Sepekan yang lalu diinformasikan bahwa 3 (tiga) alumni sejarah --dari tiga kampus yang berbeda- berhasil membawa pulang keris pangeran diponegoro. Ketiganya adalah Hilmar Farid (alumnus Sejarah UI), Sri Margana (alumnus sejarah UGM) dan Bonnie Triyana (alumnus Sejarah UNS). Dari ketiganya yang dipasrahi menyatakan "ya" untuk keaslian keris tersebut adalah Dr Sri Margana --yang sekaligus merupakan anggota Tim Verifikasi Keris Pangeran Diponegoro.
Tulisan ini dalam rangka manghayu bagyo keberhasilan memperoleh benda legend yang bisa disebut "hilang" sejak tahun 1830 saat kekalahan Diponegoro atas VOC. Diberitakan misalnya pada laman ini bahwa pada hari Selasa Pon, tanggal 3 Maret 2020 Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda, I Gusti Agung Wesaka Puja, menerima sebilah keris milik Pangeran Diponegoro. Senjata Pangeran Diponegoro bernama Keris Naga Siluman itu diserahkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Belanda bertempat di KBRI --Den Haag.
Dr Sri Margana yakin bahwa keris tersebut milik Pangeran Diponegoro. Beliau melihat dari ukiran di kerisnya. Kesimpulan tersebut diamini oleh Dirjen Kebudayaan Dr. Hilmar Farid (alumni Sejarah UI), dan  Bonnie Triyana, sejarawan Undip yang juga seorang jurnalis. Keris ini menjadi sangat penting, karena keris inilah yang diserahkan kepada Raja Wilem I sebagai tanda kemenangan Belanda atas perlawanan Pangeran Diponegoro Sejak tahun 1601 saat berdirinya VOC, Belanda memerlukan 189 tahun untuk menaklukan seluruh Jawa.
Mengapa seorang sejarawan Universitas Gadjah Mada mau membantu penemuan keris Diponegoro? Bagi saya ini merupakan pemaknaan akan merdeka belajar. Konsep "merdeka belajar" juga Kampus Merdeka telah digelontorkan Menteri Pendidikan Kebudayaan, mas Nadiem Makariem, pada akhir tahun lalu.
Sedangkan Tri Agus Siswanto Siswomiharjo dalam status Facebooknya --juga Wahyu Susilo di FB juga- menyatakan bahwa nama kampus mempengaruhi pencarian keris Diponegoro. Menurut mereka ada Bonnie Triyana disitu, yang merupakan alumni Universitas Diponegoro (Undip), sehingga pencariannya ya "Diponegoro" juga.
Kembali ke merdeka belajar. Coba bayangkan misalnya tidak merdeka pemikirannya, si peneliti tersebut akan lebih memikirkan mencari naskah Sumpah Palapa-nya Gajahmada. Atau mungkin mencari betul/ tidaknya nama asli mahapatih tersebut adalah "Gaj Ahmada". Logikanya sederhana. Beliau alumni Universitas Gadjah Mada, maka nyarinya adalah yang berkaitan dengan Gadjah Mada.
Dengan logika yang sama, pencarian keris Diponegoro biarlah hanya menjadi tugas alumni Undip. Agar semakin menambah keyakinan bahwa nama "Diponegoro" adalah milik Jawa bagian tengah, demikian pula Kodam IV Diponegoro. Agar tidak ada yang nyeletuk, "Perangnya di Jawa bagian selatan (DIY dan sekitarnya) yang dapat nama malah Semarang". Ibarat telor mata sapi, bahannya dari telur, tapi yang dapat nama si sapi.
Pangeran Diponegoro jelas merupakan inisiator Perang Jawa (De java Oorlog) yang berlangsung 5 (lima) tahun, dari 1825-1830. Sekali lagi 5 (lima) tahun, bukan 5 menit selepas azan maghrib. Â Itu guyonan grup lawak Bajai saat audisi pelawak Indonesia tahun 2006. Kemampuan perang yang memboroskan anggaran Belanda --sehingga Swedia menjadi negara merdeka karena Belanda sudah tak kuat mengurus- sempat menjadi guyonan Warkop DKI dan Patrio di Tvri --mungkin tahun 1986.Â
Ceritanya ada tebak tebakan antara Indro Warkop dan Parto Patrio. Parto menanyai Indro, "Pasukan daripada yang namanya Pangeran Diponegoro berhasil mengusir Belanda sehingga pada lari ke .... (titik titik)". Indro menjawab kurang lebih "Lari ke Kalimantan, ke Sulawesi, lari ke negaranya ...lari ke luar negeri ...dan seterusnya". Parto merespon dengan mengatakan kalau jawaban oom Indro salah semua. Yang betul  adalah: Lari ke takutan.
Demikian pula pencarian dokumen/ naskah asli Surat Perintah 11 Maret biar menjadi tugas alumni UNS -Universitas Negeri Sebelasmaret. Pencarian  bagaimana meninggalnya Airlangga --yang masih menjadi misteri- biarlah menjadi pencarian alumni Unair. Cerita moksanya Brawidjaya, menjadi tugas alumni Unibraw. Mencari golok atau pedang Pattimura yang asli, itu bagiannya alumni Unpatti. Berlanjut ke ITB mungkin tugasnya untuk mencari resep kesaktian Bandung Bondowoso dalam memanggil jin untuk membangun candi dalam 1 (satu) malam.
Dari sekian alumni, barangkali yang sudah paripurna tugas pencariannya adalah Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag). Perumusan NKRI harga mati telah final --karena ada kata "Indonesia" dan UI ada di dalamnya. Sedangkan bagi Untag, dengan diketemukannya tanggal 17 Agustus sebagai kemerdekaan bangsa, maka memperingan tugas alumninya.
Bagaimana dengan Merdeka Belajar?
Merdeka belajar ini konsep bagus, kita butuh percepatan kemajuan. Tidak perlu menunggu pembakuan peraturan menteri atau malah peraturan pemerintah. Disampaikan bahwa merdeka belajar konteksnya adalah berinovasi. Tujuan inovasi adalah untuk kemajuan 3 (tiga) pihak komponen utama sekolah -yaitu: satu siswa, dua siswa dan tiga siswa. Artinya: siswa, siswa dan siswa.
Sebenarnya pendidikan kita mengalami kemajuan. Ada progress, tapi tidak begitu cepat. Dr Iwan Syahril mengutip kajian seorang professor di Harvard menyatakan bahwa Indonesia --dengan percepatan kemajuan saat ini- mungkin baru 1000 tahun lagi baru bisa seperti Negara maju. Maka kita perlu hadirkan inovasi sebagai budaya. Inovasi itu artinya mencoba hal hal yang baru --yang belum pernah dilakukan.
Belajar dari tim penyarian keris di atas maka ada beberapa hal yang dapat diambil hikmahnya. Pertama kolaborasi antar alumni. Konteks dari merdeka belajar adalah gotong royong --atau kerja bareng, istilah kerennya kolaborasi. Kalau kata Presiden Soekarno bila Pancasila itu diperas maka intinya adalah gotong royong. Kerja bareng antara alumni UGM, kemudian UI dan Undip. Kemudian singkirkan keegoisan kampus. Jangan mentang-mentang Kagama maka hanya mencari yang berhubungan dengan Gadjah Mada saja. Selanjutnya --setelah menemukan produk maka- serahkan barang fenomenal tersebut ke yang ahlinya, yaitu museum.
Berikutnya kita butuh orang-orang yang mau berjalan di depan, yaitu dalam hal ini seperti tim verifikasi keris di atas. Pada konsep merdeka belajar adalah adanya guru penggerak. Sang penggerak akan melihat suatu kegiatan itu tidak hanya bagus  untuk dirinya saja, tapi juga memberdayakan yang lain.
Maka merdeka belajar juga perlu "merdeka bersama". Seperti dulu era Orba memunculkan CBSA atau cara belajar siswa aktif. Dengan kreatifitas beberapa guru, yang terjadi adalah CBSA atau Cara Belajar Semua Aktif. Itulah inovasi. Mampu menggusur konsep lama CBSA -yaitu "catat buku sampai abis". Jadi merdeka belajar perlu didahului dengan merdeka bersama. Tak usah menunggu juklak atawa juknis, yang penting tujuan dan konsep sama.
Keris adalah bagian dari sejarah. Kalau menurut pelawak Kelik Pelipur Lara, kata Sejarah itu berarti "SEtausaya JAngan diaRAHkan" artinya biar mengalir saja. Pembicaraan menarik lainnya adalah membahas terkait siapa yang membuat keris Diponegoro. Ini pernah ditulis di Kompas. bahwa keris-keris ampuh Diponegoro dan para panglimanya dibuat oleh Empu Mageti.
Empu Mageti merupakan keturunan pembuat keris top sejak zaman Majapahit. Saat ini keturunan dan penerus ilmu Empu Mageti konon masih ada, tinggal di dusun Brangkal desa Kedungpanji kecamatan Lembeyan kabupaten Magetan provinsi Jawa Timur.
Kembali ke judul: ASLIKAH keris tersebut? Maaf itu hanya sekedar judul. Tulisan ini tidak menjawabnya. Atau meminjam jawaban Sri Sultan (kurang lebih): Aku hyo ra reti wong aku durung lair (saya tidak tahu, orang saya belum lahir). Demikian. Ayo semangat membaca, membaca apa saja, hidup literasi Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H