Aku sendiri belum bisa tertidur. Kubuka kembali gawai. Ada pesan masuk dari guru anakku. Ia berjanji akan menjelaskannya esok hari. Aku meminta penjelasan singkat agar tidak salah menyikapi kejadian ini terhadap anakku dan terhadapnya. Beliau akhirnya mau menjelaskan. Sebenarnya pentas berjalan lancar, bahkan anakku ikut membantu gurunya yang juga sutradaranya dalam membantu mengkoordinir teman-temannya yang akan tampil. Sampai pada satu saat, anakku sedang berdiri di sisi belakang panggung dan sang guru berdiri di sisi panggung yang lain. Ia menanti gilirannya dipanggil naik ke panggung.
 Saat itupun ia masih mengurusi teman-temannya sambil menunggu gilirannya. Ia membantu menarik layar, dan lain sebaginya. Ia memang anak yang mudah diajak kerja sama. Ia bisa diandalkan. Setelah ia tersadar harusnya ia sudah naik ke panggung tapi tidak juga dipanggil, anakku mendekati sutradara dan bertanya kapan ia dipanggil...saat itulah puncak kekacauan terjadi. Scene bagiannya terlewat! Alur cerita sudah hampir selesai. Dan kemudian pentas diselesaikan lebih cepat.
Anakku gagal naik panggung. Lagu Kebangsaan mengalun tanpa kehadiran WR Supratman. Gurunyapun tidak kalah kecewanya. Mengapa jadi begini. Â Anakku dan gurunya sama-sama terluka.
 Bagiku jelas sudah duduk permasalahannya. Tidak ada yang perlu dipersalahkan. Semua sudah berusaha menjalankan tugasnya masing-masing. Hanya takdir Allah berkata lain. Anakku terpilih menerima pelajaran lain yang insya Allah jauh lebih berharga. Jika yang lain sedang larut dalam eforia kesuksesan pentasnya, anakku harus belajar bahwa diatas segala rencana dan usaha, ada Allah Yang Maha Menentukan hasil. Ia diberi kesempatan untuk menghadapi kekecewaan, yang cukup berat.
Aku berusaha berbicara dengannya hati-hati, agar ia tidak larut dalam kesedihan dan kebencian. Agar percaya dirinya kembali tumbuh. Aku menekankan lagi padanya tidak ada yang sia-sia terhadap apa yang telah ia pelajari, apa yang telah ia lakukan, juga latihan-latihan yang sudah ia jalani sepenuh semangat. karena ilmu adalah abadi. Hikmah takkan bisa dibeli.
Keesokan harinya, aku biarkan anakku bertemu gurunya. Mereka bicara empat mata. Sebagai guru dan muridnya. Sebagai sutradara dan aktornya. Sebagai dua orang laki-laki. Membiarkan mereka saling memahami dan memaafkan. Melebur luka. Membuang bergunung emosi. Hingga tidak ada lagi trauma. Hingga tak ada lagi prasangka. Karena perjalanan masih panjang. Bersyukur akhirnya semua bisa melepaskannya. Mereka sudah sama-sama mengikhlaskan. Dan siap berkarya lagi dengan semangat.
 Terkadang hikmah itu datang dalam kekecewaan, luka yang mendalam atau kegagalan. Semua adalah bentuk ujian dari Allah, agar kita menjadi manusia yang tetap menyandarkan segala sesuatunya kembali pada Allah. Agar tidak ada kesombongan atas segala sempurnanya usaha. Agar dirimu siap dengan kegagalan dan kekecewaan. Sebab betapa banyak sekarang anak-anak yang rapuh, yang tidak siap dengan kegagalan hingga dengan mudah mengakhiri hidupnya hanya karena mengalami kegagalan yang selama hidupnya belum pernah ia rasakan. Agar kita menjadi pribadi yang tangguh dalam kerendahan padaNya.
Nak, bersiagalah. Kamu sedang dipersiapkan untuk menjadi manusia kuat. Manusia tangguh. Kamu akan menjadi pemimpin yang bijak, adil dan menyayangi. Amin.
Kamu yang terpilih Nak.
Dan pilihanNya selalu tepat.
Semoga Allah selalu memberkahimu.
Lukanya sedalam cintanya, pada kesungguhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H