KALAU gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, maka manusia mati meninggalkan nama. Kalau Gus Dur? Meninggalkan joke-jokenya.
Istilah "Gus Presiden Dur" saya kutip dari pembicaraan Prof Hermawan Sulistyo (pak Kiki, orang LIPI) sewaktu diwawancara sebuah stasiun televisi, sehari setelah Gus Dur menjadi Presiden keempat RI. Oh iya, sehari atau dua hari kemarin adalah satu dasawarsa haul atau meninggalnya Gus Dur.Â
Beberapa medsos menyebutnya dengan "Satu Dekade Wafatnya Gus Dur". Berbeda dengan budaya barat yang cenderung mengutamakan kelahiran, budaya Islam lebih mengunggulkan perayaan kematian seseorang tokoh. Pasti untuk bagian ini perlu berhati hati untuk menuliskannya.Â
Tapi bila berkaca pada ayat Quran yang menyebut "Walal akhirotu khoiru laka minal ula" atau akhir itu lebih baik dari permulaan, bisa jadi pernyataan tersebut betul. Bagaimana orang mengakhiri hidupnya dengan husnul khatimah, atau dengan kebaikan, tentunya lebih penting.Â
Ibarat kata, sebaiknya waktu kita lahir maka kitalah yang menangis dan orang-orang sekeliling kita tertawa gembira. Kemudian saat meninggal kita tersenyum dan orang orang sekeliling kita menangis sedih.
Ada buku tulisan Riant Nugroho Dwidjowijoto (sekarang Dr Riant Nugroho, penulis, mantan wartawan Kompas) yang berjudul "Can He Manage?" yang membahas mampukah Gus "presiden" Dur memimpin RI saat itu. Ada komentar banyak orang di buku tersebut.Â
Satu yang saya ingat dari Arief Budiman (eks dosen UKSW lalu pindah ke University of Melbourne) katanya kalau kerjaan Presiden GD adalah tiap hari membuat jokes. Karena buku ini dalam bahasa Inggris maka ungkapan beliau juga versi English. Kurang lebih demikian translasinya.
Nama lengkap Gus Dur beserta gelarnya apabila ditulis adalah Kyai Haji Dr (HC) Abdurrahman Ad-dakhil Wahid. Wahid adalah namanya bapaknya (Wahid Hasyim, anak dari Hasyim Asyhari), sedangkan Abdurrahman Ad-dakhil adalah nama kecil --yang berarti Abdurrahman sang pemberontak.Â
Gelar penghargaan doktornya didapat dari Soka University, Jepang, bidang perdamaian tahun 2000 (honoris causa). Beberapa doctor honoris causa lainnya didapat misalnya dari Thammasat University, Bangkok, pada tahun yang sama. Tokoh yang humoris, sehingga banyak orang mengatakan gelar yang cocok bagi Gus Dur adalah "doctor humoris causa".
Bagi banyak orang sepak terjang Gus Dur sangat bermanfaat. Kalau kata Moh. Mahfud MD (dulu Menteri Pertahanan era Gus Dur, sekarang Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan) yang mengatakan kurang lebih bahwa dinamika politik tanah air semakin bergairah saat GD jadi Presiden.Â
Ini mungkin berkaitan dengan pernyataan kontroversial GD yang membuat media massa setiap harinya terasa baru --bahkan setiap setengah hari (sehingga koran sore juga laku). Demikian pula menurut Wahyu Muryadi di Koran Tempo (31 Desember 2009) halaman A6 --dia mantan protokol era GD jadi presiden- wartawan di Istana mencapai 800, yang di era Orba cuma sampai 100. Itu dari segi kuantitasnya.