Ayahku seorang guru. Waktu SD aku sekolah di SD yang dirintis oleh ayahku dan kawan-kawannya. Salah satu guruku di sekolah ya ayahku. Dia lah guru idolaku.
Saat itu sudah terbesit dalam benakku, aku ingin seperti ayahku, Â menjadi guru. Â Rasanya senang ketika melihat ayahku mengajar dengan penuh kesabaran dan ketelatenan, yang tidak mudah marah, yang tidak mudah menghukum ketika ada muridnya yang membuat ulah, yang tak pilih kasih.
Pernah suatu hari, ketika jam istirahat aku pergi bersama teman-temanku mencari buah asam yang berjatuhan. Di tengah perjalanan menuju ke sekolah, kami melihat kebun jeruk milik kerabat guru ngajiku.Â
Lalu salah satu dari teman mengajak kami untuk mengambil jeruk yang sudah menguning, memang menggiurkan hati untuk dipetik. Â Aku menolaknya karena aku tahu mengambil barang tidak seizin yang punya sama dengan mencuri.Â
Itulah salah satu yang diajarkan oleh guru Agamaku di SD Bapak Buryadi. Aku mengatakan kepada mereka bahwa sudah waktunya belajar lagi. Maka aku menyuruh mereka untuk segera kembali ke sekolah. Namun mereka tetap saja memetik beberapa buah jeruk yang bergelantungan sampai kami tiba terlambat di sekolah.
Di kelas sudah mulai belajar. Saat itu waktunya ayahku yang mengajar. Melihat kami datang terlambat, dan ditanya mengapa terlambat. Kami pun mendapat hukuman, tak terkecuali aku. Walaupun aku sudah menyampaikan bahwa aku sudah memperingatinya dan aku tidak mengambil buah jeruk seperti yang mereka lakukan. Namun aku tetap juga mendapat hukuman. Saat itu aku merasa ayahku  tidak berbuat adil padaku.
Sampai di rumah aku protes pada ayahku, "mengapa aku ikut dihukum juga?" kan aku tidak ikut mengambil buah itu?"
Dengan perlahan  ayahku menjelaskan hingga aku memahaminya.Â
Apa yang dilakukan ayahku itu adalah bentuk keadilan. Walaupun aku anaknya, dia tidak mau pilih kasih. Aku tetap bersalah karena datang ke kelas terlambat dan membersamai mereka melakukan 'kenakalan' walaupun aku tidak melakukannya.
Sesudah lulus SD, aku melanjutkan ke SMP di kota lain (DIY). Ayahku menitipkan aku ke pamanku yang juga seorang guru istrinya pun seorang guru.Â
Setiap hari aku melihat aktivitas mereka yang tentram. Pagi sampai siang hari mengajar di sekolah,  sore harinya mengajar ngaji anak-anak di sekitar rumahnya.  Kehidupan mereka sangat harmonis dan tentram. Tetapi aku tidak lama bersama mereka, hanya satu tahun. Tahun kedua aku dipindah oleh ayahku berkumpul kembali di salah satu  kota di Jawa Timur di mana ayahku pindah tugas mengajar.
Waktu di SMP aku punya guru idola dia mengajar bahasa Inggris namanya ibu Endang orangnya kecil mungil dan putih. Begitu juga waktu SMA, guru idolaku guru bahasa Inggris. Namanya Ibu Prang (alm.). Waktu kuliah S1 dan S2 pun  aku punya dosen idola Bapak Anhari Basuki dan Ibu Sabarti Akhadiah.
Mereka semua guru-guru hebat. Senyumnya selalu tersungging  mana kala bertemu dengan  murid dan mahasiswanya. Selalu tampil bersahaja, sehingga sedap dipandang. Aku kagum dengan mereka.Â
Kelima guru hebat itulah yang menginspirasi ku sehingga menjadi diriku seperti sekarang, "Guru."
Tak kalah pentingnya guru ngajiku al  Mukarrom Pak Kyai Haqi (aku memanggilnya 'mbah Haqi) dan istrinya, serta putranya Kyai Ali Wafa dan istrinya Bu Nyai Mae (aku memanggilnya 'Mak Mae).Â
Merekalah yang mengajariku tentang ahlaq, adab, menulis arab, hingga aku lancar membaca Al Qur'an. Mereka keluarga keduaku. Di sana (di surau/langgar) dan dengan mereka aku belajar nilai-nilai kehidupan.Â
Aku membantu menimba air, membersihkan halaman, sekali-kali aku diminta tolong oleh mbah Haqqi untuk memijat/menginjaknya (memang terkesan tidak sopan, seorang murid memijat dengan menggunakan kakinya [menginjakkan], namun karena 'dawuh' Â beliau aku menuruti saja. Katanya kalau menggunakan tangan tidak terasa).Â
Mungkin karena aku murid ngaji kesayangannya atau mungkin karena badanku yang kecil dan ringan, sehingga akulah yang disuruh memijatnya. Aku memang dekat dengan beliau.Â
Saat liburan sekolah dan pulang ke kampung halaman di Madura, aku selalu sempatkan "sowan" ke beliau. Hingga menjelang ajalnya, aku diberi kesempatan mendampingi di sisinya (Allahumma firlahu warhamhu wa'afihi wa'fuanhu).
Mereka guru-guru luar biasa yang sangat  dominan mewarnai kehidupanku. Lengkap sudah ilmu akhirat dan dunia ku  yang kudapat dari mereka menjadi bekal menjalani kehidupanku agar selamat  dunia dan akhirat.
Keinginanku  yang terpendam di masa kecil semakin kuat saat aku di PTN. Ketika aku lulus S1 aku mencoba melamar di PTN tempat aku kuliah. Namun bukan rezekiku di situ. Lantas aku melamar jadi dosen di PTS di Jawa Tengah, aku diterima namun entah kenapa aku tidak jadi mengambil kesempatan itu.
Aku ingat saat itu (1991) aku mengikuti tes CPNS untuk menjadi dosen di  IKIP Jakarta (saat ini UNJ). Hingga aku mengurungkan  mengajar di salah satu PTS di Jawa Tengah. Rupanya belum rezekiku, aku tidak lolos dalam ujian itu.
Lantas aku melanjutkan kehidupanku di ibu kota. Aku melamar kerja ke salah satu perusahaan  Amerika, dan aku diterima sebagai "traineer manageer", namun tidak lama , karena keinginanku menjadi guru masih kuat.
Suatu ketika ada informasi kalau ada salah satu sekolah Indonesia di Luar negeri (BGK) Â membutuhkan guru. Aku melamarnya dan diterima. Surat kontrak dibuat, selama 4 tahun. Â
Rasa syukur yang tiada tara  keinginan menjadi guru terwujud sudah. Aku mengajar anak-anak pejabat  Indonesia yang sedang bertugas di luar negeri bukan hal yang mudah.Â
Mengajar mereka dibutuhkan kekuatan mental dan rasa percaya diri serta keberanian. Apalagi jauh dari keluarga betul-betul dubutuhkan jiwa mandiri. Aku mengajar kelas SD -SMA. Mereka sangat menikmati belajar  bersamaku.  itulah pengalamanku mengajar pertama di luar negeri.
Namun sebelum masa kontrakku berakhir aku menikah dengan salah satu diplomat Indonesia yang sedang bertugas di negara tersebut. Sehingga untuk sementara profesi guruku kutinggalkan. Aku fokus mengurus keluarga.
Panggilan jiwa mengajar tidak menyurutkan aku berhenti mengajar. Aku belajar lagi untuk memenuhi syarat boleh mengajar. Saat itu ada peraturan baru, bagi yang lulusan S1 umum (bukan dari keguruan) harus memiliki ijazah  Akta IV. Maka dari itu aku mengambil sekolah Akta IV  di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2005).
Namun setelah lulus aku tidak langsung mengajar. "Iming-iming" Â dunia membelokkan aku untuk mencoba pekerjaan yang lain. Namun hanya 2 tahun, karena aku merasa tidak nyaman dengan pekerjaan tersebut ditambah lagi ayahku menyurunku kembali ke profesi semula.Â
 Maka Aku melanjutkan profesiku kembali (2007).  Aku diterima mengajar di salah satu Pondok Pesantren di wilayah Depok (Al Nahdlah). Yang saat itu baru berjalan pembelajaran  satu tahun.
Saat itulah kehidupan yang kujalani berbeda dengan sebelumnya yang kental dengan kegiatan keagamaan. Aku dipertemukan dengan guru-guru hebat , santriwan dan santriwati yang insyaallah sholih dan sholihat,  yang  tawadhu' kepada  guru. Mungkin ini karena do'a dan ridho dari guru-guruku sebagai orang tua setelah orang tua kandungku.
Dari sinilah aku mulai ada tawaran mengajar di PTS yang berbasis Pondok pesantren. Aku bertemu dengan dosen-dosen yang secara tidak langsung memotivasi aku belajar agama  lebih dalam lagi.Â
Aku memaknainya itulah pesan-Nya yang harus aku jalani. Aku harus syukuri itu. Dekat dengan orang-orang sholih dan sholihat  agar ikut menjadi sholih atau sholihat. Karena untuk melihat siapa kita lihatlah orang-orang di sekitar kita.
Belajar dan terus belajar adalah keniscayaan yang harus dilakukan seorang guru. Guru mengajar sekaligus  pembelajar. Belajar sepanjang hayat ("life long education")  itulah yang dilakukan oleh guru.
Selamat Hari Guru Nasional 2020
oleh Yunia Kusminarsih
#Bangkitkansemangatwujudkanmerdekabelajar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H