Mohon tunggu...
Yuni Retnowati
Yuni Retnowati Mohon Tunggu... Dosen - Biarkan jejakmu menginspirasi banyak orang

Dosen komunikasi penyuka film horor dan thriller , cat lover, single mom

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Jejak Rasa (Bagian 2)

6 Juni 2020   08:30 Diperbarui: 6 Juni 2020   08:38 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sore itu suasana rumah sungguh jauh berbeda dari hari biasa. Sejak  siang tadi Panji merapikan seisi rumah sebelum membersihkan lantai dan kaca-kaca jendela. Bahkan dia rela memakai uang sakunya untuk membeli pengharum ruangan yang dipasang di ruang tengah. Larasati terheran-heran melihat perubahan mendadak yang terjadi pada Panji. Apalagi dia kemudian menyiapkan bahan-bahan untuk memasak dengan meminta tambahan uang dari Larasati.

          "Ada temanku dari Jepang yang nanti  mau ke sini. Aku mengundangnya makan malam di sini," Panji menerangkan dengan riang gembira.

          "Kamu mau masak apa?" Larasati ingin tahu.

          "Cap jay , sapi lada hitam, fuyung hai  dan agar-agar kelapa muda," dengan penuh semangat dia menjelaskan apa saja yang akan disiapkan untuk menyambut kedatangan teman yang nampaknya istimewa untuknya.

"Berapa orang?"

"Yang dari Jepang satu, yang lain teman-teman kuliahku. Mungkin lima atau enam orang ."

"Perlu bantuan?" Larasati menawarkan diri.

"Nggak usah Mbak. Tining dan Lukman yang mau membantu memasak. Sebentar lagi mereka datang."

Larasati tak ingin bertanya lebih jauh. Teringat waktu Daniel menyarankan Panji agar mencari teman di situs pertemanan agar bisa mendapatkan teman dari Jepang yang seusia dengannya. Dengan begitu dia bisa melatih kemahirannya berbahasa Jepang. Barangkali Panji telah mengikuti saran Daniel dan berhasil mendapatkan teman-teman baru dari Jepang. Bukankah Panji pernah berkeinginan menikah dengan perempuan Jepang ?

"Temanku itu namanya Camia Korinobu, kelihatannya bukan seratus persen Jepang. Mungkin ada campuran Eropa. Matanya coklat  tapi agak sipit dan hidungnya mancung. Lihat saja nanti Mbak!"

"Kamu kenal di mana?" tak tahan juga Larasati untuk mengetahui proses perkenalan Panji dengan gadis Jepang itu.

"Dikenalkan Dita, teman SMA-ku. Waktu SMA Dita ikut pertukaran pelajar ke Jepang dan  satu kelas dengan Camia. Sekarang Dita kuliah di Jakarta . Camia sudah bertemu Dita di Jakarta tapi ingin  jalan-jalan ke Yogya juga. Katanya kakaknya baru saja  diterima bekerja di sini," dengan sangat runtut Panji menceritakannya.  Memberikan banyak informasi melebihi harapan Larasati.

Karena Panji tidak mengharapkan bantuannya, Larasati bebas menikmati waktu istirahatnya sepulang kerja. Sudah menjadi kebiasaannya untuk berbaring sebentar sebelum mandi.  Setelah badan bersih dan berganti pakaian rumahan yang nyaman,  segelas teh panas dan kue-kue tradisional akan menemaninya hingga malam tiba. Sangat jarang dia makan malam yang berat. Lebih suka hanya makan buah--buahan kecuali ada teman yang mengajaknya makan di luar rumah. Tapi malam ini pasti akan lain  jadinya karena Panji  mengundang teman-temannya makan malam.

"Berarti Camia nanti ke sini bareng Kakaknya juga?" Larasati ingin memastikan berapa banyak tamu yang akan datang nanti dan melihat apakah jumlah makanan yang dibuat Panji mencukupi.

" Iya, kelihatannya  Mbak.  Emily, Kakak Camia , bekerja sampai jam lima. Kalau nanti makan malam jam tujuh, dia bisa ikut ke sini."

"Nama mereka tidak seperti nama orang Jepang," gumam Larasati.

"Iya, karena orangtuanya campuran. Emily, malah lebih cantik Mbak karena matanya tidak terlalu sipit seperti Camia. Dia tinggi juga dan rambutnya coklat asli. Kalau Camia rambutnya dicat coklat."

Larasati semakin penasaran ingin segera bertemu mereka. Dua anak perempuan hasil pernikahan campuran antara perempuan Jepang dan laki-laki Eropa. Ingatan Larasati segera kembali pada Daniel. Dia menyebutkan nama kedua anak perempuan itu ketika  mengisahkan kehidupan rumah tangganya dengan perempuan Jepang dalam perjalanan pulang dari Borobudur ke Yogya. Nama-nama Eropa bukan nama Jepang namun saat ini Larasati tak ingat lagi. 

Tentu saja anak-anak itu tak akan secara terbuka menceritakan kedua orangtuanya kalau nanti dia mencoba menanyakannya. Lagipula  tidak etis menanyakan latar belakang keluarga pada pertemuan pertama. Dirinya pun enggan berbagi rasa dengan Panji tentang kemungkinan bahwa kedua gadis Jepang itu bisa saja anak-anak Daniel. Barangkali Panji sudah melupakan pembicaraannya dengan Daniel tentang kedua anak perempuannya tiga tahun lalu.

Komunikasi yang terjalin dengan Daniel masih seperti dulu. Tidak intensif dan respon yang didapat hanyalah kalimat-kalimat pendek sekalipun dia mencoba mendahului dengan menulis pesan yang lebih panjang menceritakan beberapa hal menarik  dari kehidupannya sehari-hari. Daniel terbiasa menulis hanya tiga atau lima kalimat untuk menyatakan betapa sibuknya dia dengan pekerjaannya di atas kapal. 

Kalaupun pekerjaannya itu telah selesai dan dia mendapatkan satu bulan liburan, dia akan menulis dengan terburu-buru untuk menjelaskan rencana liburannya lalu menghilang tanpa kabar hingga beberapa bulan. Setelah lama tak ada kontak di antara mereka, biasanya dia hanya akan berbasa-basi menanyakan kabar Larasati. 

Sementara itu, kartu pos berisi puisi yang pernah dikirimkannya dulu tak pernah mendapat tanggapan. Entah dibaca, dimengerti lalu diabaikan begitu saja atau tak pernah dibaca sama sekali, Larasati tak pernah  tahu. Dia merasa sangat malu sekarang karena telah mengirim puisi pengungkapan cinta  beberapa hari sebelum Daniel secara resmi mengganti statusnya menjadi in relationship.

Suara teman-teman Panji yang berdatangan mulai meramaikan suasana rumah yang biasanya diwarnai alunan music tanpa banyak suara manusia. Larasati menikmati istirahatnya sedangkan perhatian Panji lebih sering tertuju pada layar monitor komputer. Dia sedang menyusun skripsi tetapi di sela-sela keseriusannya menulis skripsi itu dia seringpula main game atau menggambar sketsa wajah  di lembaran kertas manila menggunakan pensil 3B.

Sekitar setengah tujuh , Camia dan Emily  datang.  Benar  kata Panji, keduanya berhidung mancung  seperti  orang Eropa. Mata Camia memang agak sipit meskipun bola matanya berwarna coklat sedangkan Emily yang jauh lebih tinggi darinya menunjukkan  postur tubuh dan wajah Eropa. Meskipun demikian kesopanan orang Jepang  melekat kuat pada keduanya yang sering membungkukkan badan untuk menghormati Larasati yang dianggap orang tua. 

Bahasa Inggris Camia juga masih kental dengan aksen Jepang sehingga terdengar lucu. Sementara Emily selalu menggunakan bahasa Indonesia. Sudah sangat lancar setelah belajar bahasa Indonesia selama enam bulan. Tetapi masih saja kesulitan mengucapkan beberapa kata.

"Kami tinggal di Nagoya," Emily  menjawab pertanyaan Larasati tentang tempat tinggal orangtuanya lalu mulai bercerita tentang kota Nagoya. Teman-teman Panji mendengarkan dengan antusias tetapi Larasati  tidak tertarik. Dia hanya ingin tahu apakah kedua gadis hasil perkawinan campuran ini memang anak-anak Daniel.  

Apa saja bisa terjadi setelah bertahun-tahun. Mungkin mereka pindah ke kota lain dan Daniel tidak pernah tahu. Bukankah mereka telah putus kontak sekian lama? Sebenarnya mudah saja baginya untuk menyelidiki asal-usul kedua gadis itu kalau saja dia mau melakukannya. Cukup bertanya tentang Osaka lalu terungkaplah semuanya. Tetapi untuk apa melakukannya ? Daniel  sudah tidak lagi peduli pada masa lalunya dan bahkan tidak lagi berusaha menemukan anak-anaknya.

" Ayo kita makan sekarang!" ajak Panji yang segera disambut riang oleh teman-temannya. Dia membawa mereka ke ruang makan yang meja makannya hanya memiliki empat kursi.

"Kita makan di bawah saja!"  Lukman mengusulkan.

"Bagaimana Camia?" Panji meminta persetujuan.

"Oke, tidak apa-apa. Orang Jepang suka duduk di bawah," sahut  Camia  sambil melihat lantai putih rumah Larasati.

"Sebentar, aku ambilkan tikar dulu!" seru Panji sebelum menghilang ke kamarnya. Tak lama kemudian dia kembali dengan gulungan tikar plastik warna biru lalu menggelarnya dibantu dua temannya.

Mereka semua duduk di bawah setelah mengambil makanan dari meja makan.  Sebenarnya Larasati  merasa canggung untuk bergabung dengan anak-anak muda itu tetapi Panji mengajaknya makan bersama. 

Agar  rasa canggung itu hilang, dia segera mengakrabkan diri dengan teman-teman Panji lewat obrolan ringan seputar  musik dan film.  Bahkan Camia dan Emily  tak menyangka kalau Larasati  tahu Uverworld, grup rock Jepang  yang disukai banyak anak muda di sana.

"Itu musiknya seperti J-Rock ," ujar Panji .

"J-Rock yang mengikuti dia ," potong Tining cepat.

"Uverworld dibentuk 2005 , kalau J-Rock  lahirnya 9 November 2003," Panji menunjukkan bukti siapa yang lebih dulu.

"Iya, percaya saja Ning, dia anggota J-Rock Star," Lukman menengahi.

Camia meminta Panji memutarkan  lagu-lagu J-Rock. Dia dan Emily mendengarkan beberapa saat  lalu saling  melempar senyum. Setelah itu keduanya berbicara dalam bahasa Jepang sambil mengangguk-angguk. Teman-teman Panji yang lain menunggu kalimat yang akan diucapkan.

"Bagaimana ?" Tining mendesaknya untuk berkomentar.

"Iya, memang mirip. Genre musiknya sama," Emily yang memberikan ulasan.

Pembicaraan mereka pun beralih ke anime, model rambut, fashion  dan makanan Jepang.  Meskipun mereka menyudahi makan malam , pembicaraan tentang Jepang masih terus berlanjut.  Lagu J-Rock  pun diganti dengan lagu-lagu dari grup band Jepang lainnya seperti Versailles, Luna Sea dan No Regret Life. Panji nampaknya sengaja ingin menunjukkan selera musiknya kepada kedua gadis Jepang itu. Tidakkah dia teringat sekejap saja pada Daniel dan dua anak perempuannya yang masih tinggal di Jepang dengan Ibunya.

"Kalian aku tinggal dulu ya !" pamit Larasati pada teman-teman Panji. "Ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan malam ini."

Di dalam kamarnya dia tidak melakukan apa-apa kecuali melihat kembali foto-fotonya dengan Daniel tiga tahun lalu ketika mengajaknya menonton Ramayana Ballet, lava tour, menikmati sunrise di Borobudur dan sunset di Prambanan serta jalan-jalan di sepanjang Malioboro untuk membeli souvenir.  

Semua itu begitu jelas hadir di depan matanya. Ingin mengulangnya kembali meskipun kemungkinannya sangat kecil. Daniel  tak beda dengan kapal yang membawanya hilir mudik dari satu dermaga ke dermaga lain. Tak pernah menetap lebih dari satu bulan di satu tempat. Dia sudah berkeliling di berbagai negara. Terakhir dia mengabarkan sedang di Irlandia dan akan ke Afrika usai liburan bulan ini.

Laptop dinyalakan dan mulai menyambung ke situs pertemanan tempat mereka bertemu. Sejenak dia termangu  menatap  inbox pesan yang tak menunjukkan adanya pesan baru. Diklik  deretan pesan antara dia dan Daniel  yang sudah dibaca semuanya. Sejenak dia ragu antara menulis pesan baru atau hanya mengulang membaca pesan-pesan lama yang tak pernah dihapusnya. 

Sebenarnya dia ingin menceritakan Emily dan Camia kepada Daniel, tetapi ditahannya. Belum tentu juga Daniel akan tertarik pada ceritanya. Siapa tahu dia malah ingin melupakan  kedua anak perempuannya. Meskipun itu sungguh keterlaluan, tetapi kemungkinan seperti itu tetap ada.

Kehadiran Daniel yang hanya sesaat itu bagaikan penghiburan bagi kesendiriannya yang sudah terlalu lama. Semula dia mengira Tuhan telah mengirimkan lelaki yang tepat untuknya. Pendamping hidup yang sudah lama dinantikan.  Jodoh yang dicarinya sekian lama tiba-tiba datang kepadanya. 

Sungguh riang dia menyambutnya hingga bahagia layak melingkupinya ketika berjumpa dengan lelaki dari negeri kiwi itu. Tanpa bisa dicegah, dia mulai berandai-andai jika kelak menempuh hidup bersama lelaki itu.  Tinggal di negeri asing bersama lelaki yang dicintainya  bukan masalah baginya. Lantas segera saja semuanya musnah begitu dia tahu Daniel telah menjalin hubungan istimewa dengan Persian girl  yang foto-fotonya mulai mendominasi album di situs pertemanan mereka.

Tidak ada yang salah dengan semua kejadian itu. Takdir nampaknya tidak berpihak padanya jika berhubungan dengan lelaki dan pendamping hidup. Jodoh menjelma menjadi kosa kata asing yang tak dipahami artinya. Bahkan semiotika pun tak mampu mengurai makna kata jodoh jika dikaitkan dengan  dirinya. Jika saja dia punya kuasa untuk menghapus kosa kata itu dari kamus, dia akan  senang dan tenang dalam kesendiriannya.  

Entah apa yang salah pada dirinya hingga nampaknya peluangnya begitu kecil untuk mendapatkan cinta lelaki. Dari dulu selalu kalah dan ditinggalkan. Bagaimana memenangkan hati lelaki masih menjadi teka-teki baginya. Semua teman lelaki terkesan sangat biasa baginya hingga tak mampu menumbuhkan cinta. Sebaliknya jika dia menyemai cinta di hatinya maka selalu berujung kecewa karena yang dipuja sudah ada yang punya. Jalan mendapatkan cinta sungguh berliku tajam dan entah akan berujung di mana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun