Mohon tunggu...
Yuniandono Achmad
Yuniandono Achmad Mohon Tunggu... Dosen - Dreams dan Dare (to) Die

Cita-cita dan harapan, itu yang membuat hidup sampai saat ini

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Guyonan Kiai (RIP Kiai Haji Hasyim Muzadi)

20 Maret 2017   11:48 Diperbarui: 20 Maret 2017   11:59 1048
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

MENARIK membaca tulisan Prof Mahfud MD di Jawa Pos mengenai kepergian KH Hasyim Muzadi. Saya merasa terlambat menyadari bahwa kiai Hasyim itu sebenarnya orangnya lucu. Lalu membuka youtube, ada pengajian KH Hasyim di istana (tahun 2016). KH Hasyim bisa membuat seluruh peserta tertawa geli (kecuali pak Hidayat Nur Wahid yang sama sekali tershoot tidak tertawa saat itu).

Salah satu guyonan KH Hasyim di istana tersebut adalah mengenai perbedaan. Perbedaan itu memang tidak bisa disatukan, hanya butuh pengertian dan kesadaran untuk memahami perbedaan tersebut. KH Hasyim cerita kalau dulu dirinya bersama buya Syafii Maarif (Ketua PP Muhammadiyah) pernah dipanggil Menko Kesra –yang saat itu dijabat Muh. Jusuf Kalla. Menko Kesra mengatakan biar lebaran bisa bareng, mengapa NU standar hilalnya tidak diturunkan -lalu Muhammadiyah dinaikkan. Komentar KH Hasyim: Ternyata logika bisnis masuk juga ke syariat.

Kemudian perbedaan soal qunut/ tidak ketika sholat subuh berjamaah. Sekarang beda qunut/ tidak bukan masalah lagi, karena sudah  tidak paa sholat subuh. Di tulisan Prof Mahfud tersebut mungkin –menurut saya nih- bisa menjawab pertanyaan yang beredar di mojok.co bahwa orang NU biasanya lucu. Karena menurut Kiai Hasyim “di NU itu ada tradisi menyelesaikan masalah dengan gergeran (tertawa riuh) daripada dengan gegeran (ribut-ribut)”.

Kiai Hasyim memang tidak selucu Gus Dur. Namun tetaplah figur yang lucu. Jadi teringat diskusi hangat di mojok.co beberapa pekan ini yang menyebut bahwa NU lebih lucu daripada Muhammadiyah. Sewaktu acara pasca kampanye presiden 2004, ada pasangan Amien Rais-Siswono, SBY-MJK, Agum Gumelar (mewakili pasangan Hamzah Haz-Agum), namun tidak dihadiri Mega-Muzadi. Kiai Hasyim hanya sempat berbicara lewat telepon, bercerita lucunya dia saat kampanye di suatu daerah dan pesertanya ternyata lebih banyak sapi –daripada orangnya.

Soal lucunya orang NU (dibanding Muhammadiyah) pernah pada suatu kesempatan gus Anas Urbaningrum –yang mantan ketua P Demokrat- melaunching bukunya yang berjudul MELAMAR DEMOKRASI (seingatku tahun 2004) di sebuah hotel di Jakarta. Pembahasnya ada KH Mustofa Bisri, buya Syafii Maarif, Dewi Fortuna Anwar, ada juga pendeta (lupa nama), dan penutupnya Emha Ainun Nadjib. Acara dihadiri Susilo Bambang Yudhoyono (kandidat presiden saat itu) dan dimoderatori Najwa Shibah. Pada bagian penutup, cak Nun dengan seloroh khasnya mengatakan, “Saya malu sebagai warga NU. Paparan gus Mus sangat cengengesan, beda dengan buya syafii (muhammadiyah) yang serius...” Saat itu memang Gus Mus sebagai panelis (berpeci dan bersarung) memaparkan ulasannya dengan penuh canda. Gus Mus menyebut judul buku Anas Urban yang Melamar Demokrasi, dikiranya adalah melamar pekerjaan. Lalu moderator Najwa Shihab tidak luput dari candaan dengan : ini mbaknya yang putrinya pak Quraisy ya (Quraisy Shihab). Sementara buya Syafii membaca teks, dan memang tampak serius sangat.

Lanjut Cak Nun: tapi memang semua NU seperti itu. Kalau bapak/ ibu lihat orang NU sholat. Ada yang sempat garuk-garuk, ada yang sambil “ngulet” (susah bahasa indonesianya, mmm menggeliat ya). Karena memang NU selalu melihat positif terhadap Tuhan. Beda dengan muhammadiyah (kayaknya cak Nun mulai nyindirnya ke arah lain).

Sekali lagi, KH Hasyim memang tidak selucu Gus Dur –namun ada beberapa guyonan cerdas yang ditangkap prof Mahfud dalam tulisannya di Jawa Pos Jumat 17/03/17 tersebut (judul: Sersannya KH Hasyim Muzadi) yaitu sebagai berikut:

1. KH Hasyim pernah berpidato bahwa orang NU harus bersyukur karena sekarang ini anak-anak Ansor sudah maju dan modern. Banyak yang mempunyai dua handphone dengan casing yang bagus-bagus. Tapi mereka tidak pernah menelepon, karena tidak kuat membeli pulsa. Bolak-balik hanya missed call biar gentian ditelepon.

2. Kita harus bersyukur karena sekarang ini sudah banyak anak NU yang bisa bersekolah atau mondok ke Makkah dan Madinah. ’’Tapi sayangnya, setelah pulang, mereka tidak mendirikan pondok pesantren, melainkan perusahaan travel umrah. Tidak menjadi ulama, melainkan cukup menjadi guide haji dan umrah,’’

3. Suatu hari Kiai Hasyim menjemput Gus Dur di sebuah acara di Malang (Jawa TImur) dan ditemani Barisan Serbaguna Ansor (Banser). Banser ciri khasnya berseragam gagah dan komandannya saat itu mengendalikan anak buahnya dengan mempergunakan handy talky (HT). Terjadi hal yang lucu ketika Gus Dur tiba dan sang komandan Banser memberi komando kepada anak buahnya. ’’Assalamualaikum, roger, roger. Kiai Abdurrahman Saleh sudah mendarat di lapangan terbang Abdurrahman Wahid. Semuanya siap? Ganti,’’ ujar sang komandan Banser.

4. Kiai Hasyim pernah bilang bahwa Banser itu lucu, lugu, dan ndheso. Semua orang dihalau oleh Banser agar tidak bersalaman dengan Gus Dur, tapi Banser sendiri saling berebut untuk menyalami bahkan berfoto-foto dengan Gus Dur sehingga perjalanan malah lebih terhambat. (KH Hasyim dibesarkan dan pernah lama ikut memimpin Ansor.)

Langkah kontroversial KH Hasyim adalah saat memutuskan menjadi kandidat wapres untuk kontestasi Presiden 2004. Pak Kiai dipasangkan dengan Megawati saat itu. Itulah awal titik persilangan kiai Hasyim dengan Gus Dur. Seingatku Gus Dur mulai menyebut Hasyim mempergunakan NU sebagai alat kendaraan politik. Saat itu pasangan Mega-Muzadi sangat digadang-gadang untuk menang. Kalau meminjam istilahnya prof Gunawan Sumodiningrat menganalogikan pasangan ini sebagai  "Mega Muzadi, mega mau jadi". 

Semoga khusnul khatimah Kiai Hasyim, bangsa ini kehilangan humor dan pencerahanmu. Mengutip kalimat pak Moh Mahfud MD:

“Kiai Hasyim Muzadi selalu berpesan agar Islam benar-benar menjadi rahmatan lil alamin. Islam harus ramah dan menjaga kekukuhan ikatan kebangsaan (nasionalisme) Indonesia tanpa boleh memaksa-maksa atau bersikap tidak toleran terhadap kelompok-kelompok lain. Pada diri K. Hasyim ada integrasi ide antara keindonesiaan dan keislaman. Pada diri K. Hasyim juga ada contoh bagaimana menjadi warga negara yang mencintai kebersatuan dalam keberagaman bangsa Indonesia dan mengamalkan ajaran Islam sebagai prinsip penuntun hidup sebagai muslim.” Allahumma ighfir li-Hasyim Muzadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun