Saya jadi teringat tabloid Bola yang sudah almarhum (tutup tahun 2018). Mungkin tahun 94-an saya baca tulisan itu. Antara yang mengatakan Camilla Martin pemain Denmark itu, atau malah omma Gillian Clark (pasangan Gillian Gowers dari Inggris). Pemain dari benua Eropa tersebut bilang, "Hanya di Senayan, yang namanya shuttlecock bisa berbunyi .....".
Pernah suatu saat final Indonesia Open mempertemukan Susy Susanti melawan Ye Zhaoying (China). Saat bola dipukul Susy, penonton bilang "Haaa ...." ketika gantian Ye Zhaoying yang memukul, penonton teriak "Huuu ....". Lalu ketika Susy mendapat poin -yang artinya Ye mati langkah- penonton teriak: Yaaaa. Apalagi pertandingan Susy lawan Ye biasanya dilalui dengan reli-reli panjang. Sehingga penonton sempat untuk jeda sejenak sambil tarik nafas dan berteriak Huu dan Haa kembali. Uniknya, Ye Zhaoying sampai berhenti sesaat buat ...tertawa. Mungkin memang dia merasa geli, setiap pukulan diteriakin, dan ketika dirinya yang kalah poin -diakhiri dengan: Yaaa.
Di turnamen yang berlangsung berturut-turut dua pekan ini, Indonesia Master dan Indonesia Open, lihatlah itu bagaimana seorang Loh Kean Yew (Singapore) dan juga Chou Tien Chien (Taiwan) demikian menikmati teriakan penonton tersebut. Sehingga ketika pemanasan, seakan-akan memukul bola bayangan, dan penonton meneriakinya: Eaa Eaa. Ketika mereka pemanasan sambil meloncat-loncat, penonton pun teriak, "Eeaa eeaa".
Lalu di partai final, pemain sekaliber Choi Sol Gyu (yang kali ini berpasangan dengan Kin Won Ho -putra sang legenda Korea, Gil Young Ah) mungkin juga merasa kikuk, saat memainkan atau memutar mutar raket sebelum dia pukul sebagai service, penonton mengiringinya dengan, "Eeee" lalu pas dipukul dengan "aaaa".
Sang raksasa dari Odense pun, Victor Axellsen, juga sangat amat girangnya, sehingga saat partai semifinal dan final, melemparkan raket sebagai hadiah ke arah penonton Istora. Memang kegairahan bulutangkis itu ada di sini. Di Istora atau di "istana olah raga" ini. Pemain sekelas Anders Antonsen (Denmark) juga meng-upload di media sosial pribadinya soal histeria penonton senayan itu.
Penonton istora ini jelas beda banget misalnya dengan para penonton All England. Di turnamen tersebut, suara dentingan raket ketemu shuttlecock masih bisa terdengar. Soalnya penonton diam. Barangkali berbisik pun dilarang. Di sini, wasit harus mengulangi beberapa kali saat memanggil pemain, untuk sekedar menegur agar bergegas siap melakukan dan/ atau menerima service, atau memperingatkan agar tidak memprotes keputusan hakim (umpire) di dekat net.
Namun pentonton istora juga pernah jahat. Tidak ke pemain asing, malah ke pemain sendiri. Seingat saya Icuk Sugiarto yang pernah diteriakin "Huuu" yang panjang dari penonton. Mungkin penonton kesal. Salah satunya ketika Icuk bermain kurang bagus kala melawan Yang Yang (CHN) di final piala Thomas 1986. Atau juga barangkali saat semifinal kejuaraan dunia tahun 1989, masih Icuk lawan Yang Yang. Kedua pertandingan tersebut diselenggarakan di istora.
Melihat ramai dan berisiknya penonton istora, mungkin saat ini Indonesia bisa disebut sebagai negara pecinta bulutangkis nomor satu di dunia. Kata "badminton" merupakan nama desa di Inggris. Kalau mereka punya desa Badminton, barangkali district atau kabupaten bulutangkis adalah kita. Siapa kita? Ya, Indonesia.
Sebenarnya tidak hanya dari antusiasme penonton, bahkan dari segi permainan, hasil Thomas Cup 2021 lalu, ditambah emas Olympic Tokyo dari Greysia Polii/ Apriyani Rahayu semakin mengukuhkan predikat negeri bulutangkis bagi republik ini.
Makanya dulu ada pengurus PBSI bernama bapak Tintus Kurniadi pernah mengusulkan agar bulutangkis memang menjadi olahraga trademark kita. Kalau perlu -masih kata beliau- hiasan di maskapai Garuda Indonesia adalah shuttlecock. Kalau mengutip istilah pak Bambang Ismawan (Bina Swadaya) bila negara lain mengucap mereka adalah motherland, maka kitalah fatherland-nya. Ya, the fatherland of badminton.
Situasi kondusif ini harus dijaga. Harus dipertahankan.
Melihat animo penonton yang demikian besar -tampak dari Ina Master dan Ina Open kali ini- maka 3 (tiga) hal yang perlu kita giatkan, menurut hemat saya. Pertama perbanyak turnamen individu. Baik turnamen sirkuit nasional atau turnamen satelit (tipe kecil) yang level dunia. Kedua perbanyak turnamen beregu, terutama antar klub. Selama pandemi ini turnamen antara klub sepertinya berhenti. Perlu untuk dibuka Kembali dan perlu dipikirkan misalnya kompetisi penuh klub bulutangkis.
Terakhir yang ketiga, tawarkan Nusantara untuk menjadi tuan rumah Sudirman Cup.
Untuk point terakhir ini rasanya begitu lama kita tidak pernah juara Sudirman Cup. Begitu lama kita tidak jadi host piala Sudirman. Tahun depan ada kejuaraan Sudirman yang menandai 34 tahun usia turnamen beregu campuran ini. Artinya sudah 33 tahun kita menunggu piala ini ke bumi pertiwi. Kejuaraan Sudirman Cup tahun 1991 berlangsung di Kopenhagen (Denmark), tahun 1993 di Birmingham (Inggris), 1995 di Lausanne (Swiss), 1997 di Glasgow (Skotlandia), 1999 di Kopenhagen (Denmark), 2001 di Sevilla (Spanyol), 2003 di Eindhoven (Belanda), 2005 di Beijing (China), 2007 di Glasgow (Skotlandia), 2009 di Guangzhou (Tiongkok), 2011 di Qingdao (Tiongkok), 2013 di Kuala Lumpur (Malaysia), 2015 di Dongguan (Tiongkok), 2017 di Gold Coast (Australia), 2019 di Nanning (Tiongkok), dan 2021 di Vantaa (Finlandia). Untuk tahun 2023 nanti akan dilangsungkan di Suzhou (Tiongkok). Bahkan untuk tahun 2025-2029 pun sudah ditentukan tuan rumah Sudirman Cup ini.
Sekali lagi kegairahan bulutangkis muncul di sini. Tinggal kita yang harus cerdas untuk mengelola pasar yang sudah terbentuk. Sektor swasta tentunya akan sangat antusias menyambut event yang mampu menyedot ribuan penonton untuk berbondong-bondong ke istora. Perlu diadakan turnamen yang rutin. Misalnya belum ada level turnamen dunia antar klub yang beregu. Tidak ada yang salah untuk mencobanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H