Mohon tunggu...
Dr Yundri Akhyar
Dr Yundri Akhyar Mohon Tunggu... Dosen - menulis, menulis dan menulis

menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Teknologi Jadi Ulama

27 Desember 2021   19:29 Diperbarui: 27 Desember 2021   19:33 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

A. Ulama bukan Sekedar Muballigh

Banyak yang mahir berceramah di masjid, mushala, aula atau lapangan dan dihadiri berbagai kalangan usia, mulai dari kalangan anak-anak hingga orangtua. Pengajian ini dilakukan biasanya pada momen-momen tertentu, seperti isra` mi`raj, maulid Nabi, penyembutan tahun baru hijriyah, penyambutan bulan suci ramadhan, kemudian ada kultum setiap malam ramadhan. 

Pada momen ramadhan seperti ini banyak muballigh bermunculan, apalagi setiap malam bulan ramadhan ribuan muballigh di setiap daerah diturunkan oleh beberapa lembaga dakwah, akan tetapi muballigh-muballigh tersebut tentu belum tentu semuanya ulama. Namun apakah salah muballigh yang belum ulama menyempaikan pengajian? 

Jawabannya tidak salah, karena Rasulullah Saw saja menyuruh menyampaikan dakwah itu meskipun satu ayat. Maka muballigh yang belum sampai pada tingkat ulama juga perlu terus bersemangat memberikan dakwahnya agar syi`ar agama Islam ini tetap berkembang baik di kota-kota maupun di kampung-kampung.

Namun muballigh untuk sampai pada tingkatan yang disebut ulama perlu perjuangan besar, karena penguasaan ilmu agamanya mesti kokoh, konsisten dalam berpendapat, kredibel, dan bisa jadi panutan bagi ummat. 

Maka tidak semua orang yang menguasai ilmu agama layak disebut alim atau ulama. Sebab predikat alim ulama itu dilekatkan kepada orang yang menguasai ilmu agama secara mendalam dan secara sosial layak menjadi panutan masyarakat. Ia dinilai kredibel dan konsisten dalam mengamalkan mengejarkan ilmu agama tersebut.

Biasanya pada tahap muballigh yang bukan ulama biasa hanya berceramah pada waktu-waktu tertentu saja, tidak membuka kajian rutin di tempatnya, tidak punya silabus yang jelas untuk jamaahnya, bahkan tidak menguasai ilmu alat (qawa`id), tentu tidak bisa membaca kitab gundul. 

Berbeda pada tahap yang disebut alim ulama tentu ia  menguasai tata bahasa Arab (qawa`id), sehingga bisa   membaca kitab gundul sebagai sumber ilmu agama Islam yang akan ia sampaikan ke jamaah atau murid-muridnya, serta istiqomah membuat kelompok pengajian di rumahnya atau di masjid yang ia bina, sehingga jamaah banyak berdatangan menimba ilmu kepadanya, bertanya, dan mendiskusikan ilmu agama di tempat tersebut. Kemudian sekali-kali ia tetap keluar mengisi pengajian di tempat lain.

Jadi ulama itu konsesten dan taat mengamalkan ilmu agama dan mengajarkannya kepada murid-muridnya, jika malas membimbing jamaahnya tidak serta merta menggugurkan gelar keulamaan. Mungkin hanya akan kurang berkah saja, atau ulama itu akan kehilangan marwahnya di mata umat. Dan itulah hukuman sosial paling berat bagi seorang ulama. 

Oleh karena itu, menjadi ulama berat, tentu keutamaannya juga sungguh luar biasa pula. Untuk menjadi ulama tentu bukan proses sehari dua malam, dengan mantra sim salabim, tentu mempertahankan marwahnya mesti dengan ketabahan dan kesabaran pula.

Perlu juga diketahui bahwa dalam sejarah Indonesia, ulama memang umumnya muncul dari pesantren. Itu soal spesialisasi saja. Analoginya, lulusan jrusan ekonomi diasumsikan akan menjadi ekonom, jebolan jurusan sosiologi cenderung akan menjadi sosiolog. Sedangkan lulusan Psikologi menjadi psikolog, lulusan bimbingan konseling menjadi konselor, dan lain-lain. Namun semua gelar dan asumsi yang berat dalam kehidupan masyakarat Islam adalah ulama. 

Maka banyak masyakarat Islam menginginkan anak-anaknya menjadi ulama, karena keutamaan dan manfaatnya untuk mengatasi persoalan ummat luar biasa.

B. Berikan Nafkah Terbaik untuk Calon Ulama

Jika ada orang yang bertanya tentang apa infaq terbaik, maka sampaikan bahwa infaq terbaik adalah nafkah yang halal yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan anak. Kenapa? Karena di dalamnya terkadung usaha mencapai tiga dimensi amal yang tidak terputus, yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shaleh mendoakan orangtuanya (Ibnu Sotopo Yuono).

Dengan demikan, kirimlah harta yang terbaik, yang terbersih yang terhalal untuk anak yang sedang menuntuk ilmu di pesantren, karena jika seseorang memakan makanan yang halal dan bersih, tentu hatinya akan tenang, ringan dalam belajar dan mengamalkan mengamalkan agama dan bisa jadi ulama.

 Namun sebaliknya jika makanan yang haram dan syubhat yang diberikan kepada anak, tentu ia merasa berat dan malas menjalankan agama, pikirannya tidak fokus dan hatinya gelisah tidak tenang. Sungguh beruntunglah anak yang orangtuanya perhatian terhadap makanan anaknya, ia memang betul-betul serius memperhatikan jangan sampai anak memakan makanan syubhat apalagi haram.

C. Menghindari Makanan Haram sebagai Teknologi Menjadi Ulama

Dasar teknologi agar anak jadi ulama itu adalah menjaga makanannya, jangan ada memakan makanan yang haram, maka seorang ayah mesti menjaga diri dan keluarganya dari makanan yang haram, kemudian sebagian rezeki yang didapatkan disedekahkan pada fakir miskin dan membantu anak-anak yatim, membantu lembaga pendidikan agama, dan kebaikan lainnya. Ini dasar tekhnologinya seorang ayah menjadikan anak menjadi ulama.

 Membina anak menjadi ulama yang shaleh bukan mudah, perlu dukungan orangtua, halal haram mesti diperhatikan, anak mesti dilatih untuk hidup sederhana, dibimbing baik-baik, lurus dalam kehidupan keluarganya tidak miring, amalkan agama dalam keluarga, dijauhkan dari virus-virus dunia yang membuat anak lalai, perbanyak pengorbanan, perbanyak doa, masukkan anak ke pesantren jangan ke sekolah umum, pesantren itu jalannya. Apabila anak telah jadi ulama, sungguh nikmatnya akan terasa luar biasa. Seorang ulama tentu nilai dan harganya mahal dibandingkan dengan orang-orang awam, ia akan bisa menjadi payung besar, pembina  dalam keluarga, masyarakat dan agama.

D. Belajar dari Kisah Maulana Yakub

 KH. Uzairan pernah bercerita, kata beliau dulu itu ada ulama yang namanya Maulana Yakub, beliau berdoa kepada Allah agar perutnya jangan dimasuki makanan haram akhirnya dikabulkan oleh Allah. Jika ada makanan yang haram dimasukkan ke mulutnya itu cuman berputar-putar saja tidak masuk masuk. 

Suatu hari beliau diundang makan oleh santrinya dan santrinya ini adalah seorang polisi ini bukan berarti bukan menceritakan  di kepolisian haram rezekinya. Ini  cerita polisi zaman dulu, muridnya yang polisi ini banyak serabut sana serabut sini padahal dia mengerti agama, pada suatu hari santri jadi polisi ini akhirnya terpikir mau mengundang kyainya ke rumah, maka ia siapkan makanan yang betuk-betul halal maka dia bekerja sebagai polisi itu sampai jam 3 sore setelah itu dia lembur cari pekerjaan lain di luar yang betul-betul halal itu disimpan uangnya sedikit-sedikit terus diberikan kepada istrinya dengan menjelaskan pilahannya, ini uang yang bekerja sebagai polisi yang bercampur dengan uang-uang syubhat dan ini uang dari bekerja lembur khusus halal 100%. 

