"Sebaiknya begitu Tia," sahut Dovi.
"Atau biar dia berpikir dulu?" Andika mengajukan pertimbangan.
"Ah, jangan," kata Dovi. "Jangan terlalu lama menggantung harapan seseorang yang sangat mencintaimu."
Fariz tersipu mendengar ucapan Dovi. Sebenarnya dia sudah tak sabar ingin segera mendapat jawaban tapi juga tidak ingin memaksa Fatia untuk menjawab sekarang jika memang masih ada keraguan.
"Atau kamu perlu sholat istikharoh dulu?" goda Andika.
"Mungkin juga ," balas Fatia dengan wajah dibuat pura-pura serius.
Angin bertiup perlahan tapi cukup menebarkan hawa panas ke sekelilingnya. Mereka sama sekali tidak merasa terganggu. Hanya saja Fariz merasakan udara menjadi lebih panas hingga keringat mulai membasahi dahinya. Diseka dengan punggung tangannya.
"Bagaimana Fatia?" Fariz merasa diuji kesabarannya. "Kamu mau menerimaku menjadi pacarmu?"
Sejenak tak ada suara kecuali risik dedaunan pohon ketapang yang meneduhi mereka. Fatia menunduk  seperti mencari jawaban. Namun dasar hatinya yang terdalam akan memberikan isyarat. Layakkah dia mempersembahkan cintanya untuk Fariz.
Apa yang kurang dari Fariz? Dia hampir tanpa cacat. Tidak pernah melakukan pelanggaran di sekolah. Selalu masuk ranking sepuluh besar di kelas. Satu hal yang paling utama adalah ibadahnya yang bisa menjadi teladan bagi semua teman di sekolahnya. Sesekali Fatia melihatnya menjadi imam sholat di mushola. Mengumandangkan adzan menjelang sholat Jumat juga sering dilakukan. Alunan suaranya syahdu menggetarkan kalbu. Â Apa lagi yang harus dipertimbangkan?
"Tia, kamu tahu nggak? Fariz sudah minta ijin Ayahnya untuk nembak kamu lho," goda Andika  yang langsung ditanggapi  Fariz dengan wajah bersemu merah.