Ketika penghapusan perbudakan menjadi isu-isu besar pada kurun abad 16 di bagian Afrika, Para pemikir dan sastrawan mencari satiristik frontalis dengan berbagai anekdot dan mimi keilmiahan. Era dimasa lampau stratifikasi diusingkan kepada para raja, si kaya, si kuat dan si penguasa.
Stratifikasi ada dari rasa ingin mendominasi, dihormati Namun sejenak berfikir, apakah benar-benar, baru pertengahan pada era restoration yang dikenal dengan revolutionary ide tetap masih ada, atau benar-benar ada? Atau berputar plot menjadi tidak ada.
Sejenak kita melihat, dalam beberapa spectrum "yang muda menghormati yang tua, dan yang tua menghormati yang muda", dalam persepsi moral hal ini menjadi suatu yang sakral dan sangat penting bagi budaya daerah tertentu, sebenarnya implementasi asas moral yang ada dari kata "saling menghormati" lebih ditekankanya keharusan yang muda untuk menghormati yang tua, sedangkan tidak sebuah keharusan bagi yang tua untuk menghormati yang muda. Suatu perbuatan tercela jika ada yang muda menghardik yang tua, namun suatu canda tawa apa bila yang tua menghardik yang muda.
Stratifikasi tak cukup dari tua muda, sesuatu yang tertempel kata lebih (walaupun secara nampaknya) memang diposisikan lebih. Seperti yang lebih kaya, lebih tinggi posisinya dalam suatu pekerjaan, atau  seperti yang lebih berilmu (bergelar/berstatus) harus dihormati dari pada yang (dianggap) tak berilmu, sehingga dari ini banyak orang yang berambisi untuk (tampak berilmu) atau (menjadi berilmu) untuk di hormati, menundukkan kepala manusia dibawah wajahnya.
Saya tidak akan menyingung dari aspek agama, karena inti dari agama kita adalah "saling menghormati" bukan "dihormati", karena adanya gelombang arus sosial dan penilaian moral, orang yang tidak menghormati dianggap tidak bermoral.Â
Karena memang hidup dalam lingkup suatu budaya seperti mengelar kapas di saat angin kencang, permisalan, yang bergelar Prof, Dr, Ustadz, Kiyai yang berpangkat harus ditakdzimi, atau katakanlah seseorang yang dianggap pengetahuan agamanya lebih luas harus ditakdzimi.  Beberapa memang ada keharusan yang sebenarnya tak mau untuk menundukkan kepala, dan beberapa memang dari hati. Ada beberapa yang jengkel jika gelarnya tidak menjadi pemanis sapaan.
Karena rasa fanatik dengan gelar dan sesuatu yang bersifat tampaknya, akhirnya yang menghormati rela menjadi babu di atas penghormatan sendiri, enggan dan bungkam walau telah melecehkan martabat diri, tidak bisa bersifat seleksi, atau menyelidiki, seperti kasus yang sangat menjijikkan dan membuat bulu kuduk merinding, dalam satu bulan ini, seorang yang berkedok agama  memperbudak penganut yang tunduk kepadanya dalam 5 tahun kurun waktu lamanya. Dengan mengiming-imingi janji dan mendapat ilmu yang tak pasti. Mungkin andai tak fanatik bahwa yang berstatus itu baik, mesti anggaplah kejadian yang 5 tahun bisa sedikit diringkas.
Tak banyak yang menyadari, kalo sesuatu yang dianggap baik, akan benar-benar baik pada subjek yang busuk. Permisalan, baju yang putih bersih, dipakai oleh tubuh yang kumal penuh lumpur, tetaplah yang putih menjadi kotor. Bisa saja orang yang bodoh akan menjadi alim(nampaknya) kalo seusut kepala tunduk kepadanya.Â
Tak sedikit, status, menuntut orang banyak tahu karena hanya ingin berstatus "terhormat", untuk memperbudak yang tak mengerti apa-apa dan menjadi bagian untuknya. Lantas apa gunanya nama? Status dan anggapan? Hingga seseorang begitu terobsesi.
Di bagian belahan bumi, sapaan nama depan sebagai pemanis, menatapnya kepala ketanah adalah suatu hal yang baik, menyenangkan objek, patut dijunjung. Di belahan bumi yang lain, sapaan pemanis, kepala keatas bukan sebuah penyimpangan moral, dan tak melakukannyapun tidak papa.Â