Jakarta tetap sebagai ibukota negara, dan kita butuh ibukota baru untuk pemerintahan. Pusat pertumbuhan Republik yang telah berusia 63 tahun yang berada di Jawa perlu kita arahkan ke wilayah atau bagian atau pulau yang lain demi asas pemerataan, dan kesejahteraan umum seperti cita-cita berbangsa dan bernegara yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
**
IBUKOTA baru tersebut juga mencerminkan rakyat kita yang separuhnya adalah miskin --menurut hitungan 2 dollar per hari dari Bank Dunia. Jakarta tidak mencerminkan ekonomi masyarakat Indonesia.Â
Di kota ini para bankir bisa mendapatkan kekayaan sampai dengan Rp 1 milyar per tahun, yang tentunya akan membuat malu Menteri BUMN kalau bergaji di bawahnya. Sementara berita setahun lalu ada episode Bapak yang membawa mayat anaknya yang masih kecil ke kampung, karena tidak memiliki uang untuk menguburkannya di Jakarta.
Mengutip Jaya Suprana yang menyatakan bahwa predikat "ibukota" merupakan penghargaan kepada para perempuan (baca: ibu), sebagai simbolisasi kota besar, induk kota-kota yang lainnya.Â
Arti ibukota dapat dilanjutkan dengan metafora ibu yang penuh kasih sayang kepada anakanaknya --namun terlihat bahwa kita menguburkan makna ibu dengan egoisme dan pemupukan kekayaan di Jakarta. Kita berebut rejeki dengan orang lain yang notabene bangsa sendiri.Â
Mungkin ibukota kita yang lebih manusiawi perlu pindah ke luar Jawa, ke Sumatera barangkali, atau ke wilayah Indonesia timur. Keberadaan jembatan trans Jawa Sumatera akan sangat mendukung, demikian juga jaringan penerbangan barat ke timur, dan jalur internet untuk memudahkan komunikasi.Â
Dulu pemerintahan Soekarno pernah memindahkan ibukota --dari Jakarta ke Bukittinggi, juga Yogyakarta- karena alasan perjuangan yang tak boleh surut. Sekarang untuk alasan kemanusiaan mengapa tidak kita lakukan langkah yang sama? Terus terkait waktu: Kapan lagi ....
Konstrain kita dalam hal ini adalah anggaran yang terbatas. Sebagai salah satu solusi pendanaan maka investasi domestik perlu dioptimalkan mengingat investasi masyarakat ke bursa saham baru mencapai 5 persen. Kemudian investasi dari luar negeri dalam perencanaan kota. Dan terakhir adalah hutang sebagai salahsatu solusinya.Â
Tetapi tentu saja "hutang yang fokus" kepada usaha pemindahan ibukota, dan hutang untuk rakyat. Era Orba telah memberikan pelajaran bagaimana pengelolaan hutang yang tidak prudent. Hutang bukan untuk (kesejahteraan) rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H