Judul selengkapnya artikel ini adalah: Mengapa momen Presiden Joko Widodo menjamu atau menerima Perdana Menteri (PM) Australia, Antony Albanese, lebih viral dibandingkan dengan peristiwa jamuan pemimpin negara lainnya? Pembaca kompasiana yang budiman, sejak bulan April 2022 Presiden Jokowi menerima ketibaan para pemimpin dunia, dan semua dijamu di istana Bogor.
Dalam catatan saya beberapa momen jamuan tersebut, terutama di tahun 2022, adalah sebagai berikut.
Pertama pada akhir Maret 2022 yaitu tanggal 31, Presiden Jokowi menyambut kedatangan PM Papua Nugini, James Marape. Kedua di bulan April, tepatnya tanggal 29, di Istana Bogor menerima kunjungan resmi Perdana Menteri Jepang Kishida Fumio.Â
Ketiga di hari Senin, 6 Juni 2022, Presiden Joko Widodo menerima kunjungan kenegaraan Perdana Menteri Australia Anthony Albanese di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat. Keempat bulan Juni, tanggal 16, Istana Bogor menerima kunjungan Presiden Republik Federal Jerman, Frank-Walter Steinmeier. Kelima, Presiden Joko Widodo menerima kunjungan kehormatan Presiden Timor Leste Jose Ramos Horta di Istana Bogor, Selasa 19 Juli 2022 pagi.
Dengan metode komparatif -atau membandingbandingkan- saya melihat berita di media sosial, laman internet, dan berita di koran. Gambar presiden Jokowi dengan PM Australia mister Albanese lebih jadi headline, yaitu momen mereka berdua mengendarai sepeda kayuh dari bambu.
Pengetahuan saya di bidang khasanah diplomasi atau hubungan internasional tentunya terbatas. Namun dari surfing media terutama mengoogling pengetahuan diplomasi kontemporer saya mendapat satu kata kunci, yaitu "entertaint diplomacy" atau diplomasi yang menghibur.
Momen Jokowi -- Albanese memenuhi kriteria entertaint diplomacy tersebut. Terutama saat Jokowi dan Albanese menaiki sepeda kayuh dari bambu.
Pertistiwa tersebut memenuhi kriteria soft power, public diplomacy, dan nation branding. Dalam sebuah kompetisi internasional antara negara dewasa ini, kekuatan yang lunak atau soft power akan lebih mengemuka.Â
Naik sepeda antara kedua pemimpin dunia merupakan pengejawantahan diplomasi publik bahwa keduanya adalah orang biasa yang hobi bersepeda. Indonesia juga mencoba mengintervensi budaya popular -ketika masa pandemi banyak orang gemar sepedaan- dengan memasukkan produk lokal yakni sepeda bambu. Itulah nation branding yang barangkali hanya ada di bumi pertiwi.
Memang terjadi evolusi kebijakan luar negeri dan lebih khusus lagi peran dan tipe perangkat lunak non-negara. Kebijakan tersebut menjadi karakteristik diplomasi pada abad kedua puluh satu. Intinya upaya promosi kepentingan keamanan nasional dengan berfokus pada 3 (tiga) konsep: soft power, diplomasi publik, dan nation branding.Â
Diplomasi lunak berciri pada budaya pop (hiburan, olahraga, infotainment, tradisi nasional, dan selebriti) untuk mempromosikan citra suatu negara dengan menyelaraskannya agar sesuai tujuan kebijakan luar negeri. Perihal entertaint atau hiburan menjadi bagian penting dari diplomasi publik negara mana pun, yang awalnya dimulai dari kemunculan televisi.Â
Di Amerika Serikat, hiburan sebagai fenomena budaya telah muncul sebagai alat yang disukai dalam branding bangsa AS, yang melibatkan semua aktor swasta yang bertanggung jawab untuk mempromosikan citra "merek Amerika". Selain itu diplomasi publik membutuhkan partisipasi aktor institusional.
Tentunya memang sebuah langkah brilian pak Jokowi mengajak PM Albanese bersepeda mengelilingi kebon raya Bogor. Itulah entertaint diplomacy. Media sangat terhibur dan banyak yang meletakkan foto bersepeda itu di halaman satu.
Jadi ingat dulu era presiden SBY, suatu saat pak Wakil Seskab (maksudnya Wakil Menteri Sekretaris Kabinet) di sebuah forum rapat mengeluhkan mengapa pada pertemuan pak SBY menerima tamu negara kebanyakan tidak dimuat oleh media mainstream.Â
Bisa karena kurangnya entertaint diplomacy tersebut. Akhirnya pihak istana waktu itu membuat media sendiri yakni Jurnal Nasional atau jurnas. Ingatan saya bisa jadi salah, tapi setahuku dikomandoi oleh bung Gita Wiryawan. Media semacam Jurnas ini yang meliput penuh akan aktifitas presiden saat itu.
Perihal entertaint diplomacy juga barangkali yang membuat berita kenegaraan Jokowi lainnya tergolong tenggelam. Berita tentang sepedaan dengan PM Australia ini jauh lebih viral dibandingkan dengan kedatangan Presiden Jerman, PM Papua Nugini, PM Jepang dan Presiden Timor Leste.
Selama ini dalam menyambut tamu negara, pihak istana menyiapkan paket atau urutan acara adalah kedua pemimpin negara saling bersalaman ketika sang tamu pertama kali menginjakkan kaki di Istana Bogor, disambut tentara dan sekumpulan anak-anak memakai baju adat.Â
Kemudian mereka melihat rusa, selanjutnya melakukan penanaman pohon, lalu jamuan minum teh dan bergabung dengan para menterinya untuk rapat, terakhir ditutup dengan pernyataan pers -atau berpidato di depan para wartawan.
