Mohon tunggu...
Yuniandono Achmad
Yuniandono Achmad Mohon Tunggu... Dosen - Dreams dan Dare (to) Die

Cita-cita dan harapan, itu yang membuat hidup sampai saat ini

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Memahami Amien Rais (MAR)

13 Oktober 2018   22:25 Diperbarui: 13 Oktober 2018   22:50 1072
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: https://nasional.kompas.com

SEKITAR 3 (tiga) hari yang lalu, guru besar ilmu politik UGM --yaitu Prof M. Amien Rais- diperiksa oleh Polda Metro Jaya. Polisi menjadwalkan pemeriksaannya terkait hoaks yang pernah disampaikan Ratna Sarumpaet. Uniknya, pak Amien menyatakan adanya kejanggalan dalam surat pemanggilan tersebut. 

Salah satunya adalah penulisan namanya yang tidak lengkap di dalam surat pemanggilan. Di dalam surat tersebut ditulis Amien Rais. Padahal menurut beliau, semestinya ditulis lengkap --yaitu Muhammad Amien Rais.

Seingat saya dalam salah satu buku beliau, ditulis juga inisial "MAR" tersebut. Mungkin di bagian kata pengantar buku, pengganti tanda tangan, ditulislah MAR --yang merupakan akronim dari Muhammad Amien Rais (MAR).

Dulu sewaktu hangat-hangatnya pak Habibie (selengkapnya Prof Dr Ing Baharudin Jusuf Habibie --pakai Muhammad enggak sih ya) menjadi presiden menggantikan Haji Muhammad Soeharto sempat ada rame-rame perseteruan Amien versus Ghalib di salah satu kanal televisi.

Ghalib adalah Andi Ghalib (selengkapnya: Letjen TNI (Purn) H Andi Muhammad Ghalib, SH, MH) yang merupakan Jaksa Agung kala itu. Mereka berdua ramai karena konon katanya pak Ghalib ditelepun pak Habibie terkait penanganan kasus korupsi Bapak Pembangunan Orba.

Ketika ditanya mengapa sepertinya kurang sopan dalam memanggil pak Amien kok cuman "Amien" saja (kesannya njangkar --kalau kita pakai istilah bahasa Jawa), Ghalib menjawab: Itu kerjaan wartawan, saya selalu menyebut pak Amien dengan "Profesor Amien".

Meski sekarang banyak yang mencomooh, namun kita perlu menengok era tempoh doeloe saat prof MAR ini amat sangat berjasa dalam rangka penumbangan Orba. Asal muasalnya di suatu seminar pada tahun 90-an (mungkin 1994 ya) pak Amien ditantang paranormal Permadi: Apakah bung Amin Rais berani jadi Presiden? Pak Amien menjawab, "Insyaallah".

Berita tersebut menjadi heboh karena membicarakan suksesi di era Orde baru adalah tabu, bahkan nyawa menjadi taruhannya. Namun keberanian dari anak negeri untuk membobol tembok benteng pertahanan Orba yang demikian kokoh, telah muncul.

Palu pendobrak itu di tangan tokoh Muhammadiyah, orang Solo, ahli politik (hubungan internasional).. yaitu Dr MAR. Saat presiden Soeharto sudah di ujung tanduk (tahun 1998), beliau memanggil tokoh Islam ke cendana untuk bertukar pendapat. Pak Harto setuju untuk mengundang rohaniawan semacam Gus Dur, Emha Ainun Nadjib, dan Nurcolish Madjid.

Namun ketika disodori nama "Amien Rais", beliau menolaknya. Alasannya, kritikan MAR ini terlalu keras (pedas?), kurang lebih seperti itu.

Di era tahun tahun 1998 itulah pak MAR mengalami masa peak performancenya. Sehingga amat pantas saat itu dijuluki "Lokomotif Reformasi". Sebagai ketua PP Muhammadiyah (sejak tahun 1995) paradigma yang beliau tawarkan adalah "high politic" yang meniadakan politik ecek ecek, atau politik yang hanya mengandalkan kasak kusuk. Ia ganti dengan politik tingkat tinggi yang berkualitas dan bermoralitas.

Pernyataan-pernyataan beliau menjadi viral saat itu. Selain high politic, ada juga "koruptor is begundal" (yang disampaikan pada forum Jakarta Lawyer Club dengan pembawa acara Ira Koesno dulu) dan reformasi yang "termehek mehek", serta menyebut pak Harto dengan "the old man". Cerita khayalan berjudul "si kancil" juga menjadi ngehits saat itu sebagai analogi kreatifitas kritikan di tengah cengkeraman rezim diktator.

Di sebuah wawancara televisi swasta dulu (seingat saya Rosiana Silalahi sebagai presenternya) pak Amien bercerita mengenai kancil pilek. Syahdan pada zaman dahulu kala, terdapat kerajaan hutan yang dikuasai oleh seekor singa buas.

Suatu saat sang Raja tersirat keinginan untuk mengetahui pendapat pihak lain mengenai kebersihan istananya -yang sebenarnya berbau pesing. Lalu sang raja memanggil lembu, kijang, dan seekor kancil.

Pertama, si Lembu. Setelah mencium ke sana ke mari, si lembu tadi mengatakan bahwa istana sang raja amat bersih dan baunya harum. Raja hutan ini marah karena menilai lembu tak jujur.

Lembu diterkam menjadi mangsanya. Kemudian giliran kijang. Tak ingin bernasib seperti lembu, sang kijang menjawab seadanya. Tapi apes, dia tetap dimangsa karena dianggap tak punya sopan santun. Menurut singa, si kijang mestinya mengkritik keadaan yang sebenarnya.

Akhirnya si kancil pun dipanggil. Sang kancil pintar. Supaya tidak memancing kemarahan sang raja, dia mengaku sedang pilek. "Maaf baginda, saya sedang pilek. Jadi, saya nggak bisa membau," tukas sang kancil. Jawaban itu dinilai singa paling bisa dimaklumi. Bisa ditebak, si kancil pun selamat.

Cerita itu tak ubahnya gambaran peta politik yang otoriter, ketika politikus seperti kancil pileklah yang akan menang. Nah rupanya menurut pak Amien, banyak elite politik saat ini yang cerdik memilih menjadi kancil pilek, alias tak berani mengambil pendirian. Amien meyakinkan bahwa dirinya tak ingin menjadi kancil yang tengah influenza. Demikian kata pak Amien dalam dalam Dialog Topik Ini di Studio SCTV yang ada di web Liputan 6.

MAR, "M"-nya adalah Memahami

Bagaimana memahami langkah-langkah pak Amien di masa lalu dan saat ini? Seingat saya di tabloid detak tahun 1998 (saat itu koran detik sudah dibreidel, adanya "detak"), pak Amien menulis tentang ilmu "gerontologi" atau ilmu yang membahas orang-orang tua.

Pak MAR beranekdot bahwa gerontologi adalah ilmu orang orang yang kuatnya makan "gerontol" (karena gigi sudah pada habis). Gerontol adalah pipilan jagung kering yang direndam dan di rebus, sehingga menjadi amat halus. Pak MAR dalam tulisannya kurang lebih menyatakan bahwa ketika manusia menginjak masa tuanya, maka akan kembali ke masa kanak-kanak lagi.

Membaca sindiran pak SBY ke prof Amin (sekira pekan ketiga Maret 2018) yang menekankan perlunya kritikan disampaikan secara santun karena "kita ini sudah tua". Artinya --kalau menyimpulkan sinyalemen pak SBY itu- bukankah pak Amin ini memang balik ke masa kanak kanak lagi (dus ilmu gerontologi seperti tulisan beliau 18 tahun yang lalu terjadi kepada penulisnya).

Memahami politisi sepuh (tahun ini usia beliau 74 tahun) artinya kita musti empati terhadap fisik dan psikisnya. Seperti mudah capek dan cepat lupa. Saat mengatakan wartawan bahwa pemanggilan namanya kurang "Muhammad", lalu beberapa saat kemudian menyatakan bahwa Kapolri saat ini perlu dipecat (karena katanya tersangkut KKN). Pak Amien menyebut nama Tito karnavia, tetapi lupa kalau nama lengkap Kapolri adalah Muhammad Tito Karnavian.

Namun ada sisi konsistensi beliau. Pertama adalah kritik pedasnya terhadap pemerintah. Dimulai dari Orde Baru, orde Reformasi (pak Habibie), bahkan orde rahman wahid, tak lepas dari kritikan pak MAR ini. 

Berlanjut ke era SBY, dan sekarang Jokowi. Yang kedua konsistensi beliau bahwa orang Islam musti menguasai politik (atau pemerintahan dalam hal ini). Sehingga kita perlu pahami bahwa empat anak pak MAR (dari lima totalnya) semua menyalonkan diri menjadi anggota legislatif untuk 2019 nanti. Semoga memang itu cita cita mulia, maka sampaikan MARhaban kepada keluarga besar prof MAR.

Semoga mengurangi kemunculan pak MAR di media yang cenderung Madly Adequate Response terhadap sebuah fenonema perpolitikan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun