Mohon tunggu...
Yuniandono Achmad
Yuniandono Achmad Mohon Tunggu... Dosen - Dreams dan Dare (to) Die

Cita-cita dan harapan, itu yang membuat hidup sampai saat ini

Selanjutnya

Tutup

Raket Pilihan

Partai "Phantom Badminton" dan Matinya Gaya Bertahan

23 April 2020   06:34 Diperbarui: 23 April 2020   06:42 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak Icuk -yaitu Tommy Sugiarto- sedang berlaga. Sumber gambar: kompas.com

Sudah sepekan ini Federasi Bulutangkis Dunia atau BWF (Badminton World Federation) menayangkan video klasik bulutangkis atau pertandingan-pertandingan legendaris. Saya yakin itu dalam rangka memanjakan fans badminton yang sedang #stayAtHome. 

Walaupun pertandingan lama alias zaman Old, tetapi oleh BWF diformat tayangannya secara live. Saya menengok laman mereka --yang diberi judul "total recall BWF" di youtube- sudah ada 12 video jangka waktu 6 (enam) hari. Sehingga rata-rata terdapat 2 (dua) kali pertandingan dalam sehari.

Kemarin Selasa (21 April 2020) saya tunggu tayangan pertama di hari itu, yang katanya live jam 18.00 WIB. Keluarlah partai klasik nan menawan "all Indonesian final" di kejuaran dunia 1983 bertempat di Kopenhagen, Denmark. Pertandingan antara Liem Swie King dan Icuk Sugiarto. Pertandingan yang dulu oleh wartawan Eropah disebut sebagai "Phantom badminton".

Kalau kita baca buku biografi Liem Swie King (buku "Panggil Aku King" yang ditulis oleh wartawan Kompas), pertandingan tersebut dibahas sampai berhari-hari di media Eropa. Istilah "phantom badminton" yang beredar di Eropa, sering diulang ulang oleh wartawan Suara Merdeka dari Semarang), yakni Amirmachmud NS.

Menariknya dari partai itu adalah pertandingannya mewakili 2 (dua) madzhab yang amat kontras. Yakni antara gaya defensif dan gaya offensive atau agresif. Liem Swie King, saat itu berusia 25 tahun, merupakan peletak dasar smes efektif/ efisien, mewakili kubu penyerang. Sedangkan Icuk Sugiarto yang bermain rally, merupakan tipe pemain bertahan. King bermain lebih banyak di udara, dengan lompatan khasnya, yang berusaha menjemput shuttlecock sebelum dia posisi jatuh atau turun. Sedangkan Icuk bermain agar bola tidak terlalu jatuh ke tanah (karpet pertandingan).

King memiliki smash yang konon katanya melebihi kecepatan suara. Saking keras dan demikian populernya King's Smas itu, kubu bulutangkis Tiongkok pernah mempelajari cara King melakukan smash. Sementara Icuk dikenal memiliki kelenturan tubuh yang luar biasa (mampu menekuk punggung sekitar 90 derajat) sehingga memukul bola yang hanya berjarak meter dari bawah dengan mempergunakan lob atau overhead.

Pertandingan bulan Mei 1983 tersebut masih memakai skor lama (game 15, best of three, deuce at 13 and 14) dan berlangsung selama 1  jam. Icuk, yang saat itu berusia 20 tahun, menjadi juara dunia termuda yang rekornya masih dipegang sampai saat ini. Icuk mampu mengalahkan King yang usia enam tahun lebih tua melalui pertarungan rubber set. Padahal King jelas lebih dijagokan mengingat dalam puncak karier dan dikenal juga memiliki stamina prima (ada yang membandinkan VO2max King setara petinju Muhammad Ali), dibanding Icuk yang dianggap masih masih bau kencur.

Pada tahun 1984, King masih mampu bermain 2 (dua) kali dalam turnamen Thomas Cup di Kuala Lumpur, yang membawa Indonesia juara. Sampai dengan Thomas tahun 1986 pun King masih merangkap --meski PBSI hanya menjadi juara dua saat itu. Pertemuan Icuk dan King sesudah itu pernah terjadi di PON 1985. King yang mewakili provinsi Jawa Tengah mampu mengalahkan Icuk Sugiarto (DKI Jakarta).

Kemenangan di kejuaraan dunia 1983 mengindikasikan berjayanya faham defensive terhadap offensive. Waktu itu kejuaraan dunia dilaksanakan dua tahunan. Sesudah 1983, pada tahun 1985 juara dunia diraih oleh Han Jian yang bermadzhab bertahan, mengalahkan pemain stylish Morten Frost Hansen (Denmark), kemudian tahun 1987 diambil lagi oleh gaya menyerang --yaitu yang Yang. Perseteruan menyerang melawan bertahan masih berlanjut antara Zhao Jianhua melawan Ardy Bernardus Wiranata. 

Bagi Indonesia sendiri, baru 10 tahun semenjak 1983, akhirnya kejuaraan dunia bisa diraih Joko Suprianto melalui partai All Indonesian Final mengalahkan Hermawan Susanto pada tahun 1993. Joko dan Icuk sama sama berasal dari Solo, sementara Hermawan sendiri merupakan keponakan dari Liem Swie King.

Namun sejak tahun 2006 BWF telah memakai skor "rally point" dengan game 21, yang mematikan pemain gaya bertahan. Sekarang semua pemain bulutangkis tipe menyerang. Tidak ada lagi pemain bertahan. Terkecuali barangkali di sector ganda putra, beberapa pasangan yang tergologn gaek cenderung menerapkan gaya bertahan.

Presiden BWF sekarang (Poul Erik Hoyer Larsen dari Denmark, mantan peraih emas Olimpiade 1996) berencana memunculkan skor baru. Dengan best of five, dan gamenya cukup di angka 11. Namun skor ini saya kira tetap tidak akan memunculkan gaya permainan bertahan, karena system rally point. Terkecuali bila penghitungannya masih memakai "service over", dan/ atau di ganda mengela second server. Mungkin sistem skor yang pernah dipakai tahun 2002-2004 dapat dipertimbangkan kembali, yaitu game di angka 7, memakai best of five, dan mengenal pindah bola.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun