Awal diluncurkannya Merdeka Belajar dulu banyak yang bersikap skeptis. Biasa, kalau ada kebijakan baru yang paling sibuk tentu yang meluncurkan, kelompok akar rumput sih biasa saja. Apapun kurikulumnya, minumnya tetap es teh begitulah kira-kira.
     Dengan berjalannya waktu dan semakin meluasnya sosialisasi Merdeka Belajar ini, segan tidak segan sekolah harus menerapkan. Melatih guru-gurunya agar paham dengan gagasannya yang memerdekan dan praktek-praktek baik yang bisa dilakukan di kelas. Merdeka Belajar tentu saja harus berawal dari guru yang paham.
      Seperti yang disampaikan mentri Nadiem, Kurikulum Merdeka adalah terobosan yang membantu guru dan kepala sekolah mengubah proses belajar menjadi jauh lebih relevan, mendalam, dan menyenangkan. Setidaknya ada 3 keunggulan pada penerapan KuMer ini. Pertama, berfokus pada materi esensial. Kedua, ada jam pembelajaran khusus untuk pengembangan karakter melalui P5.  Ketiga, fleksibilitas pada sekolah untuk merancang kurikulumnya sendiri menyesuaikan pembelajaran dengan tingkat kemampuan siswanya.
      Saya berpikir keras untuk mulai dengan sebenar-benarnya bagaimana menerapkan kurikulum ini. Berat bagi saya yang terbiasa patuh pada tuntutan silabus dengan jumlah kompetensi tertentu kemudian harus merubah mindset saya untuk merancang sendiri materi yang dibutuhkan siswa di masa mereka terjun ke dunia nyata nanti.
      Di dalam pelajaran Bahasa Inggris, Kurikulum 2013 telah menetapkan sejumlah Kompetensi Dasar yang harus diajarkan guru ke siswa, sedangkan di Kurikulum Merdeka yang ditetapkan adalah elemennya dengan beberapa contoh teks. Elemen ini sama dengan 4 keterampilan berbahasa dimana di kurikulum sebelumnya keterampilan ini melekat pada materi, sekarang elemennya dulu baru memilih materi.
      Kesulitan kedua yang harus saya atasi adalah memahami pembelakaran berdiferensiasi. Bingung otak saya meskipun sudah berkali-kali ikut webinar membaca banyak rujukan dan kadang tersesat, akhirnya saya mulai bisa melihat dengan jelas bagaimana membuat rancangan diferensiasi. Saya menemukan teks diagnostik non kognitif sebagai langkah pertama di akun akupintar. Saya bukan guru BK jadi melaksanakan tes non kognitif ini agar terhela-hela. Setelah saya terapkan, setidaknya secara sederhana saya  mendapat data pengelompokkan siswa berdasarkan gaya belajar. Ada 3 gaya belajar utama yaitu visual, auditori dan kinestetik. Selainnya itu merupakan gabungan dari ketiganya. Setelah itu baru saya pilih elemen dan materi untuk memberikan konteks apa yang akan dipelajari siswa.
     Saya sangat setuju dengan pemahaman bermakna yang mengaitkan materi dengan manfaatnya dalam kehidupan nyata. Seakan ini menjadi jawab atas kegelisahan saya sejak lama.  Karena saya mengajar di SMK maka rancangan materi saya harus bisa digunakan beberapa tahun kedepan ketika siswa lulus, apakah mereka akan bekerja atau meneruskan sekolah. Sayapun membuka-buka kembali buku kuliah saya tentang Material and Curriculum Development karya Jack C Richard, maestro penulis buku-buku panduan mengajar.  Dari buku ini saya mendapat ilmu bagaimana memilih dan mengembangkan materi yang sesuai. Selain itu saya masih menyimpan buku Revolusi Belajar 1 dan 2 karya Gordon Dryden dan Dr. Jeannette Vos. Meskipun ini buku sangat lawas terbit tahun 1991, tetapi menurut saya buku ini sangat relevan dengan gagasan Merdeka Belajar karena didalamnya ada berbagai cara untuk membuat siswa bahagia belajar.  Ngomong-ngomong pada tahun itu buku ini terjual sampai 30.000 eksemplar perhari!!
    Kesulitan ketiga saya yaitu saya tidak terlalu tanggap terhadap teknologi media sosial. Ini jaman digital, siswa sudah menjelajah kemana-mana dengan aplikasinya sedangkan saya masih berkutat di WA. Andai sms masih banyak digunakan saya mungkin juga akan menetap disana. Bahkan media sosial lain saya tidak punya. Facebook yang sudah bertahun-tahun penuh sarang tidak pernah saya kunjungi. Telegram tidak pernah saya buka hanya karena banyak iklan aneh bersliweran. IG saya tidak tahu. Youtube saya hanya penikmat, tidak tahu bagaimana editing gambar. Apalagi Tik Tok yang baru saja muncul langsung menggebrak dengan tayangan instannya. Twitter, Line, tumbler, snapchat apa itu? Benar-benar tak tersentuh. Saya hanya berpikir itu semua buang-buang waktu dan pulsa.
    Kenyataannya, saya tidak boleh mengesampingkan itu semua. Maka dengan terengah-engah saya belajar terus. Pada guru-guru TIK yang kadang penjelasannya terlalu cepat. Pada siswa yang tidak sabar membuatkan akun. Mengulang-ulang tutorial Youtube dan akhirnya kebingungan sendiri. Pokoknya saya belajar seperti orang gila  agar bisa tahu dan paham seluk beluk media sosial. Siapa saja saya tanya. Dan akhirnya saya membuat IG, terus blog. Ini dulu. Pelan-pelan. Saya pilih yang paling mudah dan populer, yang tentu saja bisa untuk media pembelajaran. Setidaknya saya tidak terlalu gaptek di depan siswa.
    Lalu mulailah saya rancang pembelajran berdiferensiasi menggunakan media sosial dengan menekankan literasi digital. Saya tetapkan elemen menulis sebagai pembelajaran pertama. Diawal pertemuan, saya minta siswa untuk menulis tentang pengalaman mereka ketika magang dalam Bahasa Indonesia. Oh ya, ini siswa kelas 12. Mereka boleh menulis dengan genre apa saja, naratif, deskritif, recount, prosedural, argumentatif atau yang lain. Setelah selesai, kertas hasil kerja mereka ditukar dengan siswa lain untuk dicek ejaan dan tata bacanya. Lalu dikembalikan lagi ke pemiliknya untuk diperbaiki. Lalu mereka menyalinnya di hp masing-masing. Ada yang di notes, di WPS, di MS Word atau bahkan di WA. Saya pesan agar pertemuan berikutnya mereka bawa laptop atau hp yang sinyalnya lancar.