Ibu Kota Negara Nusantara atau bisa disebut dengan IKN telah menjadi perbincangan masyarakat akhir-akhir ini. Hal ini dikarenakan adanya rencana pemindahan IKN yang dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Namun, tahukah Anda bahwa ide pemindahan ibu kota negara pertama kali dicetuskan oleh Presiden Soekarno? Di masa pemerintahannya, Presiden Soekarno memilih Palangkaraya yang merupakan ibu kota dari Provinsi Kalimantan Tengah sebagai ibu kota negara. Alasannya, karena Palangkaraya berada di tengah kepulauan Indonesia dan wilayahnya luas. Sayangnya, ide tersebut tidak terwujud. Pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemindahan ibu kota negara kembali diwacanakan karena banjir dan kemacetan sering terjadi di Jakarta.Â
 Pemindahan ibu kota negara baru dilaksanakan oleh Presiden Joko Widodo. Rencananya ibu kota baru akan didirikan di daerah Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara di Provinsi Kalimantan Timur. Tujuan dari pemindahan IKN ini tak lain untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan merata. Akan tetapi, ada beberapa masalah yang harus diselesaikan sebelum mendirikan ibu kota negara Nusantara, seperti hutan dan lahan yang perlu direhabilitasi, serta lubang bekas tambang sebanyak 149 lubang yang perlu direklamasi.
 Hutan dan lahan yang ada di Kalimantan perlu direhabilitasi karena konsep yang direncanakan untuk ibu kota baru nanti adalah Kota Hutan. Yang dimaksud dengan Kota Hutan adalah kawasan yang berada di dalam atau sekitar perkotaan yang ditutupi oleh pepohonan yang dibiarkan tumbuh secara alami menyerupai hutan dan tidak tertata rapi seperti taman. Selain untuk memenuhi tuntutan konsep, rehabilitasi hutan dan lahan yang ada di Kalimantan dapat menciptakan keseimbangan bagi ekosistem. Ruang terbuka hijau juga bisa dijadikan tempat daur ulang karbondioksida menjadi oksigen perkotaan. Selain itu, dengan adanya pepohonan di sekitar ibu kota yang baru, bencana alam seperti banjir, tanah longsor, dan lain sebagainya dapat dicegah.Â
 Rehabilitasi hutan dan lahan bisa dilakukan secepatnya jika pemerintah dan masyarakat sekitar bisa saling bahu-membahu dalam mewujudkan program tersebut. Rencananya hutan tersebut akan ditanami berbagai jenis tumbuhan, antara lain kayu nyatoh, meranti, kapur, gaharu, hingga jambu-jambuan. Oleh karena itu, hutan ini tidak akan menjadi hutan monokultur yang homogen, melainkan hujan tropis.
 Selain melakukan rehabilitasi hutan dan lahan, reklamasi area tambang yang sudah ditinggalkan pun perlu dilakukan. Menurut Deddy Erfandi, pengelolaan lanskap pada lahan bekas tambang tidak terlepas dari tindakan konservasi tanah. Hal ini ditujukan untuk pencegahan erosi maupun aliran permukaan. Selain itu juga untuk memulihkan dan meningkatkan kualitas tanah di wilayah tersebut. Upaya untuk mencapai tujuan tersebut dapat dilakukan dengan pembangunan sumber bahan organik in-situ, seperti rotasi tanaman, pengembalian sisa tanaman, penggunaan mulsa tanaman, tanaman penutup tanah, dan tanaman pagar.
 Keberhasilan upaya-upaya tersebut dapat tercapai apabila adanya dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, persuhaan di sektor tambang, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), maupun masyarakat setempat. Karena dibutuhkan sebuah koordinasi yang baik mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaanm hingga memantau program rehabilitasi dan reklamasi ini. Begitu juga dengan evaluasi yang harus dilaksanakan secara berkala untuk mengetahui tingkat keberhasilan dari program tersebut. Karena program rehabilitasi hutan dan lahan bekas tambang dalam pemindahan IKN adalah upaya penting untuk menjaga keseimbangan lingukungan hidup di masa yang akan datang.
Sumber:Â
Erfandi, Dendy. 2017. Management of Mined Land Landscape: Land Rehabilitation with Utilization of Local Resources (In-Situ)Â
https://rimbakita.com/hutan-kota/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H