Mohon tunggu...
Yuniandono Achmad
Yuniandono Achmad Mohon Tunggu... Dosen - Dreams dan Dare (to) Die

Cita-cita dan harapan, itu yang membuat hidup sampai saat ini

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Beckenbauer adalah Kita

10 Januari 2024   01:06 Diperbarui: 10 Januari 2024   16:44 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Legenda sepak bola Jerman Franz Beckenbauer meninggal pada usia 78 tahun di hari Senin (8/1/2024). Foto: AFP/CHRISTOF STACHE via KOMPAS.com

DARI almarhum Beckenbauer inilah saya jadi tahu bahwa sepakbola itu permainan rumit. Hal tersebut diungkap misalnya dari kolom versi Rob Hughes, yang tulisannya sering diterjemahkan oleh tabloid Bola era 90an dulu. 

Waktu final piala dunia 1986, terjadi Jerman vs Argentina, pelatih FRANZ BECKENBAUER memainkan pola antar blok yang rapat. Kurang tahu bahasa Inggrisnya, tapi editor Bola menerjemahkannya menjadi "pola antar blok yang rapat". Banyak pengamat bilang, andai masa-masa injury time ditambah lagi, Jerman bisa saja menyamakan kedudukan 3-3.

Pola blok rapat versi Beckenbauer saat itu mampu mendominasi di babak kedua. Dari ketinggalan 0-2 menjadi sama skor 2-2 buat Jerman Barat (Jerbar). 

Namun karena kipper Schumacher terlalu maju ke depan, gawang kosong, dan ada salah satu striker Argentina (yang jelas bukan Maradona) melesakkan ke gawang.

Skor 3-2 untuk Argentina. Mungkin kalau waktu tambah sedikit, barangkali 5 (lima) menit saja, Jerbar bisa memasukkan gol lagi, dan DerPanzer melalui "staying power"-nya akan memenangkan pertarungan di 30 menit tambahannya.

Salah satu "kepiawaian" Beckenbauer yang lain saat menjadi coach Jerbar di piala dunia 1986 itu adalah melihat siapa saja lawan-lawan berikutnya. 

Ada pertanyaa, mengapa Karl Heinz Rummenigge tidak diturunkan dari awal ketika melawan dinamit Denmark di penyisihan grup? 

Komentator bilang, biar Jerman cukup menjadi runner up di grup, dan akan ketemu lawan lebih ringan pada babak 16 besar dan seterusnya. 

Salah satunya memiih ketemu tuan rumah Meksiko. Ketimbang di sisi drawing lainnya yang akan ketemu Argentina, Spanyol, Inggris, dan Belgia. Dan memang jerman bisa melaju ke final, hanya bertemu lawan berat di semifinal yaitu juara Eropa 84 Prancis (kapten: Platini) yang bisa dilumat pasukan asuhan Der Kaiser ini.

Berikutnya  tahun 1988, Jerman menjadi tuan rumah piala Eropa, partai semifinal melawan Belanda. Taktik Beckenbauer cukup berjalan bagus, namun menjelang akhir babak kedua, pelatih belanda Rinus Michel menyuruh pemain-pemainnya untuk memancing pemain tengah Jerman (kalau tidak Lothar Matheus atau Andreas Brehme atau malah kedunya) untuk terlalu maju dalam membantu serangan jerman. 

Malapetaka datang saat striker murni Van Basten memanfaatkan satusatunya kesempatan -yang ditopang oleh Gullit dan Rijkaard. Gol untuk Hollanda 2-1 menjelang menit ke-90.

Tahun 1990 lagi lagi tim Jerman (namanya bukan Jerman lagi, tapi "satu" Jerman) ketemu Belanda di babak 16 besar. Beckenbauer layaknya Kresna di dunia pewayangan. 

Kresna yang mengorbankan Gatutkaca untuk mati di tangan senjata cakra milik adipati Karna. Rudi Voeller disuruhnya memanasmanasi Frank Rijkaard agar tersulut emosinya. 

Terjadilah adegan "buang ludah" Rijkaard ke rambut Rudi. Voeller kena kartu merah, Rijkaard juga kena (tim Belanda patut bersyukur karena penjaga gawang Hans van Breukelen tidak dikartu). 

Trisula tim oranye --yaitu Gullit, Van basten dan Fikjaard--tidak lagi bertaji karena hilang salah satu punggawanya. Jerman memimpin 2-0 sampai kemudian tim total football mendapatkan penalti di menit terakhir. 

Tendangan Ronald Koeman menjebol gawang Bodo Ilnerr, menipiskan kekalahan menjadi 1-2. Tapi hanya berselang sesaat, wasit meniup peluit akhir pertandingan, Jerman melaju ke perempat final.

Meski juara, bisa jadi partai final World Cup 1990 antara Jerman melawan Argentina adalah pertandingan terburuk sepanjang sejarah final piala dunia. Hanya satu gol, dan itupun melalui titik penalti. 

Mengapa Beckbenbauer menyuruh Andreas Brehme saja yang menendang, bukan Matheus sang kapten? Padahal -konon katanya, dua penendang terkeras alias terkencang di dunia tahun 1990 adalah Koeman (Netherland) dan Lothar Matheus. Coach Franz melihat di sisi tim Tango mereka punya kiper penjinak penalti, Goycochea.

Sementara si Brehme ini punya keahlian menempatkan bola pada titik terjauh kiper -seperti saat golnya lawan Belanda (kiper Van Brekeleun). Padahal tendangan Brehme tergolong tidak kencang.

Andreas Brehme menendang dari titik 12 pas di partai final tersebut. Gooolll. Padahal kiper Argentina sudah antisipasi sangat bagus, tepat arahnya. Mengutip ulasan komentator (mungkin Bola juga saat itu), tipisnya tendangan Brehma dari sudut kanan kiper itu nyaris setipis helai rambut. Mepet dan rapat ke tiang gawang.

Tahun-tahun berikutnya pola blok yang rapat ini dikembangkan coach Arrigo Sachi saat menukangi Italia piala dunia 1994. Namanya corto stretto alias pendek merapat. 

Pemain italia disuruh berkutat di lapangan tengah, karena kebanyakan memang bola berada di sana. Agak-agak pakai perhitungan statistika juga ini taktik, mungkin kayak "central limit theorem". Namun begitu lawan memegang bola, kudu ada 2 (dua) pemain itali yang menghadang. CMIIW.

Corto stratto ini dipakai PSSI di bawah asuhan pelatih Danurwindo saat main di Piala Asia 1996. Lumayan, kita mampu menahan Kuwait 2-2 -padahal kita unggul 2-0 terlebih dahulu. Kemudian PSSI "hanya" kalah 2-4 lawan Korea Selatan (tiga gol Korea babak pertama, dua gol dari kita pada babak kedua).

Dalam konteks keindonesiaan yang kita miliki, apakah pengaruh pola blok ala Beckenbauer (almarhum) terhadap strategi sepak bola yang cocok untuk wong pribumi? Mungkin tidak secara langsung. Tapi Danurwindo di tahun 1996 berupaya mengadopsi corto stratto sebagai pengembangan pola blok yang rapat. 

Asumsi bahwa pemain kita--dan Asia Tenggara pada umumnya--jauh lebih pendek disbanding ras kuning dan timur tengah. Beckenbauer adalah kita, atau sebaiknya kita seperti dia. Beckenbauer berinovasi menemukan racikan pola yang tepat, bahkan ketika dia masih aktif bermain. 

Konsep libero yang menggelandang bebas, ke sana kemari, serta menginisiasi penyerangan (sebagai playmaker dari pemain bek/back) titik tonggaknya ya dari Beckenbauer ini. Sehingga tidak berlebihan kalau dikatakan, sepakbola Brasil menyumbang seorang Pele ke dunia, sepakbola Argentina sumbangkan Maradona, maka Jerman adalah Beckenbauer.

Beckenbauer adalah kita, atau tirulah dia. Melatih sejak piala dunia 1986, "hanya" sebagai runner up, kemudian semifinalis saat Euro 88, dan akhirnya juara 1990. Sabar menunggu selama 4 (empat) tahun.

Beckenbauer lengkap sebagai pemain pemegang juara dunia 1974, dan pelatih juara dunia 1990. Setelah mengantar Jerman menjadi juara dunia, Beckenbauer legowo untuk memberi mandat manajer PSSI-nya Jerman ke orang lain. Beckenbauer kembali ke klub, menjadi salahsatu Direktur di Bayern. Tidak lagi cawe-cawe ke timnas.

Cocokkah taktik Beckenbauer ini ke kita? Kolumnis olahraga almarhum Sumohadi Marsis pernah menanyakan hal ini kepada salah seorang pelatih negara juara dunia (cuman lupa saya siapa orangnya). 

Kurang lebih, "Sir, pola sepakbola apa yang cocok untuk tim Asia Tenggara?" Dijawab: 1-10. Tentunya jawaban bernada jokes, tapi bisa jadi benar. So bukan 4-3-3 atau 3-5-2 akan tetapi ....1-10.

Tahun 1987 coach Sartono Anwar mengarahkan PSIS untuk memakai gaya "coming from behind". PSIS Semarang jadi juara perserikatan saat itu. Mengadaptasi pola permainan Inggris, namun disesuaikan dengan fisik pemain kita yang tinggi badan saat itu mungkin rata-rata 170 cm. Sumohadi Marsis menyebut pola coming from behind ala-ala Sartono ini dengan gaya "Semarangan".

Bulan depan, PSSI akan melakoni piala asia 2024 di Qatar. Para pemain naturalisasi mampu mendongkrak rata-rata tinggi pemain kita menjadi 179,7 cm (meski PSSI bisa saja berkilah: Kami cuman pake 8 pemain, hLa itu Malaysia pake 14 orang hahaha). 

Bisa jadi tiki taka Barcelona yang diadaptasi tim negeri Gajah Putih menjadi "tik tok Thailand" merupakan salah satu alternatif pilihan. Atau perang gerilya (total football?). atau malah balik lagi ke "pendek merapat", atau serangan balik. Kita lihat bagaimana racikan coach Shin Tae Yong nanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun