Nama lengkapnya adalah Purnomo Muhammad Yudhi, tapi lebih terkenal dengan nama yang cukup satu kata: Purnomo. Sprinter elegan dari Indonesia --bahkan satusatunya Asia saat itu- yang pernah mencicipi jalur semifinal Olimpiade tahun 1984 di Los Angeles.Â
Beliau satu race dengan Carl Lewis, peraih emas 100 meter di dua olimpiade: 1984 dan 1988. Kemarin Jumat Legi tanggal 15 Februari 2019 (09 Jumadil Akir /10 Jumadil Ula 1440 H) pria kelahiran Purwokerto itu telah berpulang ke hadapan Alloh SWT. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.
Saya sebut pak Purnomo ini multi talenta karena pasca pensiun menjadi atlet, kemudian menjadi pimpinan di Berca Sportindo, menjadi pengurus organisasi olahraga, kemudian pada akhir hidupnya mulai terjun ke dunia politik. Selama di RS konon katanya salah satu pembezuk, mas Purnomo berkeinginan menjadi Menteri Pemuda Olah Raga (Menpora). Kisah menarik beliau saya tulis di bawah ini. Selamat membaca.
REGENERASI "wong jowo" dalam berlari cepat 100 meter putra termasuk atau bisa dikatakan sustainable, alias berkesinambungan. Dimulai dari almarhum Moh Sarengat (peraih emas Asian Games 1962), kemudian Purnomo Muhammad Yudi (semifinalis olimpiade 1984), Mardi Lestari (rekor Asia 1989), dan Suryo Agung Wibowo (emas Sea Games tahun 2007 dan 2009).
Walaupun tidak mutlak sprinter disebut di atas 100 persen jawa --seperti Mardi Lestari yang "pujakesuma" alias PUtra JAwa thothok KE-lahiran SUMAtera -karena besar di Sumut. Atau mungkin di sisi perempuan, sebuah case menarik untuk another legend lainnya yakni bu Carolina Rieuwpassa (sprinter perempuan Indonesia pertama yang tampil di Olimpiade 1972, yang lahir di Makassar). Â Meski seingat saya Carolina berlatihnya di Malang, Jatim.
Sedangkan saat ini sprinter tercepat Indonesia #zamannow malah orang NTB, yaitu Lalu Muh Zohri. Bisa jadi bukan Jawa siklusnya, tetapi regenerasi pelari cepat berlanjut ke nama "muhammad" yang dimulai dari Mohammad Sarengat, kemudian Purnomo Muhamad Yudi, dan sekarang Lalu Muhammad Zohri
Agak berbeda dengan mainstream Orba dulu yang mengutamakan perspektif wong jowo itu katanya lebih cenderung "alon alon waton kelakon" (atau: pelan pelan tapi terlaksana, alias maraton), dibanding "kebat kliwat" (kecepetan atau lari cepat).Â
Seperti yang pernah dinyatakan Alm. Presiden Soeharto ketika ditanya seorang pemuda yang menemuinya di Istana Negara zaman dahulu (barangkali sudah ada versi youtube-nya). Tetapi ternyata untuk maraton, cenderung rekan-rekan kita dari Timur (generasi Eduardus Nabunome dulu) Â yang berjaya. Walaupun sekali lagi ini juga tidak berlaku untuk gender wanita, karena Supriyati Sutono --perempuan Salatiga- pernah meraih emas AG 1998 untuk nomor 5,000 meter.
Perihal cerita legend dari almarhum Purnomo Muhammad Yudhi adalah beliau pernah satu race dengan Carl Lewis di olimpiade 1984 di Los Angeles. Satu satunya sprinter Asia yang mampu lolos ke babak semifinal (artinya masuk 16 orang tercepat sedunia).Â
Saat itu ada kejadian sprinter Thailand yang sering banget curi start di babak penyisihan --maksudnya sudah beranjak lari sebelum (sepersekian detik) pistol start dibunyikan. Karena sprinter tuan rumah tersebut --namanya Summet Promna- mendapat semacam privilege dari juri. Tujuan tim Thailand cuman satu: mendapat emas sebanyak banyaknya, terutama dari nomor bergengsi lari 100 meter, dan sekaligus mengalahkan Purnomo -sang pemegang rekor Asia.
Melihat kecurangan semacam itu, PB PASI tak kalah akal. Waktu final Sea Games tahun 1985 tersebut Indonesia meloloskan dua wakil --selain Purnomo adalah Christian Nenepath. Tugas Nenepat adalah.... ikutan berlari ketika summet promna sudah curi start. Dan ternyata kejadian betul, Summet Promna mencuri start lagi, Christian Nenepat pun ikut berlari, kalau kita buka wikipedia keduanya membukukan waktu yang sama persis 10,54 detik! Persis sama.
Pada tahun-tahun itu teknologi belum mengenal seperribuan detik. Akhirnya penentuan pemenang berdasarkan foto finish. Seingat saya lutut --atau dengkul- Nenepat mencapai garis lebih dahulu.Â
Jadinya emas jatuh ke tangan Christian Nenepat, perak Summet Promna, dan Purnomo mendapat perunggu. Sebagai katakanlah gantinya, Purnomo mendapat emas nomor 200 meter di ajang tersebut.
Generasi saat Purnomo berjaya barangkali dapat disebut sebagai generas emas atletik Indonesia saat itu. Emas SG 1985 estafet didapat Indonesia dengan pelari Purnomo, Christian Nenepath, Ernawan Witarsa, dan Yulius Afaar. Kemudian saat itu pula ada Eduardus Nabunome untuk jarak jauh, Yulius Uwe dan Frans Mahuse untuk even saptalomba dan lompat jangkit, lalu ada Hero Prayogo (110 halang rintang), dan mbak Emma Tahapary yang meraih perunggu kejuaraan Asia cabang 400 meter.
Penampilan puncak atau peak performance Purnomo memang terjadi saat Olimpiade 1984 itu. Ketika ada kejuaraan Atletik Asia 1985, Â saat Senayan menjadi tuan rumah, Purnomo hanya mendapat perak untuk dua nomor spesialisasinya --yaitu 100 meter dan 200 meter. Sementara Christian Nenepat malah mengalami antiklimaks, gagal start sehingga diskualifikasi.Â
Beberapa media massa Indonesia menjadikan Purnomo lari di finish menjadi headline. Purnomo mengacungkan 2 (dua) jari saat itu. Kemungkinan 2 (dua) jari itu adalah nomor 2 (dua) atau perak, atau 2 (dua) kali mendapat perak. Kemudian saat AG di Korea tahun 1986, Purnomo mendapat cedera, meski bisa mencapai final. Â
Kalau Menpora Imam Nachrowi menyatakan bahwa almarhum Purnomo adalah "Seorang sprinter yang menginspirasi agar bisa mencapai panggung Olimpiade," sebenarnya tidak hanya itu. Bagi banyak orang, minimal bagi saya sendiri, mendiang adalah orang yang sukses banyak bakat, talenta atau bahkan multi tasking.Â
Menjadi atlet, menjadi pimpinan di Nike atau berca sportindo, menjadi pengurus olahraga, kemudian pada akhir hidupnya mulai terjun ke dunia politik, dan punya keinginan menjadi Menpora. Terimakasih atas jasa-jasamu mas Pur. Selamat jalan Purnomo Muhammad Yudhi, semoga husnul khatimah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H