Karena saya mau ngundang guru saya, maka siapkan ini makanan semua uangnya dari sini dan kamu jangan pakai piring, jangan pakai napan, jangan pakai kompor yang ada di rumah ini sudah banyak subhat, nanti Maulana Yakub tidak mau makan bahkan kayu untuk memasak pun jangan dicampur dengan uang syubhat, beli khusus pakai uang hasil kerja saya yang halal dan setelah disiapkan semua, akhirnya santri itu datang mengundang Maulana Yakub untuk  makan di rumahnya. 

Maulana Yakub ini tahu santrinya ini polisi ia khawatir ada makanan yang diragukan, ia mengatakan ke santrinya itu,  kenapa sih capet-capek mengundang saya, tidak usahlah. Muridnya menjawab, tidak syekh, ini sudah saya siapkan makanannya yang betul-betul halal bukan dari pendapatan yang tidak halal. Akhirnya Maulana Yakub menghargai undangan santrinya, iya lah. Kapan? Kata Maulana, besok kata santrinya. Keesokan harinya datanglah Maulana Yakub, makanan pun disiapkan. 

Namun ketika makanan dimasukkan oleh Maulana Yakub ke mulutnya, makanan itu hanya berputar-putar saja dimulutnya itu tidak bisa masuk. Akhirnya dibuang diletakkannya di bawah sutrah. Beliau berkata, saya sudah memenuhi undanganmu, tetapi saya tidak tahu kenapa makanan ini tidak bisa masuk ke perut saya, maaf ya ini bukan mau saya memang saya tidak tahu, saya minta maaf ya. Sudah ya saya pamit untuk pulang.

Setelah Maualana Yakub pulang, polisi itu memanggil istrinya, ia berkata, kenapa ya Maulana Yakub tidak masuk makanan yang kita hidangkan ke perutnya, hanya berputar-putar di mulutnya, itu berarti ada makanan haram. Padahal semua yang kita masak baik wadah bahkan kayunya sudah kita istimewakan. Insya Allah halal seratus persen tetapi kenapa tidak bisa masuk ke perut guru saya. Ini pasti ada masalah.

 Istrinya mengatakan, demi Allah sudah saya lakukan dan carikan yang sebaik-baiknya sesuai dengan arahan. Lalu suaminya bertanya, siapa yang kamu suruh membeli daging? Istrinya menjawab, yang membeli daging pembantu kita. Suaminya berkata, mungkin di sini masalahnya. Suaminya bertama ke pembantu, kamu yang beli daging untuk jamuan Maulana Yakub kemaren? Benar, jawab pembantu. Coba ceritakan bagaimana proses kamu membeli daging tersebut, pinta polisi.

Lalu sipembantu menceritakan apa adanya. Begini Pak, awalnya saya membeli daging dengan uang dari ibu, yang uang khusus itu tetapi setelah saya membeli daging, daging itu jatuh di selokan, karena dagingnya jatuh saya ambil tetapi sudah kotor. Saya membeli lagi dari uang yang biasa dari Bapak. Ooo inilah sebabnya, sahut polisi itu. Dia terbayang bahwa uang yang biasa darinya adalah uang yang tidak jelas. Banyak dari hasil sikut kanan kiri.

Cerita di atas hanyalah contoh. Haram itu bukan hanya pada polisi. Petani yang mencuri kayu juga haram, takmir masjid yang mengambil uang dari kotak infaq untuk pribadi juga haram, penggungjawab yatim piatu yang berlebihan mengambil upah mengurus yatim piatu juga haram. Jadi profesi apa saja, jika dijalani tetapi tidak mengikuti ketentuan yang ditetapkan agama bisa jatuh pada yang haram, maka mesti berhat-hati agar tidak memakan makanan yang diharamkan baik haram secara maknawi maupun haram secara zat, agar kita dan keturunan kita bersih, mau tenang dalam menuntut ilmu agama dan taat kepada Allah SWT.

Pekanbaru, 27 Desember 2021

Pimpinan Pesantren Al-Kifayah Riau

Dr. Yundri Akhyar, M.A

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun