Cerita kedua adalah ketika beliau menjadi presiden, kemudian mendatangi salahsatu pergelaran budaya. Acara didahului dengan pembacaan puisi oleh Taufik Ismail. Pak Taufik membacakan puisi bercampur cerita tentang kucing. Sepertinya menyindir Gus Dur --begitu yang saya saksikan di salah satu teve swasta dulu (sctv kalau gak salah). Gus Dur tidak marah dan membalas kisah kucing dengan sebuah cerita yang disebutnya "Kisah Harimau".Â
Katanya ada seorang pendeta yang dikejar harimau ditengah hutan. Ketika sampai di bibir jurang, maka berdoalah dia agar harimau itu tidak jadi memangsanya. Lamaa sekali dia menunggu ternyata sang harimaunya diam juga, malah sepertinya berdoa. Lalu ia bertanya, "Hai harimau, mengapa kau diam saja, tidak jadi memakan aku ya. Kok malah berdoa....". Harimaunya ternyata bisa menjawab, "Iya, sedang berdoa... Ini doa sebelum makan".
Humor ketiga saat diwawancarai Jaya Suprana di tvri. Barangkali tayangan teve terlucu yang pernah saya lihat. Salahsatu leluconnya adalah mengenai nenek-nenek yang membawa bendera kecil di tangannya --saat perayaan tujuhbelas agustusan. Karena semua mengucapkan "merdeka-merdeka" maka diapun ikut-ikutkan memekikkan semangat merdeka tersebut. Ketika jalan agak jauh, bendera yang dibawanya tergelincir dari tangan, lalu kontan dia berkata, "Eeee merdekanya jatuh". Bendera dianggap merdeka.
Humor keempat saat beliau mau lengser dari istana dan disambangi Emha Ainun Nadjib dan istrinya, Novia Kolopaking. Saat mau lengser pun, GD masih sempat menyajikan humornya ke Cak Nun dan istri. Saya kutip dari cerita mbak Novia di salahsatu koran (Kompas kalau ndak salah), sebagai berikut.Â
Ada ibu-ibu yang bingung dengan keinginan anaknya. Sang anak pengin dipasangi eternit di rumahnya. Ketika curhat ke tetangganya, tetangga tersebut heran, "Lho tinggal masang eternit di rumah saja kok susah tho Bu". Ibu itupun menjawab, "Hla ini eternitnya lain. Kita kan di kampung ndak bisa masuk eternit. Itu lho jeng, eternit yang pakai listrik terus jaringan komputer itu..." Selidik punya selidik ternyata yang dimaksud eternit adalah internet.
**
KEMUDIAN dari laman FBnya dosen STPMD Yogyakarta (beliau adalah alumnus IKIP Jakarta) yaitu bapak Tri Agus Susanto Siswoharjo yang judul statusnya adalah "Mengenang Satu Dekade Gus Dur Melalui Humor" banyak mengungkap lelucon Gus Dur yang lain. Misalnya di bawah ini (semua yang di bawah ini saya kutip dari tulisan pak TASS).
Suatu saat Gus Dur mengisi ceramah di taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, pada bulan September 1992. Katanya ada seorang pemimpin yang setiap tiga bulan sekali pergi ke tukang cukur langganannya. Setiap pemimpin itu cukur rambut, si tukang cukur selalu bertanya tentang suksesi. "Bagaimana pak suksesi, sudah ada penggantinya?" tanya tukang cukur. "Belum,"jawab pemimpin itu lalu bicara soal lain.Tiga bulan kemudian pemimpin itu cukur lagi.Â
"Bagaimana suksesi, sudah ada penggantinya pak?" tanya tukang cukur. "Belum," jawab pemimpin itu dan berlanjut bicara topik lain. Tiga bulan berikutnya terjadi dialog antara pemimpin dan tukang cukur. "Bagaimana suksesi, sudah ada penggantinya belum?" tanya tukang cukur. "Kamu ini bagaimana sih selalu tanya soal pengganti saya.Â
Kamu tidak suka dengan saya tetap menjadi pemimpin ya?" jawab sang pemimpin dengan nada tinggi. Dengan tenang tukang cukur itu menjawab, "Bukan begitu pak, kalau saya tanya bapak sudah ada penggantinya atau belum, bulu kuduk bapak berdiri. Jadi saya gampang motongnya...."
Cerita lain, masih mengenai kebosanan terhadap sebuah rezim. Ada seorang pemimpin yang sudah lama memimpin, pada suatu hari berkeliling di pinggiran hutan dengan berkendaraan kuda. Ketika akan menyeberang sebuah jembatan, kuda yang dinaikinya terkejut melihat derasnya arus sungai di bawah jembatan itu. Sang pemimpin terjatuh dari kudanya dan terperosok ke dalam sungai itu, dan hanyut terbawa arus deras.Â
Namun, setelah hanyut cukup jauh, ia ditolong oleh seorang pengail ikan yang pekerjaannya tiap hari mengail di tempat itu. Dengan rasa terima kasih sangat besar, ia menyatakan kepada pengail miskin itu siapa dirinya, dan betapa besarnya jasa pengail itu kepada negara, dengan menolong dirinya. Ditanyakannya kepada pengail tersebut, apa hadiah yang diinginkannya sebagai imbalan atas jasa sedemikian besar itu. Dengan kelugasan orang kecil, pengail itu menjawab: "Satu saja, Paduka. Tolong jangan ceritakan kepada siapa pun bahwa sayalah yang menolong Paduka.