Memang tidak semua pemimpin negara mau atau berkenan untuk naik sepeda, tetapi ada beberapa celah untuk kemudian membuatnya menjadi lebih menarik di media.
Tahun 2011 PM Inggris David Cameron menjamu Presiden AS Barrack Obama dengan bermain ping pong atau tenis meja di sebuah sekolah di London selatan. Pada tahun 2016 PM Cameron masih yang menjamu Presiden Obama dengan bermain golf di London utara.Â
Terkait mengajak tamunya berolahraga semacam itu, Presiden Jokowi juga bermain bulutangkis dengan Sultan Brunei Hassanal Bolkiah di GOR Ahmad Yani di kompleks Mabes TNI di bulan Mei 2018.
Peristiwa lainnya misal pada tahun 2015 Presiden Joko Widodo mengajak Perdana Menteri Australia sebelum mr Albanesse, yaitu pak Malcom Turnbull untuk blusukan ke Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. PM Australia sempat mengajak Jokowi selfie di depan pusat perdagangan tekstil terbesar seasia tenggara itu. Presiden Joko Widodo yang pernah mengajak Presiden Korea Selatan Moon Jae In untuk membeli batik di BTM atau Bogor Trade Mall, pada bulan November 2017.
Apa alternatif lainnya bagi Presiden Jokowi untuk diplomasi yang menghibur? Mungkin presiden bisa mengajak pemimpin dunia itu menyaksikan rusa-rusa di Istana Bogor dengan mempergunakan keker atau teropong (binocular) buatan PT Pindad. Wartawan akan menge-shoot momen ketika tamu negara memegang keker, lalu pak Jokowi menunjuk ke sekumpulan rusa, kemudian menjelaskan tentang totol-totol kijang tersebut. Bisa juga dibuat momentum lain misalnya pak Jokowi mengajak sang tamu berkeliling istana Bogor dengan mobil golf yang made in Indonesia.Â
Berkeliling memakai mobil begitu itu mirip-mirip dengan kejadian dulu tahun 2019. Di bulan Agustus 2019 PM Mahatir Muhammad (Malaysia) menyopiri pak Jokowi dengan mobilnya merk Proton Persona. Sekalian promosi bahwa ini mobil bikinan tuan dan puan negeri jiran, barangkali demikian.
Menurut saya memang di era pak Jokowi ini diplomasi menyambut tamu negara lebih bervariasi. Tidak hanya formalitas semata. Tentunya kreatifitas dari para staf beliau yang meng-arrange acara sehingga lebih menarik bagi publik. Kalau melihat tapakan sejarah para presiden terkait diplomasi atau politik luar negeri, ada beberapa garis atau benang merah yang menarik.
Sewaktu presiden Sukarno, pernah ada foto, Bung Karno (mungkin dengan Joseph Bros Tito atau siapa gitu) saling memantikkan korek ke rokok -atau cerutu Kubanya- dengan beberapa pemimpin negara lain. Sedang di era Orba, presiden Soeharto pernah mengajak kanselir Jerman Helmut Kohl memancing di kepulauan Seribu. Kemudian para tamu diberi seragam batik ketika Bogor menjadi tuan rumah kerjasama Asia Pasifik. Meski pernah ada kejadian kurang apik saat itu.Â
Yaitu ketika pak Harto memimpin jumpa pers saat penutupan forum kerjasama APEC tahun 1994 di Bogor. Pak Harto berdiri di tengah, para pemimpin dunia di samping-samping. Ada datuk Mahathir Muhammad, lalu Bill Clinton yang memakai batik dan celana pantalon coklat. Saat sesi tanya jawab ada wartawan luar negeri nyelonong bertanya. Wartawan itu menanyakan bagaimana sikap Indonesia terkait Timor Timur. Pak Harto tidak menjawab pertanyaan tersebut.
Saat Presiden Habibie mungkin tidak ada yang spesial, atau barangkali karena periodenya yang singkat.Â
Namun ketika Prof Habibie menjadi Menteri, ada keunikan ketika menerima tamu dan rapat -di mejanya berjajar pesawat yang banyak dan memenuhi meja pertemuan itu. Lalu era Gus Dur bisa disebut "laugh diplomacy" yaitu kemampuan verbal Gus Dur dalam membuat tamu-tamunya untuk tertawa.
Era bu Mega sebagai presiden juga tidak ada yang spesal, yang paling sering adalah menyalakan atau membunyikan meriam dalam menyambut tamu. Sering terjadi mobil-mobil di stasiun Gambir sampai alarmnya berbunyi ketika meriam disulut dan bertalu-talu bunyinya.Â
Presiden Megawati dan penggantinya yaitu Bapak SBY cenderung mengutamakan formalitas dalam menyambut tamu negara. Meskipun sesekali pernah sih pak SBY keluar dari kotak formalitas atau out of the boxes itu. Zaman pak SBY pernah beliau memetik gitar sambal menyanyikan lagu ulang tahun saat Putin (Rusia) ke Indonesia dan bertepatan tanggal lahirnya. Atau pernah ketika meet up dengan PM Malaysia Pak Lah (cik Abdullah) bertempat di Istana Bukittinggi, pak Lah-lah yang mencoba membuat jokes, "Sepertinya jas kita sama". Semua tertawa, dan hal itu malah jadi sorotan media alias dimuat di koran, salah satunya Kompas.Â
Sekian, semoga muncul kreatifitas lain lagi dalam menunjang entertaint diplomacy era pak Jokowi. Juga presiden RI era nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H