Bisa jadi panitia Jepun ngOpen mengharap partai terakhir adalah peak performance-nya, alias klimaks setelah 4 (empat) partai -- partai sebelumnya. Bayangkan, peringkat 1 (satu) dunia melawan peringkat kedua, sang juara dunia 2018 asal Tiongkok: Li Junhui/Liu Yuchen.
Namun tidak disangka apa yang terjadi? Duo tower Li/ Liu menerapkan anti badminton --sebut saja demikian. Bermanin bertahan terutama di set pertama, dan belum bisa keluar secara penuh dari tekanan di set keduanya.
Kalau sektor tunggal (baik Putra maupun Putri) masih bisa kita menerima adanya pemain defends, yaitu mengandalkan reli-reli panjang dengan memanfaatkan sesekali kesalahan lawan, adu stamina dan serangan balik suatu waktu. Tapi ini ganda bro. Kalau sektor tunggal (waktu game masih angka 15) kita kenal gaya bertahan melalui Han Jian, Icuk Sugiarto, Ardy Bernardus Wiranata, atau malah Susy Susanti. Sedangkan tipikal agresif seperti Liem Swie King, Heryanto Arbi, atau Yang Yang juga Zhao Jianhua (Tiongkok).
Sedangkan ganda tipikal bertahan seperti pasangan Malaysia peraih perunggu Olimpiade 92 barcelona (yaitu Razif/ Jalani Sidek) yang bertipe sama, tapi kan duo Sidek itu bermain saat raihan game 15 --artinya mengenal service over- yang memfasilitasi adanya pemain bertahan. Pertandingan akan menjadi sangat lama. Tapi itu dulu.
Dengan adanya skor rally point (game 21) ini merupakan upaya untuk mengeliminir pemain type bertahan seperti itu. Namun tidak mengerti saya atas permainan Greysia/ Apriyani yang multi defends (sampai rally dengan pertukarang bola mencapai 100 kali) atau Lu/ Liu saat di final. Apakah mereka berpikir kemenangan? Mungkin berusaha untuk membuat jengkel lawan (dan lama lama penonton juga kecewa).
Strategi multi defends pernah dipakai oleh pasangan ganda Tan Beong H atau TBH dan Koo Kien Kiat dari Malaysia, saat mereka mulai meredup kariernya. Bisa jadi karena faktor U.
Waktu pertandingan semifinal itu Polii/ Apriyani didampingi coach Chafid Yusuf. Apakah misalnya yang duduk di kursi coach adalah Eng Hian, maka dia tidak menyarankan anak asuhnya untuk "hijrah" dari tipikal bertahan total itu.
Untuk itu please ke depan --seperti yang kurang lebih disarankan Rosiana Tendean saat jadi komentator di usee tv- siapa yang menyerang ialah yang menang. Jangan diteruskan pertahanan total macam greysia/ apri atau Liu/Li itu. Kasihanilah pemerhati dan penonton bulutangkis ini.
Ingatlah analogi "the best defense is a good offense" a.k.a menyerang adalah pertahanan terbaik. Atau bisa juga pepatah latin mengatakan "Si vis pacem, para bellum" (if you want peace, prepare for war). Bulutangkis itu perang , Bung
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI