TIADA kata terlambat untuk membahas seorang penyair ini. Kami di group HMI Komfak Ekonomi UGM dulu sering mengeluarkan puisi karya beliau, pada saat "menikmati" fasilitas berupa libur nasional, yakni hari paskah. Puisinya memang pas meramu antara tragi komedi, mungkin bisa diibaratkan getir diiringi menetesnya air mata -dan juga senyum simpul kelucuan. Unik,
Orang tersebut adalah Jok Pin (62 tahun). Sastrawan dan penyair terkenal Indonesia, bernama lengkap: Philipus Joko Pinurbo pada hari Sabtu Wage tanggal 27 April di pagi hari -menghembuskan nafas terakhirnya di kediaman pribadi di daerah atau provinsi DIY.
Yoseph Yapi Taum di harian KOMPAS Minggu 28 April 2024 menulis tentang almarhum Jokpin. Katanya, "Kesederhanaannya dalam memilih kata dan tema sesungguhnya membungkus kegelisahan eksistensialnya yang mendalam tentang kehidupan, yang dalam pandangan penyair merupakan saudara kembar dari kematian. Kegelisahan eksistensial yang mewarnai hampir semua karyanya inilah yang membedakan Jokpin dari penyair lainnya di Indonesia".
Masih menurut Yoseph Yapi Taum: Inti sari proses kreatif Joko Pinurbo dapat kita tangkap pada kedalaman kontemplasi di dalam karya-karyanya.
Kehadiran Jokpin dalam jagat perpuisian Indonesia diawali dengan humor-humor yang ringan menggelitik tentang tubuh dan aksesori yang dikenakan tubuh (sarung, celana, dan jeans).
Dua antologi puisinya yang pertama, Celana (1999) dan "Di Bawah Kibaran Sarung" (2001) sangat kental berisi puisi-puisi yang memuat obsesi penyair tentang tubuh dan aksesori tubuh itu.
Dalam kata pengantar untuk kumpulan "Di Bawah Kibaran Sarung" (2001) seorang Ignas Kleden menulis bahwasanya pada diri Jokpin: badan mendapat sorotan utama, diselidiki dengan renungan yang intens dan diberi peran ganda, baik sebagai penanda maupun sebagai petanda. Kleden melihat seonggok "tubuh" bagi Jokpin bukan sekadar setting atau medium, melainkan juga message itu sendiri. Tubuh membawa pesan eksistensial tentang kehidupan sekaligus kematian.
Mungkin pada judul puisi yang berkisar CELANA itulah yang menginspirasi thread facebook dari kakanda Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migran (beliau ini adik "sang aktifis (penyair juga) yang hilang tahun 98" yaitu Wiji Thukul). Tulis mister Wahyu Susilo, "Mas Joko Pinurbo, kenakan celanamu yang pas, bergegaslah ke Surga. Tuhan menunggu puisimu".
Selain itu seorang Butet Kertaradjasa juga mengakui kehilangan sosok Jokpin sebagai penyair yang agamis dan pencipta syair puisi yang luar biasa. JokPin diakui Butet sebagai penyair hebat, latar belakang sekolahnya di seminari calon romo.
"Saya sering mengolok dia itu dengan sebutan komando pastor gagal total (Kopasgat). Semua puisi yang diciptakan adalah refleksi religius dari keimanan dia," kata Butet Kartaredjasa di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat mengutip beritasatu.com di Jakarta, Sabtu (27/4).
Lalu Bagaimana dengan Saya?