari bersumber dari dunia barat yang ditulis oleh ilmuan dan filsuf barat pula. Sehingga yang digunakan yaitu bahasa inggris dan huruf latin. 

Karena dimensi keilmuan yang dipelajari oleh santri dan mahasiswa cukup jauh berbeda, maka tentu cara mereka untuk mempelajari dan memahami ilmu-ilmu tersebut berbeda pula. 

Apalagi atmosfir dalam proses belajar mengajar di dua lembaga pendidikan tersebut juga. Yaitu lingkungan pesantren yang cenderung masih tradisional, dan dunia kampus yang sudah modern turut memengaruhi cara mereka dalam mencapai kepahaman atas suatu ilmu.

Dalam proses belajar mengajar untuk mempelajari atau memahami ilmu ini, setidaknya ada dua unsur yang paling berperan aktif. Kedua unsur ini akan menentukan sejauh mana ilmu tersebut ditransfer dengan baik, dan diterima pula dengan baik. 

Sehingga interaksi antar unsur ini dapat dibilang menjadi faktor utama dalam proses pembelajaran. Di lingkungan pesantren yaitu antara Kyai dan Santri, sementara di dunia kampus antara Dosen dan Mahasiswa.

Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam selalu berusaha mendidik para santrinya agar kualitas pendidikan keagamaan dan ilmu pengetahuannya dapat diandalkan. Maka dalam upaya tersebut ponpes dalam mengajarkan Kitab Kuning menggunakan beberapa metode. Seperti Sorogan, Wetonan, Bandongan, Mudzakarah,dan Majlis Ta'lim. 

Metode-metode tersebut pernah saya rasakan langsung dalam proses pembelajaran di lingkungan Ponpes Mahasiswa Miftahul Khoir, Bandung. Dan yang paling sering digunakan yaitu metode Sorogan dan Bandongan. Sorogan boleh dibilang metode setoran, yaitu santri membaca suatu kitab atau menghafal suatu surat/isi dalam kitab tersebut di hadapan kyai. 

Dan jika salah maka sang kyai akan langsung membenarkannya. Sementara bandongan merupakan metode yang kyainya membaca suatu kitab, lalu santri memberi tanda dari struktur kata atau kalimat yang dibaca oleh kyai atau yang lebih sering saya sebut ngelugot. Sistem soroganterbukti sangat efektif sebagai taraf pertama bagi seorang murid yang bercita-cita menjadi seorang alim. 

Sistem ini memungkinkan seorang guru mengawasi, membimbing, dan menilai secara maksimal kemampuan seorang murid dalam menguasai suatu fan ilmu. Di samping itu metode ini bisa dijadikan sebagai salah satu tolak ukur dari keberhasilan pendidikan pengajaran di pesantren.

Selain dengan menggunakan metode-metode tersebut, ada dua lagi metode atau kegiatan yang sering digunakan oleh santri yang lebih bersifat batiniah. Untuk mempermudah dalam memahami suatu ilmu, santri memiliki kepercayaan untuk melakukan personal riyadhoh (olah jiwa/tirakat). 

Sedangkan kegiatan yang lainnya yaitu kepercayaan santri akan konsep ngalapbarokah, bahwa untuk mendapatkan berkah dari Tuhan dapat melalaui perantara-perantara melalui orang-orang saleh seperti Kyai atau Guru. 

Para kyai atau guru dengan kelebihan pengetahuannya dalam Islam, seringkali dilihat sebagai orang yang senantiasa dapat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam, hingga dengan demikian mereka dianggap memiliki kedudukan yang tak terjangkau, terutama oleh kebanyakan orang awam.

Dalam kitab "Ta'limul Muta'allim" karangan Syeikh Az-Zarnuji adalah salah satu kitab dari sekian banyak kitab yang mempengaruhi hubungan kyai-santri. Tidak diragukan lagi bahwa setiap santri diharapkan memenuhi tuntunan kitab itu dalam sikapnya terhadap kyai. 

Dalam kitab tersebut salah satu isinya yaitu cara-cara menghormati guru, seperti hendaknya jangan berjalan dan duduk di depannya atau membelakanginya.

Lalu mari kita bandingkan dengan epistemlogi di dunia kampus. Sebagai dunia pendidikan yang tergolong modern, maka cara-cara belajar atau untuk memahami suatu ilmu seperti para santri di atas, sangat jarang dijumpai di dunia kampus atau bahkan tidak ada. 

Metode belajar yang sering kali kita jumpai di kampus yaitu di antaranya mendengarkan dan mencatat uraian dosen, mengamati video, bertanya jawab dengan dosen atau teman-temannya, diskusi ilmiah, membahas hasil survei/penelitian, atau membuat proyek/eksperimen. Selain itu, para dosen juga membuat kegiatan-kegiatan mahasiswa di luar perkuliahan. 

Seperti membuat makalah, mencari kasus di masyarakat, mengadakan survei/penelitian di lapangan, dan membuat proyek. Kegiatan-kegiatan di atas pada umumnya merupakan inisiasi dari dosen agar mahasiswa lebih mudah memahami suatu ilmu yang diajarkan. 

Dari kegiatan-kegiatan mahasiswa tersebut, tampak jelas ada banyak kegiatan yang dilakukan mahasiswa berbeda dengan yang dilakukan santri, dan sebaliknya. 

Setidaknya ada empat fungsi pesantren terutama sekali dalam era globalisasi ini. Yaitu pertama, pesantren sebagai lembaga dakwah. Kedua, pesantren sebagai lembaga pengkaderan ulama. Ketiga, pesantren sebagai lembaga pengembangan ilmu pengetahuan, khsusnya ilmu agama. Dan keempat, pondok pesantren sebagai lembaga pengembangan masyarakat.

Sehingga lulusan-lulusan pesantren masih menjadi harapan masyarakat sebagai penyeimbang ekosistem kehidupan bermasyarakat. Sebagai orang yang percaya akan konsep ilmu dan amal, tentu jebolan-jebolan pesantren akan berusaha sekuat mungkin akan mengamalkan ilmunya semata-mata untuk mendapatkan ridho dari Allah.

Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa antara lingkungan pesantren dan dunia kampus terdapat perbedaan. Lulusan pesantren juga pada akhirnya akan menjadi orang yang dianggap oleh masyarakat sebagai pakar agama. Yang mampu menjawab persoalan dan masalah kehidupan dunia dari perspektif agama, dengan kemumpunian ilmu yang mereka miliki. 

Selain itu, didikan disiplin yang "keras" di pesantren membuat sebagian besar santri dikenal sangat kuat,sabar, serta berakhlak mulia di mata masyarakat. Sementara jebolan kampus akan dianggap sebagai orang yang serba tahu dan serba bisa. Yang mampu memecahkan masalah dari perspektif ilmiah, dengan ilmu pengetahuan yang mereka miliki.

Pada akhirnya jika kita amati dan analisis dengan cermat. Bahwa kehadiran pondok pesantren dan perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan yang dasar dan orientasinya berbeda. Maka di antara keduanya ini, baik secara institusi maupun lulusannya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Karena ternyata mereka saling melengkapi satu sama lain dalam menjawab dan memecahkan persoalan hidup dalam kehidupan bermasyarakat. 

Oleh karena itu, saya bersyukur bisa merasakan secara bersamaan dalam menikmati peran dari kedua lembaga tersebut yaitu sebagai santri yang juga mahasiswa. Justru yang saat ini menjadi hal terpenting adalah bagaimana saya bisa memaksimalkan apa yang sudah saya dapatkan dari kedua lembaga tersebut agar kelak ketika terjun ke masyarakat dapat bermanfaat dan diterima oleh masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun